Sabtu, 02 Januari 2010

PELAKSANAAN SURVAILANS EPIDEMIOLOGI DALAM UPAYA PENURUNAN PROPORSI PENDERITA KUSTA PADA ANAK DI KOTA GORONTALO

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh keluarga, kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan tersebut, salah satu diantaranya yang mempunyai peranan cukup penting adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat yang salah satunya adalah program pemberantasan penyakit kusta dengan menitik beratkan pada penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin. Pemberantasan penyakit kusta dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi melalui pemutusan rantai penularan penyakit, meski disadari bahwa upaya tersebut tidak semudah mengatakannya. Rencana dan pelaksanaannya harus dibuat seefektif mungkin dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas, maupun setiap petugas kesehatan. Jika hanya dilaksanakan secara perorangan, maka upaya pemberantasan penyakit kusta tidak akan dapat berhasil dengan baik (Depkes RI, 2001).
Pemahaman tentang keadaan kesehatan masyarakat adalah syarat mutlak bagi suatu perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan yang baik, melalui pendekatan epidemiologis. Pendekatan epidemiologis berguna untuk pemantauan dan pengambilan keputusan-keputusan tindak lanjut, upaya pemberantasan penyakit kusta disamping aspek pendekatan survailans epidemologi juga aspek perencanaan merupakan hal penting dalam menentukan ukuran keberhasilan suatu program pemberantasan penyakit menular (Depkes RI, 2001).
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja (Depkes RI, 2004).
Pada umumnya penyakit Kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius (Depkes RI, 2007).
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemis yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate <1/10.000> 1 per 10.000 penduduk (23,1% per 10.000 penduduk) yang tertinggi Puskesmas Dulalowo yaitu 6,5% per 10000 penduduk.
3 . Masih adanya stigma di masyarakat yang tinggi
4. Pemeriksaan kontak, baru mencapai 41,1% sehingga cacat tingkat 2 meningkat menjadi 5,2%.
Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa yang melakukan kegiatan penemuan penderita kusta pada anak adalah 22,9% mengatakan penemuan penderita dilakukan oleh dokter, 17,1% dilakukan oleh petugas kusta dan petugas survailens dan seluruh tenaga medis 42,9%.
Untuk meningkatkan cakupan penemuan penderita kusta pada anak maka di butuhkan kerja sama lintas sektor dan lintas program, karena tanpa adanya kerja sama tersebut maka upaya yang dilakukan tidak akan optimal karena adanya keterbatasan biaya dan tenaga pelaksana sehingga kegiatan ini hanya dilakukan secara aktif maupun pasif saja.
2. Kegiatan pencatatan
Pencatatan adalah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan untuk tahun berikutnya maka pencatatan yang akurat sangat dibutuhkan. Pencatatan yang baik dapat dijadikan sumber informasi epidemiologi yang akurat, lengkap dan tepat waktu sebagai dasar pengambilan keputusan, selain itu kelengkapan data dapat digunakan oleh petugas untuk melihat waktu dan kapan terjadi peningkatan kasus sehingga sedini mungkin dapat dilakukan tindakan pencegahan dan untuk menjaga tidak sampai terjadi kecacatan.
Tabel 4.4 terlihat bahwa 85,7% dari 35 responden melakukan kegiatan pencatatan lengkap di mana responden telah melakukan pencatatan sesuai dengan format yang telah di berikan oleh Dinas Kesehatan dan di isi sesuai dengan petunjuk program penyakit kusta sedangkan 14,3% masih melakukan pencatatan tidak lengkap karena hanya mengisi register sesuai format yang telah diberikan namun sistem pengisiannya tidak sesuai dengan kebutuhan program.
Kegiatan pencatatan meliputi pengisian kartu penderita, mengisi kartu monitoring pengobatan MDT, mencatat penemuan kasus, membuat laporan bulanan, analisis data dan pengambilan keputusan dan tindak lanjut.
