Sabtu, 02 Januari 2010

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKAMBUHAN PENYAKIT REUMATIK DI WILAYAH PUSKESMAS ANGGREK KABUPATEN GORONTALO UTARA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang hidup dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah republik Indonesia. Perilaku Masyarakat Indonesia Sehat 2010 adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Depkes, 1999).
Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan melalui upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seiring dengan peningkatan penderita penyakit degeneratif yang semakin meningkat termasuk penyakit Reumatik. Reumatik yang sering di sebut Arthritis adalah penyakit yang paling demokratis di dunia karena untuk skala dunia arthritis di derita oleh hampir satu milyar orang (Gordon, 1997).
Tingkat pengenalan dan pengetahuan reumatik memang masih dirasa sangat kurang, baik pada masyarakat awam maupun kalangan medis. Di Eropa sebagaimana dilakukan wawancara European Publik Opinion survey ternyata sebanyak 55% penduduk tidak menyadari kalau penyakit reumatik dapat mengurangi harapan hidup penderita (Junaidi, 2006).
Reumatik merupakan suatu penyakit yang menyerang sendi, mengenai siapa saja yang rentan terkena penyakit reumatik, hal itu tentu saja tergantung pada jenis reumatik. Banyak macam penyakit yang memperlihatkan gejala reumatik tergantung pada penyakit yang mendasari. Secara umum penderita reumatik akan merasa nyeri pada sendi dan tulang dan biasanya mulai terjadi pada usia pertengahan (Junadi, 1999).
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya, tetapi bila diserang penyakit akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha untuk mencari pelayanan kesehatan termasuk masyarakat yang menderita penyakit reumatik.
Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada enam bulan pertama terserang, cacat terjadi setelah dua sampai tiga tahun bila tidak di obati. Sekitar 40% penduduk Indonesia berusia di atas 40 tahun mempunyai keluhan nyeri sendi dan otot kendati demikian reumatik bukanlah penyakit monopoli orang dewasa karena penyakit ini juga dapat menyerang anak-anak dengan gejala serupa (Isbagio, 2007).
Data dari Dinas kesehatan Kabupaten Gorontalo utara selang tahun 2008 menunjukan bahwa penyakit reumatik menempati urutan ke 5 dari 10 penyakit menonjol yang ada, dengan distribusi total kunjungan 537 orang atau rata-rata jumlah frekuensi kunjungan 45 orang penderita reumatik perbulan yang berkunjung rawat jalan di puskesmas se Kabupaten Gorontalo utara.
Data yang di peroleh dari Buku Register kunjungan pasien rawat jalan Puskesmas Anggrek selang tahun 2005 sampai dengan Bulan Desember tahun 2008 ternyata salah satu penyakit yang menonjol di kecamatan Anggrek adalah penyakit reumatik dengan distribusi jumlah kunjungan per Bulan rata-rata berjumlah 24 Penderita (12,97%) dari total kunjungan pasien rawat jalan di Puskesmas dengan jumlah rata-rata 185 orang perbulan dan total penderita dengan gejala reumatik yang berkunjung sejak tahun 2005 sampai dengan akhir bulan desember 2008 berjumlah 114 0rang.
Masalah penyakit reumatik yang banyak terjadi di masyarakat di mana mereka kurang memahami pencarian pelayanan kesehatan yang moderen untuk mendapatkan pengobatan, masyarakat lebih cenderung mengobati sendiri dengan mengkonsumsi obat bebas, jamu serta mencampurnya tanpa mencari pelayanan kesehatan yang tepat sehingga risiko terjadinya kekambuhan penyakit reumatik dapat terjadi. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara pada pasien yang menderita reumatik yang berkunjung ke Puskesmas Anggrek, rata-rata masyarakat lebih banyak menggunakan obat yang dijual bebas dari pada mencari pelayanan kesehatan, juga dipengaruhi oleh jarak pelayanan kesehatan dengan masyarakat yang cukup jauh.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan Penyakit Reumatik” di Wilayah Puskesmas Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalah, "Faktor-faktor apakah yang Berhubungan dengan Kekambuhan Penyakit Reumatik?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui Faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan Penyakit Reumatik.
2. Tujuan khusus
a. Mendapatkan gambaran mengenai faktor Umur dengan kekambuhan penyakit reumatik.
b. Mendapatkan gambaran mengenai faktor Jenis kelamin dengan kekambuhan penyakit reumatik
c. Mendapatkan gambaran mengenai faktor pekerjaan dengan kekambuhan penyakit reumatik
d. Mengetahui hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik.
e. Mengetahui hubungan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik.

D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memberikan masukan pada pihak Puskesmas untuk dapat mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan.
2. Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi berbagai pihak untuk dapat lebih memahami faktor-faktor yang menjadi pemicu terjadinya kekambuhan penyakit reumatik agar lebih bertindak preventif terhadap kemungkinan terjadi suatu penyakit lebih khusus kekambuhan penyakit reumatik
3. Masyarakat dapat mengetahui tempat pencarian pelayanan kesehatan yang tepat agar kekambuhan penyakit reumatik jarang terjadi.
4. Masyarakat dapat mengetahui pola/kebiasaan mengkonsumsi makanan yang baik agar kekambuhan penyakit reumatik jarang terjadi.
5. Penelitian ini menjadi acuan untuk peneliti selanjutnya dalam mengkaji lebih luas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan penyakit reumatik.







BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Konsep perilaku
a. Definisi
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makluk hidup) yang bersangkutan, jika di tinjau dari segi biologis (Sunaryo, 2004). Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian ini dapat di simpulkan bahwa yang di maksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat di amati langsung, maupun yang tidak dapat di amati oleh pihak luar (Notoatmojdo, 2003).
Skiner (1983) seorang ahli psikologi dalam Notoatmojdo (2003), menyatakan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Skiner membedakan adanya dua respons :
1) Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertenru. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
2) Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian di ikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat di bedakan menjadi dua :
a) Perilaku tertutup (cover behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat di amati secara jelas oleh orang lain.
b) Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat di amati atau di lihat oleh orang lain
b. Perilaku Kesehatan
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dann penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek.
2) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
3) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
4) Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman.
5) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,atau sering di sebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

6) Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya.
c. Domain perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor¬faktor lain dari orang yang bersangkutan Notoatmodjo (2003). Menurut Bloom yang di paparkan oleh Notoatmodjo (1997), perilaku manusia dapat di bagi ke dalam tiga domain. Pengukuran domain perilaku :
1) Cognitive domain, diukur dari knowledge (Pengetahuan)
2) Affective domain, di ukur dari attitude (Sikap)
3)Psychomotor domain, di ukur dari psychomotor/practice (Keterampilan) (Sunaryo, 2004).
d. Health Belief Model
Becker (1979) sebagaimana dikutip Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan dan sikap. Secara khusus bahwa persepsi seseorang tentang kerentanan dan kemujaraban pengobatan dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku kesehatannya ditentukan oleh :
1) Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan
2) Menganggap serius masalah
3) Yakin terhadap efektivitas pengobatan
4) Tidak mahal
5) Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan
2. Perilaku Masyarakat Sehubungan dengan Pelayanan Kesehatan
Menurut Notoatmojo (2003), bahwa Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit (desease but no illness) sudah tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :
a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action). Alasannya antara lain bahwa kondisi demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-¬hari, mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun gejala di deritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain yang di anggap lebih penting dari pada mengobati sakitnya. Hal ini merupakan bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupanya. Alasan lain yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang di perlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes tidak responsif dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya dan sebagainya.
b. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan-alasan yang sama telah di uraikan, alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya kepada diri sendiri. Dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman-pengalaman yang usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak di perlukan.
c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih sederhana, masalah sehat sakit adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguan fisik.. Identik dengan itu pencarian perngobatanpun lebih berorientasi pada sosial budaya masyarakat dari pada hal-hal yang di anggapnya masih asing.
d. Berobat ke dukun (bermacam-macam dukun) yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian dari masyarakat, berada di tengah-tengah masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.
e. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop ) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat¬obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol. Namun demikian sampai sejauh ini pemakaian obat-obat bebas oleh masyarakat belum mengakibatkan masalah yang serius. Khusus mengenai jamu sebagai sesuatu untuk pengobatan (bukan hanya untuk pengobatan saja) makin tampak peranya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam.
f. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan moderen yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas dan rumah sakit. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan moderen yang diselenggarakan oleh dokter praktik (private medicine).
Upaya kesehatan perorangan di puskesmas terkait dengan perilaku sakit dan perilaku pencarian pengobatan pada orang sakit. Pengertian sakit (illness) berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang, sedangkan penyakit (disease) berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis profesi kesehatan. Sakit belum tentu karena penyakit, tetapi selalu mempunyai relevansi psikososial, perilaku sakit adalah setiap kegiatan yang dilakukan orang sakit untuk menjelaskan keadaan kesehatannya dan mencari sumber pengobatan yang sesuai (Rosenstock, 1974).
Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003), membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membedakannya menjadi tiga, yaitu :
a. Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, yaitu :
1) Makan dgn menu seimbang
2) Olah raga teratur
3) Tidak merokok
4) Tidak minum alkohol
5) Cukup istirahat
6) Mengendalikan stress
7) Pola hidup positif, misalnya menyesuaikan diri dengan lingkungan (stick to one partner)
b. Perilaku Sakit (illness behavior)
Berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan.
c. Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)
Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran (roles), yang mencakup hak-haknya (rights), dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation), hak dan kewajiban orang yang sedang sakit merupakan perilaku peran orang sakit (the sick role behavior).
Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat sakit adalah berbeda dengan konsep kita tentang sahat sakit itu. Demikian juga persepsi sehat sakit antara kelompok-kelompok masyarakat pun akan berbada-beda pula.
Persepsi masyarakat terhadap sehat sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang di berikan.
Bila persepsi sehat sakit masyarakat sudah sama dengan pengertian kita, maka kemungkinan besar fasilitas yang di berikan akan mereka pergunakan.
Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas perlu ditunjang dengan adanya penelitian-penelitian sosial budaya masyarakat, persepsi dan perilaku masyarakat tersebut terhadap sehat sakit. Bila diperoleh data bahwa masyarakat masih mempunyai persepsi terhadap sehat sakit itu untuk melalui pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan demikian pelayanan yang kita berikan akan diterima oleh masyarakat.
3. Konsep Kerangka Kerja Pelayanan Kesehatan
Sebelum mulai membahas kedua model utama dan kecenderungan dalam menggunakan pelayanan kesehatan, kita harus memilki pengertian tentang apa yang kita maksudkan dan bagaimana kita akan mengukur pelayanan kesehatan ini. Untuk mempunyai pengertian pelayanan kesehatan, kita akan memperhatikan konsep kerangka kerja utama dari pelayanan¬-pelayanan kesehatan tersebut.
Pada prinsipnya ada dua kategori pelayanan kesehatan, yaitu:
a. Kategori yang berorientasi pada publik (masyarakat)
b. Kategori yang berorientasi pada perorangan (pribadi).
Pelayanan kesehatan masyarakat lebih diarahkan langsung ke arah publik dari pada ke arah individu-individu yang khusus. Dilain pihak pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung ke arah individu. Seperti kebanyakan pengobatan, pelayanan kesehatan ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual consumer). Studi tentang pelayanan kesehatan dikaitkan dengan penggunaan pelayanan kesehatan pribadi.
4. Konsep Dasar Penyakit Reumatik
Penyakit reumatik merupakan penyakit yang selain menyerang sendi juga dapat menyerang organ atau bagian tubuh lainnya, secara umum definisi reumatik adalah penyakit yang menyerang sendi (Junaidi, 2006).
Penyakit reumatik yang sering disebut artritis (radang sendi) dan dianggap sebagai satu keadaan sebenarnya terdiri dari seratus tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini terutama mengenai otot-otot skelet, tulang, ligamentum, tendon, dan persendian pada laki-laki maupun wanita dengan segala usia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Banyak macam penyakit yang memperlihatkan gejala reumatik, tergantung pada penyakit yang mendasarinnya. Berikut berbagai penyakit yang menimbulkan gejala reumatik :