Pada lampiran 4 terlihat bahwa dari 7 Puskesmas Di Kota Gorontalo ada 3 Puskesmas yang belum melaksanakan kegiatan pencatatan secara lengkap yakni Puskesmas dungingi 2 responden, Puskesmas wonggaditi 1 responden dan Puskesmas dulalowo 1 responden, seharusnya hal ini sudah tidak terjadi lagi dikarenakan sudah ada perkembangan sistem informasi survailens epidemiologi penyakit kusta dan sudah adanya pembagian tugas masing-masing, sehingga petugas tidak kerja rangkap.
Kegiatan pencatatan seharusnya dilakukan oleh Petugas Survailens dan Petugas kusta karena pencatatan lebih akurat dibandingkan pencatatan dilakukan oleh dokter. Pencatatan yang tidak lengkap maka petugas pun tidak optimal untuk melakukan kegiatan pencegahan karena tidak di dukung oleh data yang akurat, namun demikian secara umum petugas sudah melakukan pencatatan dengan baik.
Haris Ahmadong (2008) menyatakan bahwa setelah melakukan penelitian tentang kegiatan pelaporan penyakit kusta di Kota Gorontalo dari 14 responden 8 responden yang melakukan pencatatan secara lengkap sedangkan 6 responden melakukan pencatatan tidak lengkap. Hal ini diakibatkan masih adanya petugas yang belum melakukan pencatatan secara lengkap diakibatkan oleh informasi dari penderita yang diberikan pada saat pemeriksaan kurang lengkap, penemuan kasus kadang tidak tercatat, cara menganalisis data tidak sempurna.
Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa mereka senantiasa mendapatkan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kota setiap 3 bulan yaitu pada saat bimbingan teknik yang dirangkaikan dengan evaluasi kegiatan lainnya. Dalam pembinaan tersebut apabila ditemukan kegiatan pencatatan yang tidak lengkap hanya diberikan teguran secara lisan saja sehingga petugas sering lupa melaksanakan pencatatan yang baik dan masalah tersebut selalu terjadi. Diharapkan dengan adanya pencatatan yang baik maka sistem pemantauan perbulan bahkan pertahun dapat berjalan dengan baik.
3. Pelaporan
Pelaporan adalah penyampaian hasil-hasil kegiatan pelaksanaan program (P2 Kusta) di suatu wilayah kerja yaitu laporan bulanan menurut waktu, tempat dan orang yang di kirim laporannya ke Dinas Kesehatan Kota beserta tembusannya paling lambat tanggal 5 pada bulan berukutnya, keterlambatan pengiriman laporan dikarenakan pencatatan yang tidak lengkap.
Pada Tabel 4.6 terlihat presentasi yang membuat laporan sesuai petunjuk program yaitu sebesar 100%, atau semua petugas yang dijadikan sampel selalu mengirimkan laporan paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya. Laporan yang terlambat di kirim ke Dinas Kesehatan Kota dan istansi terkait maka petugas akan mendapatkan teguran secara lisan maupun tulisan dengan konsekwensi terlambat menerima gaji bulanan.
Apabila pembuatan pengiriman laporan bulanan tepat waktu maka pihak Dinas Kesehatan Kota dapat membantu melakukan pemantauan berdasarkan data yang terkirim sehingga kegitan pencegahan dan penemuan penderita seidini mungkin dapat dilakukan dengan kerja sama pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas melalui laporan yang ada.
Pelaporan kasus merupakan informasi utama yang berkaitan dengan diagnosis dan frekuensi kasus dan informasi tambahan yang mungkin di butuhkan untuk beberapa hal berikut yaitu nama, usia, pekerjaan, pengobatan bagi mereka yang membutuhkan tindak lanjut (H,Morrow).
Untuk kasus kusta pada anak berdasarkan pedoman penyelenggaraan survailens epidemiologi walaupun tidak terdapat kasus tetap harus dilaporkan atau biasa di sebut dengan zero repord atau laporan nihil sehingga dapat diketahui waktu dan kapan ditemukannya penderita kusta baru pada anak.
4. Pemantauan
Pemantauan adalah merupakan kegiatan lanjutan setelah pembuatan laporan bulanan menurut waktu, tempat dan orang. Pemantauan dapat dilakukan dengan membuat pemantauan wilayah setempat (PWS) bulanan sehingga dapat diketahui bulan keberapa terjadi peningkatan kasus sehingga sedini mungkin dapat dilakukan upaya untuk mencegah penyakit tersebut.
Kegiatan ini berguna untuk mengetahui sejauh mana petugas berperan aktif dalam melakukan survey penderita yang dapat dilakukan perbulan, triwulan bahkan pertahun. Pemantauan ini diperlukan untuk mengetahui adanya penemuan penderita baru khususnya penderita kusta pada anak. Karena penyakit kusta biasanya di kenal fenomena gunung es (mountain fenomenol), sehingga penderita yang dapat dideteksi adalah penderita dengan kecacatan tingkat 2 sedangkan penderita yang suspek kusta banyak yang belum ditemukan oleh karena itu harus dilakukan pemantauan oleh petugas dan survey aktif di sekolah-sekolah.(Watson 1998).
Dari hasil penelitian tentang kegiatan pemantauan penderita kusta pada anak pada tabel 4.7 terlihat bahwa 82, 9% dari 35 responden melakukan kegiatan pemantauan karena telah melaksanakan sesuai ketentuan program yakni dilakukan per triwulan berdasarkan waktu, tempat, dan orang dengan cara membuat pemantauan wilayah setempat, sedangkan 17,1% yang tidak melakukan pemantauan dengan baik.
Akibat dari kegiatan pemantauan yang demikian ini akan mengakibatkan peningkatan kasus yang pada akhirnya ditemukan nanti sudah pada tahap kecacatan tingkat I maupun kecacatan tingkat II, sehingga sesuai dengan indikator kinerja program kusta yaitu proporsi penderita kusta pada anak harus di bawah dari 5% dan proporsi cacat tingkat II di bawah dari 5% pada tahun 2010.
Pada tabel 4.7 terlihat dari 7 Puskesmas terdapat 4 Puskesmas yang tidak melaksanakan pemantauan dengan baik yakni Puskesmas Tamalate 3 responden, Puskesmas Dungingi 3 responden, Puskesmas Dulalowo 2 responden, Puskesmas Wonggaditi 2 responden. Hal ini karena petugas hanya melaksanakan kegiatan pemantauan setiap 6 sekali itupun apabila ditemukan kasus berdasarkan laporan yang ada, padahal sebaiknya kegiatan ini dilaksanakan perbulan atau per triwulan mengingat bahwa penyakit kusta adalah penyakit kronik yang penularannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program kusta di salah satu Puskesmas, dikatakan bahwa cara mereka memantau yaitu hanya dengan menghitung terlebih dahulu prevalensi penderita kusta pada anak dan setelah itu melaksanakan sosialisasi ke sekolah-sekolah SD di wilayah setempat, survei kontak dan lingkungannya. Sehingga penderita tidak mendapatkan penanganan dan pengobatan secara cepat dan tepat.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas survailens untuk melihat tingkat keberhasilan program, hambatan program dan sebagai bahan perencanaan untuk kegiatan berikutnya bagi Puskesmas maupun Dinas Kesehatan yang dilaksanakan setiap 3 bulan. Evaluasi dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu menilai jenis kegiatan program yang berhasil di capai yang kedua melihat apakah ada perbaikan indikator status kesehatan khususnya bagi penderita kusta yang menjalani pengobatan apakah telah mencapai tingkat kesembuahn atau RFT.
Tabel 4.8 terlihat bahwa dari 35 responden yang menjadi sampel 100% melakukan kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi dilaksanakan setiap 3 bulan sekali yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan dengan melibatkan semua Puskesmas dan jabatan struktural yang ada di Dinas Kesehatan, namun pelaksanaan solusi hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti oleh pelaksana program dan lintas program terkait.
Pada lampiran 8 terlihat seluruh Puskesmas telah melaksanakan kegiatan evaluasi dengan baik, sehingga di harapkan kegiatan-kegiatan yang mengalami hambatan dapat dicarikan solusi untuk perbaikan pada kegiatan berikutnya.
Apabila kegiatan evaluasi dilaksanakan dengan baik maka segala hambatan dalam pelaksanaan program akan diketahui dan diberikan solusi pemecahannya, sehingga upaya untuk menurunkan proporsi penderita kusta pada anak dibawah dari 5% dapat tercapai. Dari hasil penelitian tentang penyebab meningktanya jumlah kasus kusta pada anak disebabkan karena pelaksanaan survailens epidemiologi oleh petugas survailens yang di beberapa Puskesmas se Kota Gorontalo belum melaksanakan sesuai dengan petunjuk dari Dinas Kesehatan.
Dalam pencapaian program perlu adanya kerja sama dengan pemerintah setempat dalam pengadaan biaya, oleh karena itu pemerintah setempat telah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan leprocy elimination Campaigh atau kampanye pencarian penderita mulai dari tahun 2005, atau dapat di lihat pada grafik di bawah ini :