a. Osteoartritis
1). Definisi
Osteoartritis merupakan penyakit artritis degeneratif atau penyakit sendi degeneratif atau artritis hipertropik yaitu suatu penyakit sendi menahun yang di tandai dengan adanya kemunduran pada tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang di dekatnya, disertai pembentukan dari tulang baru dan jaringan lunak didalam dan sekitar sendi bersangkutan (Mansjoer, dkk.2000).
Osteoartritis di kelompokan menjadi:
a) Osteoartritis primer, jika penyebabnya tidak diketahui
b) Osteoartritis sekunder jika penyebabnya adalah penyakit lain.
2). Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, yaitu :
a) Usia lebih dari 40 tahun
b) Jenis kelamin wanita lebih sering
c) Suku bangsa
d) Genetik
e) Kegemukan dan penyakit metabolik
f) Cedera sendi, pekerjaan, dan olah raga
g) Kelainan pertumbuhan
h) Kepadatan tulang, dan lain-lain.
3). Patofisiologi
Akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makro molekul matriks tulang rawan sendi terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi secara progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi serta tepi sendi. Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.
4). Manifestasi klinis
Gejala utama ialah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan. Lebih lanjut lagi terdapat pembesaran sendi dan krepitasi tulang.
Tanda-tanda peradangan pada sendi tersebut tidak menonjol dan timbul belakangan, mungkin dijumpai karena sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan.
5). Penatalaksanaan
a) Terapi obat
(1) Salisilat dosis rendah : empat sampai dengan enam kali lima ratus miligram sehari.
(2) Obat NSAIDs lainnya, seperti parasetamol, dihydrocodein, dan dextropropoxyphene.
(3) Jika nyeri hebat mungkin terdapat inflamasi sehingga perlu diberikan analgetik anti inflamasi non steroid.
b) Terapi Non obat
Ada beberapa terapi nonobat
(1) Istirahat dan menghindari trauma yang berulang
(2) Alat bantu sendi dan alat bantu jalan
(3) Mengurangi diet, jika penderitanya gemuk
(4) Fisioterapi : olahraga yang tepat (termasuk peregangan dan penguatan) akan membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi dan kekuatan otot-otot disekitarnya sehingga otot menyerap benturan dengan lebih baik. Dianjurkan untuk menggunakan kursi dengan sandaran yang keras, kasur yang tidak terlalu lembek, dan jika penyakitnya berat, bisa digunakan penopang punggung. Tetap melakukan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari, sangatlah penting,
(5) Terapi fisik : terapi fisik yang sering dilakukan adalah dengan pemanasan. Untuk nyeri pada jari tangan dianjurkan merendam tangan dalam campuran paraffin panas dengan minyak mineral pada suhu 47,5-52° celsius atau mandi dengan air hangat.
b. Artritis Rematoid
1). Definisi
Artritis rematoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif yang cenderung untuk menjadi kronis dan mengenai sendi dan jaringan lunak. Artritis rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi. Karakteristik Artritis Rematoid adalah radang cairan sendi yang persisten, biasanya mengenai sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang simetris. Artritis Rematoid merupakan penyakit multisistem yang kronis karena dapat menyebabkan sejumlah gejala diseluruh tubuh, dengan manifestasi sistemik yang bervariasi. Artritis Rematoid menyerang semua orang dan ras. Serangan Artritis Rematoid pertama kali muncul pada usia 25 sampai 50 tahun, tetapi sebetulnya bisa terjadi pada semua usia. Kejadian pada wanita yang berumur 60 tahun enam kali lipat lebih besar dibandingkan dengan wanita usia muda, dan ditemukan diseluruh dunia. Penyakit ini terjadi pada sekitar satu persen (antara 0,3-2,1%) dari jumlah penduduk, dan wanita dua sampai tiga kali lebih sering dibandingakn pria. Semakin bertambah usia, prevalensinya semakin meningkat, dan pada usia yang lebih tua kejadian pada wanita tidak berbeda dengan pria. Yang merupakan faktor risiko Artritis Rematoid adalah faktor genetik, lingkungan, hormonal dan infeksi.
2). Etiologi
Penyebab Artritis Rematoid belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan karena mikoplasma, virus, dan sebagainya. Namun semuanya belum terbukti. Berbagai faktor termasuk kecenderungan genetik, bisa mempengaruhi reaksi autoimun. Bahkan beberapa kasus Artritis Rematoid telah ditemukan berhubungan dengan keadaan stres yang berat, seperti tiba-tiba kehilangan suami atau istri, kehilangan satu¬-satunya anak yang disayangi, hancurnya perusahaan yang dimiliknya dan sebagainya.
Pada peradangan kronis membran sinovial mengalami pembesaran (Hipertrofi) dan menebal sehingga terjadi hambatan aliran darah yang menyebabkan kematian (nekrosis) sel dan respon peradangan pun berlanjut. Sinovial yang menebal kemudian dilapisi oleh jaringan granular yang disebut panus. Panus dapat menyebar keseluruh sendi sehingga semakin merangsang peradangan dan pembentukan jaringan parut. Proses ini secara perlahan akan merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas (kelainan bentuk).
Antibodi yang ditujukan kekomponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid. Keberadaan faktor rematoid akan menetap dikapsul sendi dan menimbulkan peradangan kronis serta merusak jaringan.
3). Manifestasi Minis
Kriteria dari American Reumatism Asociation (ARA) yang direvisi tahun 1987 adalah :
a) Kaku pada pagi hari (Morning Stiffness). Pasien merasa kaku pada persendian dan disekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-¬kurangnya satu jam sebelum perbaikan maksimal.
b) Artritis pada tiga daerah. Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi, bukan permbesaran tulang. Terjadi pada sekurang-kurangya tiga sendi secara bersamaan dalam observasi oleh seorang dokter.
c) Artritis pada persendian tangan. Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas.
d) Artritis simetris. Maksudnya keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak.
e) Nodul rematoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan atau permukaan ekstensor atau daerah jugstartikular dalam observasi seorang dokter.
f) Faktor reumatoid positif. Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari lima persen kelompok kontrol.
g) Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas pada permeriksaaan sinar rontgen tangan costeroanterior atau pergelangan tangan, yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.
4). Penatalaksanaan
Tujuan utama pentalaksanaan Artritis Rematoid adalah untuk mencegah kerusakan, mencegah hilangannya fungsi, mengurangi nyeri,mencapai remisi secepat mungkin pada sendi yang terserang dan mengupayakan agar pasien tetap bekerja dan hidup seperti sedia kala. Pada prinsipnya terapi yang di lakukan yaitu sendi yang sedang meradang diistirahatkan karena penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin secara bergantian, diberikan obat nyeri, anti inflamasi non steroid atau steroid sistemik atau pemberian logam emas dan atau pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium atau untuk memperbaiki deformitas.
Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri. Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi, tetapi untuk mencegah kekakuan, perlu dilakukan beberapa pergerakan sendi yang sistematis.
Obat-obat utama yang digunakan untuk mengobati artritis rumatoid adalah :
Obat anti radang non steroid (NSAISDs), obat slow acting, kortikosteroid, dan obat imuno supresi.
1) Terapi obat
Apabila diagnosis Artritis Rematoid telah ditetapkan, terapi obat ditujukan untuk mencegah kerusakan sendi lebih lanjut dan mengurangi disabilitas serta kecacatan. Pengobatan Artritis Rematoid dengan obat acap kali merupakan kombinasi antara Nonsteroid Anti-inflamatori Drugs (NSAIDs), dan dengan obat golongan Desease Modifying Anti-Reumatik Drugs (DEMAR-Ds), atau dengan obat golongan kortikosteroid.
Idealnya pengobatan Artritis Rematoid yang baik dapat memenuhi beberapa kriteria:
a) Efektif dalam menghilangkan gejala dan tanda untuk jangka panjang
b) Mampu menghambat progresif penyakit
c) Obatnya aman dan tingkat toleransinya tinggi
d) Pengobatannya sederhana atau praktis
2) Terapi Non Obat
Tata laksana Artritis Rematoid mencakup beberapa unsur dasar yaitu penegakan diagnosis, evaluasi berdasarkan keadaan kondisi pasien, dan perkiraan perjalanan penyakit ke depan (prognosis). Setelah pasien diajak terlibat secara aktif untuk meminimalkan kemungkinan yang akan terjadi dan aktif terlibat dalam melakukan rehabilitasi. Bersamaan dengan pemberian obat untuk mengurangi peradangan sendi, untuk mendapatkan hasil yang optimal dapat dilakukan terapi non obat seperi latihan-latihan fisik pemanasan pada sendi yang meradang dan bahkan tindakan pembedahan.

3) Fisioterapi
Jenis terapi ini tidak kalah pentingnya dengan terapi obat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam menangani kasus Artritis Rematoid, yaitu kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin, maka perawatan yang menyeluruh perlu di lakukan.
Sendi yang meradang harus di latih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa di lakukan latihan yang iebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah. Biasanya latihan akan lebih mudah jika dilakukan dalam air yaitu dengan berendam. Untuk mengobati persendian yang kaku, dilakukan latihan yang intensif dan kadang digunakan pembidaian untuk meregangkan sendi secara perlahan. Penderita yang menjadi cacat karena artritis rematoid dapat menggunakan beberapa alat bantu untuk dapat melaksanakan tugas sehari-harinya.
4) Terapi Rehabilitasi
Ada beberapa terapi rehabilitasi seperti yang disebutkan berikut ini:
a) Edukasi : pada edukasi ini pasien diberi informasi yang lengkap dan benar mengenai pengobatan dan perjalanan penyakitnya kedepan, serta meminta peran aktif dan kerjasama penderita dengan perawat.
b) Fisioterapi : berbagai aktifitas latihan diperlukan untuk mendapatkan gerak sendi yang baik dan optimal, agar massa otot tetap dan stabil.
c) Okupasi : okupasi bertujuan untuk membantu pasien agar dapat melakukan tugas sehari-hari, yakni dengan memosisikan sendi secara baik sehingga dapat berfungsi dengan baik dan terhindar dari gerakan berlebihan yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
d) Diet diutamakan untuk mengurangi berat badan yang berlebihan, dianjurkan mencapai berat badan sepuluh sampai limabelas persen di bawah ideal. Kegemukan memberikan beban tekanan pada sendi penopang berat tubuh.
5) Terapi diet
Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan ideal adalah dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktifitas pada hari tersebut. Sebagai patokan dasar, banyak makan sayur, buah, rendah lemak dan kolesterol, dan berhenti makan ketika mulai merasa kenyang.
6) Terapi bedah
Apabila terapi obat dan cara lainya yang sudah dilakukan namun belum berhasil juga, maka tindakan operatif cukup beralasan untuk dilakukan.

c. Gout Artritis
1). Definisi
Gout artritis adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambaran khusus, yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasannya mendekati masa menopause. Gout merupakan suatu penyakit dengan kecenderungan adanya faktor keturunan (Mansjoer, dkk.2000).
2). Etiologi
Gejala artritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya, penyakit ini termasuk dalam kelainan metabolik, disebabkan pembentukan asam urat yaitu hiperuresemia. Hiperuresemia pada penyakit ini terjadi karena
a) Pembentukan asam urat yang berlebihan (gout metabolik)
(1) Gout primer metabolik : karena sintesis atau pembentukan yang berlebihan
(2) Gout sekunder metabolik : pembentukan asam urat berlebihan karena penyakit lain seperti leukimia, terutama yang diobati dengan sitostatika, pseoriasis, polisitermia vera, mielofibrosis.
b) Pengeluaran asam urat melalui ginjal kurang (gout renal) :
(1) Gout renal primer : karena gangguan ekskresi asam urat ditubuh distal ginjal yang sehat.
(2) Gout renal sekunder : disebabkan ginjal yang rusak, misalnya pada glomerulonefritis kronis, kerusakan ginjal kronis (chronic renal, failure).
c) Perombakan dalam usus yang berkurang. Serangan gout secara mendadak, dapat di picu oleh :
(1) Luka ringan
(2) Pembedahan
(3) Pemakaian sejumlah besar alkohol atau makanan yang kaya akan protein purin
(4) Kelelahan
(5) Stres emosional
(6) Penyakit dan sejumlah obat yang menghambat sekresi asam urat
(7) Kedinginan
d) Stadium pada Gout
Beberapa stadium pada gout :
(1) Hiperuresemia : tanpa gejala atau hanya adanya rasa tidak segar
(2) Artritis akut : serangan dapat timbul tanpa suatu pencetus apapun, tapi dapat pula karena trauma lokal, pembedahan, stres, dan obat¬-obatan.
(3) Fase interkritik (artritis rekuren) terjadi artritis yang rekuren dengan serangan yang lainya makin pendek.
(4) Artritis kronis : di sebabkan oleh kelainan sendi yang menetap karena dekstruksi atau osteoartrosis sekunder.
3). Manifestasi klinis
Secara klinis ditandai dengan adanya artritis, tofi, dan batu ginjal. Yang penting diketahui bahwa asam urat sendiri tidak akan mengakibatkan apa-apa. Yang menimbulkan rasa sakit adalah terbentuk dan mengendapnya kristal monosodium urat. Pengendapanya dipengaruhi oleh suhu dan tekanan. Oleh sebab itu, sering terbentuk tofi pada daerah-daerah telinga, siku, lutut, dorsum pedis dekat tendon Achiles pada metatarsofalangeal digiti I, dan sebagainya.
Serangan sering kali terjadi pada malam hari. Biasanya sehari sebelumnya pasien tampak segar bugar tanpa keluhan. Tiba-tiba tengah malam terbangun oleh rasa sakit yang hebat sekali.
Daerah khas yang sering mendapat serangan adalah pangkal ibu jari sebelah dalam, disebut podagra. Bagian ini tampak membengkak, kemerahan, dan nyeri sekali bila di sentuh. Rasa nyeri berlangsung beberapa hari sampai satu minggu, lalu menghilang. Sedangkan tofi itu sendiri tidak sakit, tapi dapat merusak tulang. Sendi lutut juga merupakan tempat predileksi kedua untuk serangan ini.
Tofi merupakan penimbunan asam urat yang di kelilingi reaksi radang pada sinovial, tulang rawan, bursa, dan jaringan lunak. Sering timbul di tulang rawan telinga sebagai benjolan keras. Tofi ini merupakan manifestasi lanjut dari gout yang timbul lima sampai sepuluh tahun setelah serangan artritis akut pertama.
Pada ginjal akan timbul sebagai berikut :
a) Mikrotof dapat terjadi di tubuli ginjal dan menimbulkan nefrosis
b) Nefrolitiasis karena endapan asam urat
c) Pielonefritis kronis (radang pada lapisan luar ginjal)
d) Tanda-tanda aterosklerosis dan hipertensi.
Tidak jarang ditemukan pasien dengan kadar asam urat tinggi dalam darah, tanpa adanya riwayat gout, yang disebut hiperurisemia asimtomatik. Pasien demikian sebaiknya dianjurkan mengurangi kadar asam uratnya karena menjadi faktor risiko dikemudian hari dan kemungkinan terbentuknya batu urat di ginjal.
4). Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanan Artritis Rematoid adalah untuk mencegah kerusakan, mencegah hilangnya fungsi, mengurangi nyeri, mencapai remisi secepat mungkin pada sendi yang terserang, dan mengupayakan agar pasien tetap dapat bekerja seperti sediakala.
a) Penatalaksanaan serangan akut
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien dengan serangan akut artritis gout. Yang pertama bahwa pengobatan serangan akut dengan atau tanpa hiperuresemia tidak berbeda. Juga diperhatikan agar penurunan secara mendadak sering kali mencetuskan serangan lain atau mempersulit penyembuhan.
Obat yang di berikan pada serangan akut antara lain :
(1) Kolkisin
(2) OAINS (obat anti inflamatory non-steroid)
(3) Kortikosteroid
(4) Analgetik
(5) Tirah baring
Tirah baring merupakan suatu keharusan dan diteruskan sampai 24 jam setelah serangan menghilang. Artritis gout dapat kambuh bila terlalu cepat bergerak.
2) Penatalaksanaan Periode Antara
Bertujuan mengurangi endapan asam urat dalam jaringan dan menurunkan frekuensi serta keparahan serangan.
a) Diet, dianjurkan menurunkan berat badan pada pasien yang gemuk, serta diet rendah purin (tidak usah terlalu ketat). Hindari alkohol dan makanan tinggi purin (hati, ginjal, ikan sardin, daging kambing, dan sebagainya), termasuk roti manis. Perbanyak minum. Pengeluaran urine dua liter per hari atau lebih akan membantu pengeluaran asam urat dan mengurangi pembentukan endapan di saluran kemih.
b) Hindari obat-obatan yang mengakibatkan hiperurisemia, seperti Tiazid, diuretik, Aspirin, dan Asam Nikotina yang menghambat ekskresi asam urat dari ginjal.
c) Kolkisin secara teratur diindikasikan untuk
(1) Mencegah serangan gout yang akan datang. Obat ini tidak mempengaruhi tingginya kadar asam urat, namun menurunkan frekuensi terjadinya serangan.
(2) Menekan serangan akut yang dapat terjadi akibat perubahan mendadak dari kadar asam urat serum dalam pemakaian obat urikosuri atau alopurinol.
d) Penurunan kadar asam urat serum.
Di indikasikan pada artritis akut yang sering dan tidak terkontrol dengan kolkisin, terdapat endapan purin, atau kerusakan ginjal. Tujuannya untuk mempertahankan kadar asam urat serum dibawah 6 mg/dL, agar tidak terbentuk kristalisasi urat. Ada dua jenis obat yang dapat digunakan, yaitu kelompok urikosuri dan inhibitor xantin oksidasi seperti Alopurinol.







B. Kerangka Berpikir
Variabel independen Variabel dependen










Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti

C. Hipotesis
1. Hipotesis Alternatif ( Ha )
a. Ada hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik
b. Ada hubungan pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik
2. Hipotesis Nol ( Ho )
a. Tidak ada hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik
b. Tidak ada hubungan pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik

















BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey analitik dengan menggunakan rancangan cross secctional study, yaitu suatu rancangan penelitian yang mengkaji dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada saat yang bersamaan (point time aproach).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian akan di laksanakan di wilayah Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
2. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 8 April sampai dengan 14 Mei 2009.
C. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat yang menderita penyakit reumatik dengan jumlah Populasi 114 orang.
2. Sampel
Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
1) Masyarakat yang menderita penyakit reumatik
2) Masyarakat berumur lebih dari atau sama dengan 15 tahun
3) Masyarakat yang bersedia menjadi responden
b. Kriteria Eksklusi
1) Penderita reumatik yang mempunyai komplikasi penyakit lain
2) Masyarakat yang tidak bersedia menjadi responden
Populasi yang memenuhi kriteria berjumlah 100 orang.
Besar sampel di ambil dengan menggunakan rumus :

N
n =
1 + N (d)2

(Nursalam, 2003)
Jadi :
100
n =
1 + 100 (0.05)2
100
n =
1 + 0,25
112
n =
1,25
n = 80
Jadi jumlah sampel sebanyak 80 orang


D. Variabel Penelitian
1. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan adalah perilaku responden dalam mencari pengobatan. Dinyatakan perilaku yang baik apabila perilaku responden mencari pengobatan di puskesmas, rumah sakit, atau dokter praktik. Sedangkan perilaku yang tidak baik apabila perilaku responden hanya berobat sendiri, beli obat di warung, menggunakan obat tradisional, dan atau tidak bertindak.
Skala variabelnya adalah ordinal.
Baik, apabila skor yang diperoleh  13
Tidak baik, apabilah skor yang diperoleh 13
2. Pola/kebiasaan makan daging adalah kebiasaan menkonsumsi makanan yang tinggi protein purin. Dinyatakan sering apabila responden menkonsumsi daging lebih dari empat kali dalam sebulan, dan dinyatakan jarang apabilah responden menkonsumsi daging sekali dalam sebulan.
Skala variabelnya adalah ordinal.
Jarang mengkonsumsi, apabilah skor yang diperoleh  50%
Sering mengkonsumsi, apabila skor yang diperoleh  50%
3. Kekambuhan penyakit reumatik adalah serangan ulang pada daerah persendian yang dapat terjadi pada individu yang telah pernah mengalami nyeri pada persendian. Dinyatakan jarang kambuh apabila responden menderita reumatik kurang dari enam bulan dengan frekuensi kekambuhan satu sampai lima kali setahun, dan dinyatakan yang sering kambuh apabila responden yang menderita reumatik lebih dari satu tahun dengan frekuensi kekambuhan lebih dari lima kali setahun.
Skala variabelnya adalah ordinal.
Sering kambuh, apabila skor yang diperoleh  13
Jarang kambuh, apabilah skor yang diperoleh 13
E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
1. Jenis data
a. Data Primer diperoleh dari wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan.
b. Data Sekunder diperoleh dari data Dinas Kesehatan dan Puskesmas Anggrek Kabupaten Gorontalo utara tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik, dengan jumlah soal perilaku pencarian pengobatan 16 item pertanyaan dengan 3 alternatif jawaban berdasarkan skala Likert, jumlah soal pola/kebiasaan makan daging 4 item dengan 3 alternatif jawaban, sedangkan jumlah soal kekambuhan penyakit reumatik 16 item dengan 3 alternatif jawaban, dan satu soal deskriptif perilaku masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan dengan 7 alternatif jawaban.

F. Cara Pengolahan, Penyajian dan Teknik Analisis Data
1. Teknik pengolahan data
a. Editing : Memeriksa kelengkapan kesinambungan
dan keseragaman pengisian dan kuesioner
serta mengklasifikasikan data
b. Coding : Memberi kode pada masing-masing
jawaban agar data-data tersebut mudah
ditabulasi.
c. Menghitung frekuensi : Yaitu setalah diberi kode, di hitung besarnya
frekuensi masing-masing data.
d. Tabulasi data : Mengelompokan data dalam bentuk tabel
dan kesimpulan.
2. Analisis data
Analisa bivariate dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi, melalui uji chi square dengan rumus:
∑(fo-fe)2
χ2 =
fe

Keterangan:
χ2 : Chi square (hubungan variabel dependen dan variabel independen)
fo : Frekuensi observasi (nilai observasi)
fe : Frekuensi yang di harapkan (nilai sampel)
(Sugiyono, 2003)
Kaidah penerimaan Hipotesis:
1. Ada hubungan bila χ2 hitung lebih besar dari χ2 tabel
2. Tidak ada hubungan bila χ2 hitung kurang dari χ2 tabel



















BAR IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Anggrek pada tanggal 8 April sampai dengan tanggal 14 Mei 2009. Pengambilan sampel dengan cara Purposive sampling dengan jumlah sampel 80 orang. Data primer diambil melalui wawancara langsung yang dilakukan pada responden. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SPSS versi 14 dengan uji Chi Square dan hasilnya sebagai berikut:









Sumber : Data Primer
Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur
di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.
Berdasarkan grafik di atas, distribusi umur responden yang paling banyak berada pada rentang umur antara 41-64 tahun dengan jumlah 52 responden (65%) sedangkan yang paling sedikit berada pada rentang umur antara 15-25 tahun dengan jumlah 1 responden (1,25%).
Tabel 4.1
Gambaran Kekambuhan Penyakit Reumatik Berdasarkan Umur
di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.
Umur (tahun) Kekambuhan Jumlah
Sering Jarang
n % n % n %
15-25 1 100 0 0 1 100
26-40 12 75 4 25 16 100
41-64 40 76,92 12 23,08 52 100
≥ 65 9 81,82 2 18,18 11 100
Total 62 77,5 18 22,5 80 100

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa distribusi umur yang paling banyak berada pada rentang umur 41-64 tahun dengan jumlah 52 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik sebanyak 40 responden (76,92%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 12 responden (23,08%) dari total 52 responden, distribusi pada rentang umur 26-40 sebanyak 16 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 12 responden (75%), sedangkan yang jarang kambuh sebanyak 4 responden (25%) dari total 16 responden, distribusi pada rentang umur ≥ 65 tahun sebanyak 11 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 9 responden (81,82%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 2 responden (18,18%) dari total 11 responden, dan distribusi umur yang paling sedikit berada pada rentang umur 15-25 tahun dengan jumlah 1 responden.










Sumber : Data Primer
Grafik 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin
di Kecamatan Anggrek
Berdasarkan grafik di atas responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 47 responden (58,75%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 33 responden (41,25%).
Tabel 4.2
Gambaran Kekambuhan Penyakit Reumatik Berdasarkan Jenis Kelamin
di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.
Jenis Kelamin Kekambuhan Jumlah
Sering Jarang
n % n % n %
Laki-laki 36 76,60 11 23,40 47 100
Perempuan 24 72,73 9 27,27 33 100
Total 60 75 20 25 80 100

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa distribusi jenis kelamin yang paling bayak yaitu laki-laki dengan jumlah 47 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 36 responden (76,60%), sedangkan yang jarang mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 11 responden (23,40%) dari total 47 responden, dan distribusi jenis kelamin perempuan sebanyak 33 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 24 responden (72,73%), sedangkan yang jarang mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 9 responden (27,27%) dari total 33 responden.










Sumber : Data Primer
Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan
di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.
Berdasarkan grafik di atas terdapat sebagian besar responden mempunyai pekerjaan petani dengan jumlah responden 38 responden (47,5%), sedangkan pekerjaan sebagai tukang berjumlah 1 responden (1,25%).

Tabel 4.3
Gambaran Kekambuhan Penyakit Reumatik Berdasarkan Pekerjaan
di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.
Pekerjaan Kekambuhan Jumlah
Sering Jarang
n % n % n %
Petani 29 76,32 9 23,68 38 100
IRT 21 77,78 6 22,22 27 100
PNS 5 71,43 2 28,57 7 100
Nelayan 4 100 0 0 4 100
Swasta 2 66,67 1 33,33 3 100
Tukang 1 100 0 0 1 100
Total 62 77,5 18 22,5 80 100

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa distribusi pekerjaan yang paling dominan adalah petani dengan jumlah 38 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik sebanyak 29 responden (76,32%), sedangkan yang jarang mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 9 responden (23,68%) dari total 38 responden, distribusi pekerjaan sebagai IRT sebanyak 27 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 21 responden (77,78%), sedangkan yang jarang kambuh sebanyak 6 responden (22,22%) dari total 27 responden, distribusi pekerjaan sebagai PNS sebanyak 7 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 5 responden (71,43%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 2 responden (28,57%) dari total 7 responden, dan distribusi pekerjaan sebagai nelayan sebanyak 4 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 4 responden (100%), sedangkan yang jarang kambuh tidak ada dari total 4 responden, distribusi pekerjaan sebagai swasta sebanyak 3 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 2 responden (66,67%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 1 responden (33,33%) dari total 3 responden, dan distribusi pekerjaan yang paling sedidit adalah sebagai tukang sebanyak 1 responden, dan sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik.











Grafik 4.4. Distribusi Perilaku Pencarian Pengobatan di Kecamatan Anggrek.

Bardasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa, perilaku masyarakat dalam mencari pengobatan yang digolongkan perilaku baik sebanyak 20 responden (25%), dan perilaku tidak baik sebanyak 60 responden (75%). Perilaku yang tidak baik tersebut salah satunya yang paling dominan adalah mencari pengobatan diwarung, yaitu sebanyak 43 responden (53,75%), kemudian perilaku tidak baik lainnya adalah mengobati sendiri, yaitu sebanyak 6 responden (7,50%), mencari pengobatan tradisional sebanyak 9 responden (11,25%) dan yang tidak bertindak saat keluhan dirasakan sebanyak 2 responden (2.50%). Perilaku baik dalam hal mencari pengobatan yang paling dominan adalah berobat di Puskesmas sebanyak 14 responden (17,50%), yang berobat ke dokter praktek sebanyak 3 responden (3,75%), dan yang berobat di Rumah sakit sebanyak 3 responden (3,75%).








Grafik 4.5. Distribusi Pola/Kebiasaan makan daging di Kecamatan Anggrek.
Bardasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa, pola/kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi daging yang digolongkan jarang mengkonsumsi sebanyak 67 responden (83,75%), dan sering mengkonsumsi sebanyak 13 responden (16,25%).








Grafik 4.6. Distribusi Kekambuhan Penyakit Reumatik di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.

Dari grafik di atas di dapatkan data bahwa jumlah responden yang penyakit reumatiknya sering kambuh berjumlah 18 responden (22,5%), sedangkan jumlah responden yang penyakit reumatiknya jarang kambuh berjumlah 62 responden (77,5%).
Tabel 4.4
Hubungan Antara Perilaku Pencarian Pengobatan Dengan
Kekambuhan Penyakit Reumatik.
Perilaku Kekambuhan Jumlah χ2 p
Sering Jarang
n % n % n % 11,565 0,001
Negatif 52 86,67 8 13,33 60 100
Positif 10 50 10 50 20 100
Total 62 77,5 18 22,5 80 100

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa perilaku negatif yang sering kambuh berjumlah 52 responden (86,67%), sedangkan perilaku yang positif yang sering kambuh berjumlah 10 responden (50%), sedangkan responden yang perilakunya negatif yang jarang kambuh berjumlah 8 responden (13,33%), dan responden yang perilakunya positif yang jarang kambuh berjumlah 10 responden (50%). Total responden yang beperilaku positif sebanyak 20 responden (25%), dan responden yang berperilaku positif sebanyak 60 responden (75%). Sedangkan total responden yang sering kambuh 62 responden (77,5%) dan yang jarang kambuh 18 responden (22,5%). Hasil analisis uji Chi Square dimana χ2 hitung = 11,565 sedangkan χ2 tabel pada derajat kebebasan 1=3,84 dengan taraf kesalahan α = 0,05, nilai p = 0,001.
Tabel 4.5
Hubungan Antara Pola/Kebiasaan Makan Daging Dengan
Kekambuhan Penyakit Reumatik.
Perilaku Kekambuhan Jumlah χ2 p
Sering Jarang
n % n % n % 0,451 0,502
Sering Mengkonsumsi 11 84,62 2 15,38 13 100
Jarang Mengkonsumsi 51 76,12 16 23,88 67 100
Total 62 77,5 18 22,5 80 100

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa sering mengkonsumsi yang sering kambuh berjumlah 11 responden (84,62%), sedangkan sering mengkonsumsi yang jarang kambuh berjumlah 2 responden (15,38%), sedangkan responden yang jarang mengkonsumsi yang sering kambuh berjumlah 51 responden (76,12%), dan responden yang jarang mengkonsumsi yang jarang kambuh berjumlah 16 responden (23,88%). Total responden yang jarang kambuh 62 responden (77,5%) dan yang sering kambuh 18 responden (22,5%). Hasil analisis uji Chi Square dimana χ2 hitung = 0,451 sedangkan χ2 tabel pada derajat kebebasan 1=3,84 dengan taraf kesalahan α = 0,05, nilai p = 0,502.
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan distribusi frekuensi responden menurut umur (tabel 1), ternyata frekuensi umur yang paling banyak berada pada rentang umur antara 41-64 tahun dengan jumlah 52 responden (65%). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penyakit reumatik dengan gejala arthritis rematoid sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun (Junaidi, 2006 ).
Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin di dapatkan data responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dengan jumlah 47 responden (58,75%) daripada perempuan dengan jumlah 33 responden (41,25%), hal ini sesuai dengan teori Mansjoer (2000), bahwa penyakit reumatik dengan gejala Arttritis Gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita, dan berdasarkan distribisi frekuensi responden menurut pekerjaan di dapatkan data pekerjaan yang paling banyak adalah petani dengan jumlah 38 responden (47,5%). Hal ini sependapat dengan Junaidi (2006) yang mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya penyakit reumatik adalah pekerjaan. Pekerjaan yang erat kaitanya dengan angka kejadian penyakit reumatik adalah pekerjaan yang memerlukan kekuatan ekstremitas bagian bawah termasuk didalamnya pekerjaan sebagai petani.
Berdasarkan distribusi perilaku pencarian pengobatan, sebagian besar perilaku responden dalam mencari pengobatan adalah membeli obat diwarung, yaitu sebanyak 43 responden (53,75%), dan sebagian kecil tidak bertindak, yaitu sebanyak 2 responden (2,5%). Hal ini sependapat dengan Brunner and Suddart (2002), kekambuhan pada penyakit reumatik salah satu penyebabnya adalah perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah perilaku yang tidak mampu melaksanakan terapi dengan tepat.
Berdasarkan hasil analisa uji Chi Square hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik menunjukkan χ2 hitung = 11,565 sedangkan χ2 tabel = 3,84. Sesuai dengan kaidah hipotesis statistik, yaitu Ho diterima bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel dan ditolak bila harga χ2 hitung lebih besar atau sama besar dengan harga χ2 tabel. Jadi χ2 hitung = 11,565 > χ2 tabel = 3,84, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek, sedangkan hasil analisa uji Chi Square hubungan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik menunjukkan χ2 hitung = 0,451 sedangkan χ2 tabel = 3,84. Sesuai dengan kaidah hipotesis statistik, yaitu Ho diterima bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel dan ditolak bila harga χ2 hitung lebih besar atau sama besar dengan harga χ2 tabel. Jadi χ2 hitung = 0,451 < χ2 tabel = 3,84, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar masyarakat di wilayah Kecamatan Anggrek tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging, dan mengkonsumsi daging bagi masyarakat pesisir pantai bukanlah salah satu pilihan dalam penyajian makanan sehari-hari.
Menurut Brunner and Suddart (2002), kekambuhan pada penyakit reumatik salah satu penyebabnya adalah perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah perilaku yang tidak mampu melaksanakan terapi dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas yang berlebihan dan tidak dapat mengenal gejala kekambuhan. Sehingga hasil statistik di atas beralasan, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit rematik di Kecamatan Anggrek.
Jadi, berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat di Kecamatan Anggrek, tenyata perilaku pencarian pengobatan semakin berperilaku tidak baik akan berpengaruh pada tingkat kekambuhan penyakit reumatik yang terjadi lebih sering, dengan demikian masyarakat yang berperilaku baik ternyata tingkat kekambuhannya jarang. Melihat hasil penelitian ini, ternyata pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk mengurangi tingkat kekambuhan penyakit reumatik.



BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Distribusi berdasarkan umur yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berada pada rentang umur 41-64 tahun dengan jumlah 40 responden.
2. Distribusi berdasarkan jenis kelamin yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik yaitu paling bayak pada jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 47 responden.
3. Distribusi berdasarkan pekerjaan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik paling dominan adalah petani dengan jumlah 38 responden.
4. Ada hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek.
5. Tidak ada hubungan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek
Jadi, berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat di Kecamatan Anggrek, perilaku pencarian pengobatan masyarakat semakin berperilaku tidak baik akan berpengaruh pada tingkat kekambuhan penyakit reumatik yang terjadi lebih sering.



B. Saran
1. Diharapkan kepada masyarakat untuk memanfaatkan tempat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit dan atau dokter praktek apabila menderita sakit terutama penyakit reumatik.
2. Diharapkan kepada Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, untuk dapat meningkatkan upaya promotif dengan pemberian penyuluhan kesehatan tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk mengurangi angka kejadian penyakit terutama kekambuhan penyakit reumatik.
3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar mengkaji lebih dalam lagi tentang faktor-faktor lain yang diduga berhubungan dengan kekambuhan penyakit reumatik, mengingat penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan dari beberapa segi.










DAFTAR PUSTAKA
Brunner., Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1999. Indonesia Sehat 2010. Jakarta.
Gordon, N. 1997. Radang Sendi (arthritis). Rajagrafindo. Jakarta.
Isbagio, H. 2007. Reumatoid Arthritis. www.rheumatoidarthritis.blogspot.com. Junaidi, N. 2006. Reumatik dan Asama Urat. BIP. Jakarta.
Mansjoer, A.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapios. Jakarta.

Notoatmojo, S. 2000. Metodologi Penelitiaan Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.

Rochman, F. 2007. Musculoskeletal Complications in Degeneratif Desease. Jakarta: Educational and Training Section Of Indonesian PMR Association. Hal. 56-66

Sjaifoellah, N. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi III. Balai Penerbit FKUI Jakrta.

Sunaryo, 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Jakarta.
Sugiyono, 2003. Statistik Non Parametris Untuk Penelitian. Alfabet. Bandung.
Yova, 0., dkk. 2000. Nursing Outcome Classification. Boston: Mosbly.
Rosenstock, 1974. Health Belief Model. http://bbawor.blogspot.com.diakses 28 Mei 2009









Tidak ada komentar:

Posting Komentar