Sumber : Data Sekunder
Grafik 4.4 Prosentase perkembangan dana program kusta melalui APBD 2
Kota Gorontalo
Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Gorontalo (Riskesda) bahwa tidak semua indikator status kesehatan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status kesehatan tersebut dikumpulkan dalam data Riskesda. Indikator yang di ukur hanya masalah kesehatan yang berbasis masyarakat yaitu seperti kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan, penyakit tidak menular dan penyakit menular seperti kusta, malaria, ispa dll. Tujuan Riskesdas adalah menyediakan data yang evidence based untuk perencanaan kesehatan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.selain itu Riskesdas memahami konsep kerugian ekonomi (economic loss) yang akan membuat kita sadar betapa pentingnya program kesehatan untuk diberikan porsi anggaran yang proporsional untuk mencegah terjadinya penyakit dan disability. World Health Organization (WHO)
Dengan adanya Riskesdas perencanaan berbasis bukti akan semakin tajam bila keterwakilan data dasarnya sampai tingkat kecamatan. Berarti penyebaran data bukan hanya dari pihak Provinsi ke Kabupaten/Kota tetapi harus mencakup wilayah Kecamatan maupun Desa/Kelurahan.
Seperti halnya penyakit kusta, untuk mencapai target eliminasi tahun 2010 maka diperlukan data Riskesdas yang dapat dijadikan satu acuan sebagai dasar pengambilan keputusan dan penyebarluasan informasi serta menyediakan porsi anggaran untuk upaya pencegahan (RISKESDA, 2007).
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan atas data yang di kumpulkan dapat disimpulkan :
1. Penemuan penderita yang dilaksanakan oleh dokter yaitu 22,9%, petugas survailens 17,1%, petugas kusta 17,1% dan semua paramedis 42,9%, sedangkan petugas yang melaksanakan kegiatan penemuan penderita secara aktif dan pasif yaitu 48,6% dan secara aktif maupun pasif yaitu 45,7% dengan alasan bahwa penemuan penderita harus dilaksanakan oleh pemegang program, alasan lain yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit kusta pada anak khususnya bagi para orang tua, diharapkan agar masyarakat yang berperan aktif apabila terdapat suspek kusta segera di bawa ke Puskesmas untuk diperiksa dan dikonsultasikan
2. Pencatatan
Pelaksanaan pencatatan yang dilakukan oleh dokter yaitu 11,4%, petugas kusta 11,4%, petugas survailens 57,1% dan yang mengatakan pencatan dapat dilakukan oleh dokter dan petugas survailens yaitu 20%. Petugas yang melaksanakan pencatatan lengkap yaitu 58,7% dan tidak lengkap yaitu 14,3%, dengan alasan bahwa data bisa dikumpulkan dulu baru dilakukan pencatatan sehingga waktu untuk mengoptimlakan kegiatan ini tidak tercapai.
3. Pelaporan
Kegiatan pelaporan penderita kusta (anak) adalah 100% yang membuat laporan sesuai dengan petunjuk program, dengan alasan bahwa apabila tidak membuat laporan dan mengirimkan laporan ke Dinas Kesehatan paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya maka akan dikenai sangsi penahanan gaji sampai laporan masuk.
4. Pemantauan
Pemantauan program yang dilakukan oleh petugas survailens dan petugas kusta yaitu 82,9% dari 35 responden melakukan kegiatan pemantauan sedangkan 17,1% tidak melakukan pemantauan dengan baik dengan alasan peningkatan kasus dapat di lihat dengan menghitung terlebih dahulu prevalensi penyakit kusta.
5. Evaluasi
Kegiatan evaluasi adalah semua petugas (100% ) melaksanakan kegiatan evaluasi yang dilakukan di Dinas Kesehatan setiap 3 bulan dengan melibatkan kerja sama lintas program.






B. Saran
Berdasarkan hasil uraian diatas maka disarankan :
1. Dalam penemuan penderita petugas seharusnya lebih meningkatkan kegiatan On The Job Training atau sosialisasi sampai ke tk. Masyarakat dan kader kesehatan dan meningkatkan kegiatan aktif (survey kontak).
2. Dalam pelaksanaan kegiatan perlu kerja sama lintas program maupun lintas sektor sehingga dapat tercapai ADEK yaitu aliansi daerah eliminasi kusta.
3. Pembinaan petugas survailens perlu ditingkatkan terutama yang menyangkut koreksi terhadap pelaksanaan kegiatan program yang tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program sehingga kegiatan penemuan penderita, pencatatan dan pelaporan, pemantauan dan evaluasi program dapat dilaksanakan dengan baik.
4. Lebih mengintensifkan penyuluhan tentang tanda-tanda dini penyakit Kusta








DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Buraerah, 2003,Rancangan Sampel, Makassar, Universitas Hasanuddin
Ahmadong,H, 2008, Evaluasi program penyakit kusta Di Kota Gorontalo, Skripsi, FKM UG

Bustan M.N. 1996, Pengantar Epidemiologi, Makassar, Universitas Hasanuddin
Depes R.I, 2001, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XIV. Jakarta

, 2002, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVI, Jakarta .

, 2003, Ilmu Kesehatan Masyaraka, Jakarta, Rineka Cipta
, 2004, Kantong Penderita Kusta dan Lepropobia, Jakarta .
, 2004, Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, Jakarta .
, 2007, program penanggulangan penyakit kusta, Jakarta
Depkes RI, 2007, Laporan Riset Kesehatan Dasar/Laporan Gorontalo. http,www,litbang, depkes,go.id. diakses tanggal 28 Mei

Dinas Kesehatan Kota Tahun 2007, Profil Dinas Kesehatan Kota . Gorontalo
Haluti, W. 2008, Pelaksanaan survailens epidemiologi DBD, Skripsi, FKM UG.
I.F, Setyadi, 1995, Surveilens Epidemiologi Dalam Upaya Pemberantasan Penyakit Menular, Direktorat.Epidemiologi penyakit, Jakarta

Kepmenkes, 2003, Pedoman Penyelenggaran Sistem Survailans Epidemiologi Kesehatan, jakarta

Morrow, H, 1997, Panduan Epidemiologi BagiPengelola Kesehatan Kabupaten/Kota, ITB, Bandung.

Murti B, 1997, Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta Gajah Mada
Nasry Noer Nur, 1998, Surveilens Epidemiologi, Makassar, Universitas Hasanuddin
Notoatmodjo, S, 2002, Pengantar Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta; Rineka Cipta

, 1997, Ilmu Kesehatan Masyarakat,Jakarta ; Rineka Cipta
PLKN Makasar 2002, Modul 1 Epidemiologi Dan Program P2 Kusta Bagi Petugas Dan Pengelola Program P2 Kusta, Makassar

Pratikya,W, 2004, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Grafindo Persada, Bandung.

Sugiyono, 2003, Statistika Penelitian , Bandung, Alfabeta.

, 2002, Metodologi Penelitian Administrasi, Bandung CV Alfabeta
, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung, Alfabeta

Sumarmo, 2002, Pemberantasan Penyakit Menular, Jakarta, Gramedia
Tim Penyusun, 2008, Pedoman Penulisan Skripsi, FKM UG.

Zoleh Zanbar, 2005, Ilmu Statistika,, Bandung, Rekayasa Sains
WHO, 2006, Global strategy for reducing leprosy burden, New Delhi, Operasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar