tag:blogger.com,1999:blog-33873267375482003742024-02-08T04:07:40.463-08:00KUMPULAN SKRIPSI, TESIS DAN KARYA TULIS ILMIAHmeikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-28509468982673500592010-01-02T02:45:00.000-08:002010-01-02T02:48:18.275-08:00GAMBARAN KUALITAS FISIK AIR BERSIH DI DESA DUDEPO KECAMATAN ANGGREK KABUPATEN GORONTALO UTARAA. Latar Belakang<br />Di Indonesia sumur gali merupakan cara pengambilan air tanah yang banyak dimanfaatkan pada daerah pedesaan karena mudah pembuatannya dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dengan peralatan yang sederhana dan biaya yang murah. Sumur gali dibuat oleh masyarakat dengan diameter 1 – 2 meter. Sumur gali ini pada umumnya dibuat adalah untuk mengambil air tanah bebas sehingga sangat dipengaruhi oleh musim.<br />Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah yang muncul secara alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air ini, bila belum tercemar oleh kotoran sudah dapat dijadikan sumber air minum. Tetapi karena kita belum yakin apakah betul belum tercemar, maka alangkah baiknya air tersebut dimasak dahulu sebelum diminum.<br />Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat dan pengawasan kualitas air pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa kualitas air harus memenuhi syarat kesehatan yang meliputi persyaratan fisik, kimia, mikrobiologi maupun radioaktif. Berdasarkan monitoring Direktorat Penyediaan Air Dirjen PPM dan PL Depkes RI (1990), selama dasawarsa terakhir ini menunjukkan bahwa kualitas bakteriologi air di Indonesia semakin menurun, baik dari perpipaan (PDAM) maupun dari sarana air bersih lainnya.<br />Seminar pengkajian kebijakan strategi pengembangan sumber daya air jangka panjang di Indonesia tahun 1991, menyatakan ada beberapa masalah yang dihadapi dalam penyediaan air bersih untuk permukiman antara lain :<br />1. Peningkatan kebutuhan air untuk pemukiman perkotaan belum dapat diimbangi dengan kemampuan yang cukup untuk menyediakan.<br />2. Kapasitas produksi terpasang yang sudah cukup relatif karena belum terpasangnya jaringan distribusi secara lengkap, selain masih tingginnya kebocoran dengan perkiraan berkisar 30 – 40 %.<br />3. Untuk mendapat air baku sebagai air bersih sangat sulit karena sebagai besar sumber air baku yang tercemar, baik oleh air limbah rumah tangga maupun industri, sebagai akibat dari pencemaran tersebut biaya produksi air bersih menjadi tinggi dan tarif yang dikenakan kepada masyarakat menjadi relatif mahal.<br />Pemenuhan kebutuhan air bersih di dari rumah tangga dai tahun ketahun mengalami peningkatan. Sebagian besar (36,54 %) masyarakat pedesaan di Indonesia memanfaatkan sarana air bersih berupa sumur terlindung, (18,59 %), sumur tidak terlindung dan (11,65 %) mata air terlindung. Dari 19 propinsi yang mengirimkan laporan hasil pemeriksaan bakteriologis sampel air bersih hanya 67,76 % diantaranya dinyatakan memenuhi syarat baktriologis sedangkan kualitas air bersih secara fisik tidak dilaporkan. (Argadireja, 2001).<br />Data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo bahwa tahun 2000 menunjukan jumlah sumur gali sebanyak 298.818 (58,69%). Dengan hasil pemeriksaan terhadap kualitas fisik air bersih dari 994 sampel yang diperiksa 870 sampel (90,25 %) memenuhi syarat. Sedangkan di Kabupaten Gorontalo Utara jumlah sumur gali pada tahun yang sama sebanyak 213.159 (83,10 %). (Profil Kesehatan Gorontalo, 2001)<br />Dari wawacara yang dilakukan penulis dengan petugas sanitasi di Puskesmas Anggrek diperoleh informasi bahwa kualitas fisik air bersih yang dimanfaatkan di Desa Dudepo Kecamatan Anggrek belum Memadai <br />Berdasarkan hasil pengamatan pada studi pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan Mei 2009, dari 273 kepala keluarga di Desa Dudepo ternyata hanya sebagian kecil yang telah memiliki sumber air minum yang layak di konsumsi dan sebagian besar belum memilik sumber air minum.<br />Air merupakan bagian dari lingkungan fisik, yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia baik kebutuhan individu sebagai mahluk hidup maupun untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup sehari – hari seperti : untuk minum, masak, mencuci, mandi, memelihara kebersihan lingkungan maupun keperluan lainnya. Oleh karena itu air harus tersedia dalam jumlah yang cukup, mudah untuk memperoleh serta memenuhi syarat kesehatan. Atas dasar uraian tersebut penulis merasa tertarik mengadakan penelitian dengan judul “ Gambaran Kualitas Fisik Air Bersih di desa Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara<br />B. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan “Seberapa Baik Kualitas Fisik Air Bersih di Desa Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara?”.<br /><br /><br /><br />C. Tujuan Penelitian<br /><br />1. Tujuan Umum <br />Tujuan penelitian ini adalah memberi gambaran tentang kualitas fisik air bersih di Desa Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.<br />2. Tujuan Khusus <br />a. Untuk mengetahui kualitas fisik air bersih dalam hal suhu air<br />b. Untuk mengetahui kualitas air bersih dalam hal warna air<br />c. Untuk mengtahui kualitas air bersih dalam hal bau air<br />d. Untuk mengetahui kualitas air bersih dalam hal rasa air <br />D. Manfaat Penelitian<br />1. Sebagai bahan masukan atau informasi bagi masyarakat untuk dapat mengenal tentang kualitas air bersih.<br />2. Sebagai bahan informasi dan masukan pada masyarakat Desa Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara tentang kualitas air bersih. <br />3. Untuk mengembangkan wawasan dalam keterampilan yang berguna bagi penulis dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan dimasa datang serta memperoleh pengalaman dalam pembuatan karya tulis ilmiah.<br />4. Untuk tambahan ilmu dan sebagai sumber bacaan untuk penelitian selanjutnyameikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-61499228029029817102010-01-02T02:41:00.000-08:002010-01-02T02:44:45.378-08:00ANALISIS PENGEMBANGAN OBYEK WISATA ( THE TOURISM OF DEVELOPMENT ) TERHADAP TINGKAT KUNJUNGAN WISATAWAN DI PENTADIO RESORT KABUPATEN GORONTALOBAB 1<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Latar Belakang<br />Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki obyek-obyek wisata yang sangat menarik antara lain: wisata alam, wisata buatan, wisata budaya sejarah dan wisata bahari, telah secara serius memperhatikan perkembangan sektor pariwisata. Perkembangan dunia wisata diharapkan akan berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan, hal ini perlu didukung dengan tersedianya fasilitas-fasilitas umum pendukung industri pariwisata, disamping dengan terus memperbaiki obyek dan daya tarik wisata yang akan ditawarkan. Kawasan wisata di Kabupaten Gorontalo sebagai asset pariwisata perlu diperhatikan. Penanganan yang professional atas asset pariwisata ini juga perlu ditingkatkan terutama perencanaan dan penataan yang berwawasan alam dan budaya. Agar obyek wisata dapat dimanfaatkan secara nyata diperlukan modal dan teknologi yang memadai, serta untuk menjaga kelestarianya diperlukan pengelolaan yang efektif agar tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap lingkungan kawasan dan sosial budaya masyarakat sekitar.<br />Pemanfaatan jasa lingkungan untuk kepentingan wisata alam, perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan obyek wisata alam yakni konservasi, edukasi, ekonomi, rekreasi dan peran / partisipasi masyarakat. Diharapkan dalam pengembangan obyek wisata tidak hanya melihat pada hasil jangka pendek, tetapi harus melihat pada kelangsungan jangka panjang sehingga perlu perencanaan dan dukungan yang matang tidak hanya dari swasta tapi juga pemerintah dan masyarakat.<br />Salah satu upaya pengembangan objek wisata adalah dengan memanfaatkan potensi objek wisata itu sendiri. Adapun untuk menemukan potensi objek wisata di suatu daerah orang harus mengacu pada apa yang dicari oleh wisatawan. Umum diketahui bahwa modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan itu ada tiga, yakni: alam, kebudayaan, dan manusia itu sendiri.<br />Yang perlu diperhatikan dalam pengembangan objek wisata adalah kemampuan untuk mendorong peningkatan kunjungan wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. <br />Beberapa objek wisata yang berada di Kabupaten Gorontalo antara lain yaitu : Menara limboto, Lapangan golf yosonegoro, Cagar alam hutan nantu, Pemandian taluhu barakati, Cagar alam tangale, Pemandian Air Panas Pentadio Resort yang dijadikan sebagai obyek penelitian.<br />Obyek wisata Pentadio Resort merupakan salah satu lokasi objek wisata bertaraf internasional di Kecamatan Telaga biru, Kabupaten Gorontalo. Pentadio tepatnya terletak di kawasan Danau Limboto. Selain strategis, tempat ini terlihat sangat menarik. <br />Fasilitas yang ada di Pentadio Resort ini antara lain: restauran, toko souvenir, kolam renang, pondokan, sauna, air mancur, lokasi pemancingan, dan bak air panas. Dilokasi ini juga terdapat sumber air panas yang mengalir ke Danau Limboto. Dilokasi tersebut pengunjung dapat menyaksikan semburan mata air yang cukup panas sehingga dapat digunakan untuk merebus telur hingga matang. Mereka dapat menikmati siraman air dari sumber air yang cukup hangat yang sangat bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit kulit. Disamping itu, kawasan ini juga dilengkapi barbagai macam fasilitas yang bertaraf internasional dan dikelola secara profesional, sehingga para pengunjung dapat melakukan aktivitas santai lainya dengan nyaman, seperti mandi uap, mandi celup, berenang di kolam renang air panas atau di kolam renag air dingin, memancing, dan bersepeda air. Bagi pengunjung yang ingin menyalurkan hobi menyanyi, di lokasi ini juga tersedia pub dan karaoke.<br />Melihat obyek wisata ini semakin ramai dikunjungi para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Gorontalo merenovasi dan melengkapi objek wisata ini dengan berbagai macam fasilitas penunjang yang dapat memanjakan para pengunjung.<br />B. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat di tarik suatu rumusan masalah tentang “Analisis Strategi Pemasaran dan Pengembangan Obyek Wisata (The Tourism Of Development) Terhadap Tingkat Kunjungan Wisatawan Di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo” <br /><br /><br /><br />C. Masalah pokok<br />Yang menjadi masalah pokok yaitu: apakah Strategi pemasaran dan pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development) dapat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo.<br />D. Tujuan <br /> Adapun tujuan yaitu untuk mengetahui pengaruh strategi pemasaran dan pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development) terhadap tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo.<br />E. Manfaat<br />1. Membantu merumuskan strategi alternatif dalam penyusunan strategi pemasaran<br />2. Lebih mengenalkan objek wisata bagi masyarakat luas<br />3. Menamba wawasan dan cara menganalisa strategi pemasaran dan pengembangan terhadap jasa objek wisata dan mengantisipasi jika terjadi masalah<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB 11<br /> TINJAUAN PUSTAKA<br />A. Pengertian Manajemen Pemasaran<br />Manajemen pemasaran menurut Kotler didefinisikan sebagai berikut: Manajemen pemasaran adalah analisis perencanaan, penerapan dan pengendalian terhadap program yang dirancang untuk menciptakan, membangun, dan mempertahankan pertukaran dan hubungan yang menguntungkan pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi. <br />Boyld (2000, hal 13) mengemukakan bahwa manajemen pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi serta penyaluran gagasan barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi.<br />Siswanto (2001, hal 8) mengemukakan ruang lingkup manajemen pemasaran meliputi :<br />1. Menyusun rencana atau strategi umum<br />2. Mengarahkan pelaksanaan rencana atau strategi tersebut<br />3. Menilai, menganalisa dan mengawasi seberapa jauh hasil rencana atau strategi yang telah dicapai. Sedangkan manajemen pemasaran menurut Stanton (2001, hal 5) yaitu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang di tujukan untuk merencanakan, menentukan harga, dan mendistrbusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada, maupun pembeli potensial.<br />Dari definisi di atas, manajemen pemasaran dirumuskan sebagai suatu proses manajemen yang meliputi penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pasar, serta mendorong proses pertukaran secara sempurna dan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Konsep Pemasaran Pemasaran merupakan faktor penting bagi keberhasilan suatu perusahaan, maka faktor pelayanan menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, maka konsep pemasaran dapat didefinisikan sebagai berikut: Konsep pemasaran adalah sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuas kebutuhan debitur merupakan syarat ekonomis dan sosial bagi kelangsungan hidup perusahaan ( Assael H, 2000). <br />Berdasarkan definisi tersebut, dapat diambil makna bahwa seluruh kegiatan dalam perusahaan harus ditujukan kepada pemuas kebutuhan debitur, sehingga dapat diperoleh laba maksimum dalam jangka panjang, demi kelangsungan hidup perusahaan. <br /> Swastha dalam bukunya ”Asas-asas Marketing” di sebutkan bahwa ada tiga faktor yang mendasari konsep pemasaran, yaitu:<br />1. Seluruh perencanaan dan kegiatan perusahaan harus berorientasi pada debitur atau pasar.<br />2. Volume penjualan yang menguntungkan harus menjadi tujuan perusahaan.<br />3. Seluruh kegiatan perusahaan dalam pemasaran harus dikoordinasikan dan diintegrasikan secara organisasi. berdasarkan hal tersebut maka konsep pemasaran ini mempunyai hubungan yang erat dengan dengan perkembangan manajemen pemasaran. Sejak terjadinya revolusi industri, manajemen pemasaran telah mengalami beberapa tahap perkembangan yaitu: <br />1) Tahap orientasi produksi. Pada tahap ini, perusahaan mempunyai masalah utama bagaimana caranya untuk meningkatkan produksi, faktor layanan yang lain dengan harga yang layak agar dapat diperoleh laba yang besar. Konsep yang di anut oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah konsep produk yang dijual dengan harga yang layak, dan diperlukan sedikit usaha pemasaran agar tercapai penjualan yang memuaskan.<br />2) Tahap orientasi penjualan. Setelah masalah produksi teratasi jumlah produk menjadi berlimpah oleh karena pangsa pasar terbatas, maka timbul permasalahan bagaimana agar dapat menjual produk-produk yang telah dihasilkan. Perusahaan yang berada pada tahap ini mengatur sebuah konsep yaitu konsep penjualan, yang menyatakan bahwa debitur tidak akan bersedia membeli suatu produk dalam jumlah yang cukup banyak tanpa didorong dengan usaha-usaha promosi yang kuat. Perusahaan yang mengaplikasikan konsep ini lebih mementingkan penjualan daripada kepuasan debitur. Cara seperti ini pada hakekatnya justru merugikan perusahaan sendiri, sebab pembeli marasa tertipu dan kecewa sehingga tidak akan mengulang pembelianya.<br />3) Tahap orientasi pemasaran. Dengan adanya berbagai perubahan masyarakat yang cepat, kemajuan teknologi yang semakin maju dan rasa jenuhdebitur, maka orientasi penjualan tidak dapa lagi memberikan pamecahan atau jawaban secara keseluruhan terhadap usaha-usaha untuk mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai tujuan perusahaan harus lebih meningkatkan kebutuhan dan keinginan debitur. Perusahaan yang demikian ini mengatur organisasi pemasaran, menyatakan bahwa kunci untuk mencapai tujuan perusahaan terdiri dari penentuan kebutuhan dan keinginan debitur dan pemberian kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien dari yang dilakukan oleh pesaing. Jadi konsep pemasaran adalah suatu orientasi pada debitur yang didukung oleh pemasaran yang terpadu dan ditunjukan untuk mencapai kepuasan yang semakin meningkat sebagai kunci terciptanya tujuan perusahaan. <br />4) Orientasi manusia dan tanggungjawab sosial perusahaan yang berupaya memberikan kepuasan kepada debitur dan kemakmuran masyarakat dalam jangka panjang mengatur konsep pemasaran kemasyarakatan. Konsep ini menyatakan bahwa perusahaan harus menghasikan kepuasan dabitur dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang sebagai kunci uantuk mencapai tujuan perusahaan yang banyak behubungan dengan masalah penciptaan dan pencapaian faktor hidup yang lebih baik, maka konsep ini dipandang sebagai konsep pemasaran yang baru. Perkembangan masyarakat dan teknologi telah menyebabkan perkembangan konsep pemasaran. Sekarang ini perusahaan dituntut untuk dapat menggapai cara-cara atau kebiasaan masyarakat. Perusahaan tidak hanya berorientasi ada debitur saja, tetapi juga harus berorientasi kepada masyarakat. Dengan konsep pemasaran sosial (Social Market Concept), perusahaan berusaha memberikan kepuasan debitur dan kesejahteraan masyarakat untuk jangka panjang.<br />B. Pengertian Pemasaran<br />Pengertian pemasaran dari pendapat beberapa ahli telah mengemukakan definisi tentang pemasaran yang kelihatannya berbeda meskipun sebenarnya sama. Perbedaan ini disebabkan karena mereka meninjau pemasaran yang paling luas, ada beberapa pendapat mengenai definisi pemasaran diantaranya dikemukakan oleh (Stanton, 2000 : 112) yaitu: Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial<br />Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individu-individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai. (Kotler, 2000, hal 5).devinisi pemasaran itu berpijak pada konsep-konsep inti pemasaran, yakni sebagai berikut :<br />1. Kebutuhan, keinginan dan permintaan<br />2. Produk<br />3. Nilai, biaya dan kepuasan<br />4. pertukaran, transaksi dan hubungan<br />5. Pasar<br />6. Pemasar dan pemasaran. <br />Menurut Sumarni (2002, hal 261) Pemasaran adalah suatu sistem keseluruan dari kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistrbusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepala pembeli yang ada maupun pembeli potensial. <br />H.Nystrom menyatakan bahwa Pemasaran merupakan suatu kegiatan penyaluran barang atau jasa dari tangan produsen ke tangan konsumen.<br />Adapun pengertian pemasaran menurut Philip dan Duncan, Pemasaran yaitu sesuatu yang meliputi semua langkah yang dipakai atau dibutuhkan untuk menempatkan barang yang bersifat tangible ke tangan konsumen.<br />Sedangkan menurut Asosiasi Pemasaran Amerika Serikat / American Merketing Association, Pemasaran adalah pelaksanaan kegiatan usaha pedagangan yang diarahkan pada aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. <br />Radiosunu (2001, hal 2) mengartikan bahwa Marketing adalah kegiatan manusia yang di arahkan pada usaha memuaskan kainginan dan kebutuhan manusia melalui proses pertukaran. Devinisi tersebut dengan jelas labih ditekankan pada usaha memuaskan keinginan dan kebutuhan manusia untuk dapat melangsungkan hidupnya. <br />Adapun definisi pemasaran menurut Stewart (2002, hal 4) mendefinisikan bahwa pemasaran adalah proses dalam masyarakat dengan mana struktur permintaan akan barang ekonomi dan jasa-jasa diantisipasi, diluaskan, dan dipenuhi malalui konsepsi, promosi pertukaran dan distribusi fisik dari barang-barang dan jasa-jasa tersebut. <br />Selanjutnya Haward (2001, hal 110) memberikan pengertian pemasaran yang lebih terperinci yaitu :<br />1. Mendefinisikan, kebutuhan-kebutuhan konsumen.<br />2. Mengkonseptualisasi kebutuhan-kebutuhan tersebut dihubungkan dengan kapasitas sebuah organisasi untuk memproduksi.<br />3. Mengkomunikasikan konseptualisasi tersebut kepada pusat kekuatan yang ada pada organisasi yang bersangkutan.<br />4. Mengkomunikasikan konseptualisasi kepada pihak konsumen.<br />Dari definisi tersebut di atas terlihat bahwa pemasaran mencakup usaha perusahaan yang dimulai antara lain dengan mengidentifikasikan kebutuhan debitur yang perlu dipuaskan melalui pelayanan yang bermutu.<br />Selanjutnya Stanton beranggapan bahwa keberhasilan pelayanan dalam pemasaran menentukan keberhasilan perusahaan. Untuk itu kegiatan pemasaran harus dikoordinasikan dan dikelola dengan cara yang baik. <br /><br />C. Pengertian Strategi<br />Konsep ini relevan dengan situasi jaman dulu yang sering diwarnai perang, dimana jendral dibutuhkan untuk memimpin suatu angkatan perang agar dapat selalu memenangkan perang. Strategi biasa diartikan sebagai suatu rencana utuk pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material-material pada daerah-daerah tetentu untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks bisnis strategi merupakan penggambaran arah bisnis yang mengikuti lingkungan yang dipilih dan merupakan pedoman untuk mengalokasikan sumber daya dan usaha suatu organisasi. Maka strategi adalah kunci keberhasilan dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis, yang mana memberikan kesatuan arah bagi suatu organisasi (Supriyono, 1990).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar. Teknik Perumusan Strategi<br />D. Pengertian Pariwisata <br />Secara Etimologis Istilah ”PARIWISATA” berasal dari bahasa sansekerta, yang terdiri dari dua suku kata yaitu ”pari” dan ”wisata”. Pari berarti berulang-ulang atau berkali-kali, sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Jadi pariwisata berarti, perjalanan yang dilakukan secara berulang-ulang atau berkali-kali. Orang yang melakukan perjalanan tersebut traveler, sedang orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan wisata disebut tourist. <br />Menurut definisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bresifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan antara keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial budaya, alam dan ilmu.<br />Kemudian pada angka 4 di dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata, menjelaskan bahwa pengertian Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. Dengan demikian pariwisata meliputi :<br />1. Semua kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan wisata.<br />2. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata seperti : kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan peninggalan sejarah (candi, makam), museum, pagelaran seni dan budaya, tata kehidupan masyarakat, dan yang bersifat alamiah : keindahan alam, gunung berapi, danau, pantai dan sebagainya.<br />3. Pengusahaan jasa dan sarana pariwisata, yakni :<br />a. Usaha jasa pariwisata (biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, pramuwisata, konvensi, perjalanan insentif dan pameran, impresariat, konsultan pariwisata, informasi pariwisata);<br />b. Usaha sarana pariwisata yang terdiri dari : akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata, dan sebagainya.<br />c. Usaha-usaha jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pariwisata.<br />Menurut Yoeti (2000 : 98) dalam bukunya “ Pengantar Ilmu Pariwisata” menyebutkan : Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat lain dengan maksud bukan untuk berusaha (business) atau mencari nafka ditempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna bertamasya dan rekreasi untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam”<br />Richard dalam Marpaung, Bahar (2000, 46-47) menjelaskan definisi pariwisata sebagai berikut : Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ketempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengansuatu perencanaan dan dengan maksud bukan untuk berusaha untuk mencari nafka ditempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam.<br />Menurut definisi yang lebih luas yang dikemukakan oleh Kodhyat (2003 : 4) adalah sebagai berikut : pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ketempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebaagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Sedangkan menurut pendapat dari Spillane (2001 : 2) mengemukakan bahwa pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tijuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain. <br /> Wahab (2002 : 55) mengemukakan definisi pariwisata yaitu pariwisata adalah salahsatu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya sebagai sektor yang komplek, pariwisata juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajinan tangan dan cindramata, penginapan dan transportasi.<br />Roberth dalam Mappi Sung (2001 : 9) memberikan batasan bahwa pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan ini serta pengunjung lainya.<br />E. Pengertian Kepariwisataan<br /><br />Kepariwisataan adalah keseluruhan daripada gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendalaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendalaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara.<br /><br /><br />Undang-undang Republik Indonesia No.9/1990 berisi beberapa pengertian tentang kepariwisataan, yaitu:<br />1. Wisata adalah suatu kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan yang dilakukan secara sukarekala serta bersiat semantara untuk menikmati suatu tujuan tersebut.<br />2. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.<br />3. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. <br />4. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan wisata.<br />Seorang ahli ekonomi bangsa Australia, Schulalard, dalam Yoeti, (2001 : 105) telah memberikan batasan kepariwisataan sebagai berikut: “Kepariwisataan adalah sejumlah kegiatan, terutama yang ada kaitanya dengan kegiatan perekonomian yang secara langsung berhubungan dengan masuknya, adanya pendalaman dan bergeraknya orang-orang asing keluar masuk suatu kota, daerah atau negara. <br />Nyoman S.Pendit (2003 : 33) menjelaskan tentang kepariwisataan sebagai berkut: Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan langsung terhadap kemajuan pembangunan atau perbaikan pelabuhan-pelabuhan (laut atau udara), jalan-jalan raya, pengangkutan setempat, program program kebersihan atau kesehatan, pilot proyek sasana budaya dan kelestarian lingkungan dan sebagainya. Yang kesemuanya dapat memberikan keuntungan dan kesenangan baik bagi masyarakat dalam lingkungan daerah wilayah yang bersangkutan maupun bagi wisatawan pengunjung dari luar. Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan dan sumbangan terhadap pelaksanaan pembangunan proyek-proyek berbagai sektor bagi negara-negara yang telah berkembang atau maju ekonominya, dimana pada gilirannya industri pariwisata merupakan suatu kenyataan ditengah-tengah industri lainnya.<br />F. Pengertian Obyek dan Daya Tarik Wisata<br />Pengertian objek dan daya tarik wisata menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 yaitu yang menjadi sasaran perjalanan wisata yang meliputi :<br />1. Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna, seperti : pemandangan alam, panorama indah, hutan rimba, dengan tumbuhan hutan tropis serta binatang-binatang langka.<br />2. Karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro (pertanian), wisata tirta (air), wisata petualngan, taman rekreasi dan tempat hiburan.<br />3. Sasaran wisata minat khusus, seperti : berburu, mendaki gunung, gua, industri, dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat ziarah dan lain-lain.<br />G. Pengertian Wisatawan <br />Dalam Undang-undang kepariwisataan nomor 9 tahun 2000, wisatawan didevinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan wisata. Jadi menurut pengertian ini, semua orang yang melakukan perjalanan wisata disebut ”wisatawan” apapun tujuannya yang penting perjalanan itu bukan untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah ditempat yang dikunjungi.<br />Menurut IUOTO (Internasional Union of Official Travel Organization) sebagaimana disebutkan dalam Damardjati (2001 : 88) kata tourist atau wisatawan haruslah di artikan sebagai:<br />1. Orang yang bepergian untuk bersenang-senang (pleasure), untuk kepentingan keluarga, kesehatan dan lain sebagainya.<br />2. Orang-orang yang bepergian untuk kepentingan usaha.<br />3. Orang-orang yang datang dalam rangka perjalanan wisata walaupun mereka singgah kurang dari 24 jam.<br />H. Pengembangan Obyek Wisata (The Tourism Of Development)<br />Menurut Umar (2005 : 54), bahwa strategi pengembangan adalah setiap usaha untuk memperbaiki pelaksaaan pekerjaan yang sekarang maupun yang akan datang dengan memberikan informasi dalam mempengaruhi peningkatan suatu penerimaan. <br />Pengembangan obyek wisata ada beberapa macam antara lain :<br />1. Pengembangan Sumber Daya Manusia<br />Menurut Nawawi (2003 : 47), ada 3 pengeritan Sumber Daya Manusia Yaitu: <br />a. Sumber Daya Manusia adalah manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi (disebut personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan).<br />b. Sumber Daya Manusia adalah potensi manusia sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya.<br />c. Sumber Daya Manusia adalah potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal didalam organisasi bisnis dan dapat diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.<br />Pengembangan Sumber Daya Manusia adalah memperbaiki efisiensi kerja dalam melaksanakan dan mencapai sasaran program yang ditetapkan. Tujuan pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pariwisata merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia pengelola obyek wisata seperti pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan, agar dalam suatu pelayanan pariwisata dapat memenuhi kebutuhan pengunjung sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisatawan.<br />2. Pengembangan Fasilitas<br />Menurut kamus bahasa Indonesia, pengertian fasilitas adalah sarana dan prasarana untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan dalam suatu pencapaian tujuan yang diharapkan. Pengembangan fasilitas obyek wisata harus benar-benar diperhatikan dan di usahakan seefektif mungkin, agar dapat memenuhi kebutuhan pengunjung.<br /><br /><br />3. Pengembangan Produk Wisata <br />Produk wisata merupakan rangkaian dari berbagai jasa yang saling terkait, yaitu jasa yang dihasilkan dari berbagai perusahaan (segi ekonomis), jasa masyarakat (segi sosial) dan jasa alam. <br />Suwantoro (2007 : 75) pada hakekatnya pengertian produk wisata adalah keseluruhan pelayanan yang diperoleh dan dirasakan atau dinikmati wisatawan semenjak ia meninggalkan tempat tinggalnya sampai kedaerah tujuan wisata yang dipilihnya dan kembali kerumah dimana ia berangkat semula. <br />Yoeti (2002 : 211) Produk wisata sebagai salah satu obyek penawaran dalam pemasaran pariwisata memiliki unsur-unsur utama yang terdiri dari 3 bagian yaitu:<br />a. Daya tarik daerah tujuan wisata, termasuk didalamnya citra yang dibayangkan oleh wisatawan.<br />b. Fasilitas yang dimiliki daerah tujuan wisata, meliputi akomodasi, usaha pengolahan makanan, parkir, transportasi, rekreasi dan lain-lain.<br />c. Kemudahan untuk mencapai daerah tujuan wisata tersebut. <br />Mason (2000 : 46) dan Poewarto (2000 : 46) telah membuat rumusan tentang komponen-komponen produk wisata yaitu :<br />a. Atraksi, yaitu daya tarik wisata baik alam, budaya maupun buatan manusia seperti festival atau pentas seni. <br />b. Aksebilitas, yaitu kemudahan dalam memperoleh atau mencapai tujuan wisata seperti organisasi kepariwisataan (travel agent).<br />c. Amenities yaitu fasilitas untuk memperoleh kesenangan. Dalam hal ini dapat berbentuk akomodasi, kebersihan dan keramahtamahan.<br />d. Networking, yaitu jaringan kerjasama yang berkaitan dengan produk yang ditawarkan baik lokal, nasional maupun internasional.<br /> Pengembangan sebuah produk mengharuskan perusahaan menetapkan manfaat-manfaat apa yang akan diberikan oleh produk itu. Manfaat-manfaat ini dikomunikasikan dan hendaknya dipenuhi oleh atribut produk. Untuk produk barang, misalnya dalam bentuk seperi mutu, ciri dan desain. Mutu produk menunjukan kemampuan sebuah produk untuk menjalankan fungsinya, ciri produk merupkan saran kompetitif untuk membedakan produk perusahaan dengan produk pesaing, sedangkan desain dapat kegunaan atau manfaat produk serta coraknya. Jadi produk barang tidak hanya penampilan yang diperhatikan, tetapi juga hendaknya ia merupakan produk yang simpel, aman, tidak mahal, sederhana dan ekonomis dalam proses produksi dan distribusinya.<br />Kotler (2000, hal 3) menyatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar unruk diperhatikan, dibeli, digunakan atau dikonsumsikan, istila produk mencakup banda fisik, jasa, kepribadian tempat organisasi dan ide.. <br />Dari beberapa pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa produk wisata adalah produk yang di desain sedemikian rupa yang dapat ditawarkan kepada pengunjung wisata untuk di beli, di gunakan atau dikonsumsikan, sesuai dengan kebutuhan para pengunjung. <br />Pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development) perlu diperhatikan dan dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat menarik untuk dikunjungi. Beberapa syarat yang dapat dilakukan dalam pengembangan objek wisata yaitu :<br />a. Obyek wisata tersebut harus mempunyai apa yang disebut dengan ”Something to see” maksudnya harus mempunyai daya tarik khusus, disamping itu juga harus mempunyai atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai Entertaiments” bila orang datang kesana;<br />b. Selanjutnya harus mempunyai ”Something to do” selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat mereka betah tinggal lebih lama;<br />c. Kemudian yang harus ada ialah ”Something to buy” terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ketempat masing-masing. <br />Dari pengertian di atas dapat diberikan gambaran bahwa pengembangan objek wisata merupakan suatu cara untuk memperbaiki objek wisata itu sendiri guna meningkatkan kunjungan wisatawan.<br /><br />I. Analisa SWOT<br />Analisa sangat penting untuk mendapatkan gambaran suatu perusahaan mengenai keadaan perusahaan dan dunia usaha pada umumnya. Dengan gambaran ini perusahaan akan dapat menganalisa kemampuanya untuk mencapai prestasi secara maksimal. SWOT menurut Hani Handoko adalah analisis situasi tidak hanya menyangkut suatu aspek oprasional perusahaan, tetapi juga menyangkut segi pemasaran, produksi, personalia, pembelanjaan dan akuntansi atau administrasi serta segi menejerial.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar. Analisa SWOT<br />(Rakuti,Freddy, 1999).<br />Menurut Fred R. David (1998) SWOT merupakan alat pencocokan yang penting dalam membantu mengembangkan empat tipe strategi:<br />1. Strategi SO atau startegi peluang kekuatan menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang eksternal<br />2. Strategi WO atau strategi kelemahan-peluang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal.<br />3. Strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman menggunakan kekuatan perusahaan untuk menggunakan kekuatan perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal.<br />4. Strategi WT atau strategi kelemahan-ancaman merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman lingkungan.<br />Tabel Matriks SWOT<br />IFAS<br />EFAS Kekuatan (Streght)<br />(Daftar Kekuatan) Kelemahan (Weakness)<br />(Daftar Kelemahan)<br />Peluang (Opportunity)<br />(Daftar Peluang) Strategi SO Strategi WO<br />Ancaman (Threat)<br />(Daftar Ancaman) Strategi ST Strategi WT<br /><br />Sumber: Fred R. David (1998)<br />Keterangan: EFAS(External Factor Analysis Strategy)<br /> IFAS ( Internal Factor Analysis Strategy)<br />J. Segmenting, Targeting and Positioning<br />Menurut Kotler (1997) adalah ”merupakan pemasaran mikro yang mana perusahaan menyesuaikan program pemasaran pada kebutuhan dari segmen geografik, demografik, psikografik atau tingka laku yang ditentukan secara sempit”. Bentuk akhir dari pemasaran yang terterah adalah pemasaran yang di sesuaikan yaitu bila perusahaan menyesuaikan produk dan program pemasaran pada kebutuhan pelanggan spesifik atau organisasi pembelian. Perusahaan yang akan beroprasi dalam pasar yang luas menyadari bahwa ia biasanya tidak dapat melayani seluruh pelanggan dalam pasar tersebut. Para pelanggan terlalu banyak, maka perusahaan melakukan segmentasi, targeting dan positioning yang mana harus dilayani oleh produsen.<br /> Segmentasi Pasar Penentuan Pasar Memposisikan<br /> Sasaran Produk/Jasa<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar Segmenting, Targeting and Positioning<br />Sumber: Philip Kotler Marketing Management (1994).<br />K. Matriks SPACE (Strategic Posisition and Action Evaluation)<br />Merupakan alat pencocokan yang terdiri dari kerangka kerja empat kuadran yang menunjukan apakah strategi agresif, konserfatif, defensif atau bersaing paling cocok untuk suatu organisasi. Sumbuh matriks SPACE menggambarkan dua dimensi internal (kekuatan keuangan) dan (keunggulan bersaing) serta dua dimensi external (stabilitas lingkungan) dan (kekuatan industri), keempat faktor ini adalah penentu paling penting dari posisi strategi organisasi secara keseluruhan.<br />+6<br />+5<br />+4<br />+3<br />+2<br />+1<br /> 0<br />-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 +1 +2 +3 +4 +5 +6<br />-1<br />-2<br />-3<br />-4<br />-5<br />-6<br />Gambar Matriks SPACE<br />Sumber: H. Rowe, R. Madson dan K. Dickel Strategic Management (1982)<br /><br />L. Analisa PLC (Product Life Cycle)<br />Seperti halnya dengan manusia, suatu produk juga memiliki siklus atau daur hidup. Siklus hidup PLC ini yaitu suatu grafik yang menggambarkan riwayat produk sejak diperkenalkan ke pasar sampai dengan ditarik dari pasar. PLC ini merupakan konsep yang penting dalam pemasaran karena memberikan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika bersaing suatu produk. Konsep ini dipopulerkan oleh Levitt (1978) yang kemudian penggunaanya dikembangkan dan diperluas oleh para ahli lainya. Ada berbagai pendapat mengenai tahap-tahap yang ada dalam PLC suatu produk. Ada yang menggolongkanya menjadi introduction, growth, maturity, decline dan termination. Sementara itu ada pula yang menyatakan bahwa keseluruhan tahap-tahap PLC terdiri dari introduction (pioneering), rapid growth (market acceptance), slow growth (turbulance), maturity (saturation), dan decline (obsolescence). Meskipun demikian pada umumnya yang digunakan adalah penggolongan ke dalam empat tahap, yaitu introduction (tahap perkenalan), growth (tahap pertumbuhan), maturity (tahap kedewasaan) dan decline (tahap penurunan).<br />M. Bauran Pemasaran (Marketing Mix)<br />Dalam manajemen marketing kita mengenal adanya marketing mix (bauran pemasaran). Usaha manajemen suatu organisasi marketing untuk mencapai pasaran dilakukan dengan mengkombinasikan dan memobilisasikan sumber-sumber interen dan eksteren dengan menyesuaikan pada kendala unsur lingkungan dalam merumuskan suatu kegiatan marketing. Perpaduan variabel-variabel yang dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan suatu golongan konsumen disebut adonan/bauran pemasaran (marketing mix). Singkatnya, marketing mix adalah suatu kesatuan alat-alat (tools) marketing yang digunakan oleh perusahaan/organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan marketingnya pada pasar sasaran (target market) tertentu Philip kotler (1997). Dasar konsep marketing adalah ”marketing strategis, yang merupakan kombinasi dari variabel-variabel yang dapat dikontrol oleh organisasi/perusahaan”. Marketing mix adalah perpaduan dari variabel-variabel interen yang dapat dikontrol, dimobilisasi untuk mencapai pasar sasaran (segmen) tertentu. Bauran pemasaran sebagai suatu konsep, pertama kali dipelopori oleh Borden sedangkan dalam penerapanya di dunia jasa dilakukan oleh Mac Carthy yang dikenal dengan ”Four Ps” yaitu:<br />Product, Price, Place dan promotion.<br />Bauran pemasaran dalam pelaksanaanya memiliki unsur-unsur yang saling terpadu yang mana tidak dapat dipisahkan agar pemasaran yang dilakukan lebih efektif dalam pelaksanaanya. Christopher Lovelock dalam bukunya Service Marketing (2002) menambahkan ”Three Ps” yaitu: People, Proses dan Physical Evidence.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS<br />A. Kerangka Konseptual<br />Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika sebagai salah satu satuan kerja perangkat daerah di Kabupaten Gorontalo merupakan Dinas yang mempunyai kewenangan dalam mengatur berbagai obyek wisata yang ada di Kabupaten Gorontalo. Salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Gorontalo dan yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini yaitu Pentadio Resort.<br />Pentadio Resort merupakan salah satu lokasi obyek wisata bertaraf internasional di Kecamatan Telagabiru, Kabupaten Gorontalo. Pentadio tepatnya terletak di kawasan Danau Limboto. Selain strategis, tempat ini terlihat sangat menarik. Untuk meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan pada Pentadio resort, maka dilakukan pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development).<br />Pengembangan objek wisata yang dilakukan pada pentadio resort antara lain: pengembangan fasilitas, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan pengembangan produk wisata.<br />Dari ketiga indikator pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development) di atas, maka diharapkan akan mampu meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo. <br />Apabila di gambarkan dalam suatu skema, maka kerangka konseptual diatas menimbulkan alur pikir seperti yang nampak berikut ini: <br />Gambar 1. Alur Kerangka Konseptual<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />B. Hipotesis<br />Berdasarkan permasalahan diatas maka dikemukakan hipotesa kerja sebagai berikut : bahwa dengan adanya strategi pemasaran dan pengembangan obyek wisata (The Tourism Of Development) dapat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />METODE ANALISIS<br />A. Obyek Yang di Analisis<br />Lokasi yang dijadikan obyek adalah salah satu obyek wisata yang ada di wilayah Kabupaten Gorontalo yaitu Pentadio Resort.<br />B. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel<br />1. Identifikasi Variabel<br />a) Variabel independen (X) adalah strategi pemasaran dan pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development).<br />b) Variabel dependen (Y) adalah tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo<br />2. Definisi Operasional Variabel<br />a) Strategi Pemasaran dan Pengembangan Obyek Wisata yang dimaksud adalah meliputi: pemasaran dan pengembangan fasilitas, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemasaran dan pengembangan produk wisata.<br />b) Peningkatan kunjungan wisatawan yaitu rata-rata tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo baik wisatawan nusantara maupun mancanegara.<br /><br /><br />C. Metode Analisis<br />Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu penggambaran atau pendeskripsian strategi pemasaran dan pengembangan objek wisata di Pentadio resort Kabupaten Gorontalo.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB V<br />ANALISA DAN PEMBAHASAN<br />A. Deskripsi Obyek Penelitian <br />Pentadio resort adalah salah satu obyek wisata andalan Provinsi Gorontalo. Kata pentadio di ambil dari bahasa gorontalo yang berarti pantai-danau, sedangkan kata resort di ambil dari bahasa inggris yang berarti tempat istirahat. Dinamakan pentadio karena resort ini berada dipinggir danau limboto yang indah dan mempesona itu. Pada awalnya obyek wisata seluas 14 hektar ( 140 ribu meter² ) ini sudah di temukan sejak tahun 1928 dan telah diresmikan oleh pemerintah Belanda yang ditandai dengan sebuah batu peringatan yang sekarang berada di tempat pemandian air panas. Setelah itu selama bertahun - tahun dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk sarana rekreasi dan menyembuhkan berbagai penyakit. Hingga akhirnya pada tahun 2003 mulai dibenahi oleh pemerintah kabupaten setempat dan diresmikan oleh Menkokesra saat itu dijabat oleh Hj. Jusuf Kalla pada tangal 25 Februari 2004. Obyek wisata yang dibangun dengan biaya Rp. 15 Miliar dengan dana APBD Kabupaten Gorontalo merupakan objek wisata yang bertaraf internasional, dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang, serta dikelola secara professional.<br />Objek wisata ini terletak di Desa Pentadio, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo. Lokasinya sangat menarik dan strategis karena terletak dikawasan Danau Limboto. Memang obyek wisata dengan luas 14 ha ini berada di pinggir danau Limboto yang indah menjadi andalan bagi masyarakat setempat maupun wisatawan yang datang. Semoga saja dengan semakin majunya Pentadio Resort dapat memperbaiki keadaan danau Limboto yang mulai mengalami pendangkalan. <br />Di lokasi ini juga terdapat air panas yang mengalir ke Danau Limboto. Di lokasi tersebut pengunjung dapat menyaksikan semburan mata air yang cukup panas yang mengandung belerang yang dapat digunakan untuk merebus telur hingga matang, selain itu juga pengunjung dapat menikmati siraman air dari sumber mata air yang cukup hangat yang sangat bermanfaat untuk menyembukan penyakit kulit. Di samping itu, kawasan ini juga dilengkapi berbagai macam fasilitas yang bertaraf internasional dan dikelola secara profesional, sehingga para pengunjung dapat melakukan aktivitas santai lainnya dengan nyaman, seperti :<br />- Jalan akses untuk masuk kelokasi obyek wisata pentadio resort<br />Jalan akses masuk yang yang bisa dilewati oleh kendaraan roda 4 dan roda 2, langsung dilokasi yang dituju, yang disediakan dengan tempat parkir yang aman.<br />- Restaurant <br />Wisatawan yang berkunjung dapat menikmati berbagai jenis menu khas Gorontalo serta beragam jenis minuman dan makanan ringan selain itu pengunjung bisa menikmati hiburan yang telah disediakan.<br />- Kolam renang air panas<br />Obyek wisata yang satu ini banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun, mancanegara. Air panas ini berasal dari Danau Limboto. <br />- Kolam renang dewasa<br />Kolam renang ini dirancang untuk wisatawan yang datang untuk berwisata dan juga untuk para atlet renang atau yang memiliki minat berenang.<br />- Kolam renang anak – anak<br />Kolam renang ini dirancang khusus untuk anak-anak yang ingin berenang atau untuk anak-anak yang mempunyai keinginan untuk belajar berenang. <br />- Cottage<br />Cottage ini dirancang dan disesuaikan dengan nuansa alam Danau Limboto. Ada bermacam – macam Cottage dengan harga yang bervariasi yang disesuaikan dengan banyaknya orang yang akan beristrahat ditempat tersebut.<br />- Sauna<br />Tempat mandi ini bersifat pribadi, yang disediakan bagi siapa saja, disini seseorang dapat menikmati terapi air panas yang mengandung belerang yang diyakini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. <br />- Air mancur<br />Dirancang sesederhana mungkin untuk memberikan kesan lebih menarik, agar pengunjung lebih merasakan keindahan dan kenyamanan.<br />- Lokasi pemancingan<br />Tempat ini dibuat untuk para wisatawan yang mempunyai minat untuk memancing sebagai pengisi waktu luang.<br />- Arena bermain<br />Dirancang untuk tempat permainan anak – anak dimana mereka dapat menikmati panorama yang ada di pentadio resort, disini disediakan sepeda air, ayunan dan lain – lain <br />- Sepeda air<br />Selain kolam renang, disediakan juga kolam untuk sepeda air. tempat ini dirancang sedemikian rupa untuk para wisatawan yang ingin bermain sepeda air. <br />- Kolam air panas<br />Khusus untuk berendam air panas mengandung belerang yang berada ditempat terbuka.<br />- Karaoke<br />Bagi para wisatawan yang ingin berkaraoke, disediakan tempat untuk menyalurkan hobinya dibidang tersebut.<br />- Gedung pertemuan<br />Gedung ini disediakan untuk para pengunjung/wisatawan yang ingin mengadakan acara informal/pertemuan, seminar, yang dilengkapi dengan peralatan sound system, meja rapat dan panggung. <br />Pada awalnya obyek wisata pentadio resort ini dikelola oleh pihak swasta dalam hal ini ”mega zanur” Group yang selanjutnya dikelola/diserahkan ke bapak Jen Akib Bobihoe sebagai pengelola yang pada akhirnya dikembalikan/dikelola oleh Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo sampai sekarang. Hal dilakukan oleh pihak swasta karena melihat kondisi yang kurang memberikan kontribusi bagi pengelolanya. <br />B. Deskripsi Variabel<br />1. Analisis Pengembangan Obyek Wisata<br />Kondisi yang terjadi pada obyek wisata Pentadio Resort bahwa pengembangan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan kemajuan baik dari segi pengembangan fasilitas, Sumber Daya Manusia maupun pengembangan produk wisata sehingga belum dapat meningkatkan jumlah pengunjung. Hal ini dapat menyebabkan bertambahnya beban pemerintah dimana tanggung jawab terhadap pengembangan obyek tersebut sangat membutuhkan perhatian dan langkah-langkah strategis dari pihak pemerintah sebagai pengelola. Adapun upaya-upaya Pengembangan obyek wisata Pentadio Resort yang telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo meliputi : pengembangan fasilitas, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta peningkatan kualitas layanan maupun aktifitas kepariwisataan.<br />Dalam proses pengembangan obyek wisata ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo mengalami berbagai kendala antara lain dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) dimana masih kekurangan tenaga – tenaga profesional, kemudian dari segi pendanaan dalam hal ini dana yang digunakan masih kurang karena dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan juga proses untuk mendapatkan dana ini masih sulit karena harus melalui birokrasi terlebih dahulu, oleh karena itu pengembangan yang dilakukan sering mengalami keterlambatan, sehingga untuk saat ini hanya beberapa fasilitas saja yang dapat dikembangkan. Begitu juga untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengembangan produk wisata belum dapat dilakukan secara maksimal, hal ini disebabkan oleh kurangnya dana yang di alokasikan untuk pengembangan obyek wisata. <br />Sejauh ini upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo dalam hal pengembangan obyek wisata pentadio resort yaitu mengajukan program pembangunan 2010. Program pengembangan yang akan dilakukan antara lain yaitu: menambah fasilitas, memperbaiki fasilitas yang sudah rusak, dan menyediakan produk wisata seperti mengadakan atraksi-atraksi wisata, menyediakan souvenir dan lain sebagainya. <br />2. Analisis Tingkat Kunjungan Wisatawan Pada Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo<br />Untuk menganalisa apakah pengembangan obyek wisata mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo, maka perlu di analisa terlebih dahulu banyaknya wisatawan yang berkunjung pada selang waktu 2004-2008 seperti yang nampak berikut ini.<br />Table 1. Data Tingkat Kunjungan Wisatawan Mancanegara di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo Dari Tahun 2004-2008.<br /><br />TAHUN JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN<br />(ORANG) <br />PERKEMBANGAN<br />(100 %)<br /> MANCANEGARA <br />2004<br />2005<br />2006<br />2007<br />2008 106<br />27<br />12<br />27<br />30 -<br />(74,5)<br />(55,6)<br />55,6<br />10 <br />N = 5 202 <br /> Sumber Data : Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo, 2009<br />Sesuai dengan tabel 1 diketahui bahwa jumlah kunjungan pada tahun 2004 yaitu sebanyak 106 orang kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 27 orang, pada tahun 2006 turun lagi menjadi 12 orang, pada tahun 2007 naik menjadi 27 orang, sedangkan pada tahun 2008 naik menjadi 30 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :<br />Gambar 2. Tingkat Kunjungan Wisatawan Mancanegara<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Wisatawan mancanegara yang berkunjung di obyek wisata ini masih kurang hal ini disebabkan oleh kurangnya promosi yang dilakukan ditingkat internasional. <br />Table 2. Data Tingkat Kunjungan Wisatawan Domestik di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo Dari Tahun 2004 - 2008.<br /><br />TAHUN JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN<br />(ORANG) <br />PERKEMBANGAN<br />(%)<br /> DOMESTIK <br />2004<br />2005<br />2006<br />2007<br />2008<br /> 38.312<br />43.990<br />10.254<br />12.508<br />12.307 -<br />14,8<br />(76,7)<br />22<br /> (1,6)<br />N = 5 117.371 <br />Sumber Data : Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo, 2009<br />Dilihat dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa jumlah kunjungan wisatawan domestik pada tahun 2005 naik 14,8 %, pada tahun 2006 turun menjadi 76,7 %. Kemudian pada tahun 2007 naik 22 %, sedangkan pada tahun 2008 turun menjadi 1,6 %. Tabel diatas dapat juga dijelaskan melalui grafik berikut ini :<br />Gambar 3. Tingkat Kunjungan Wisatawan Domestik<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tingkat kunjungan wisatawan domestik di pentadio resort mengalami penurunan karena sudah banyak obyek wisata yang sejenis antara lain obyek wisata Taluhu barakati, Lombongo dan lain sebagainya. Kunjungan ke obyek wisata bagi sebagian orang masih dianggap sebagai sebuah kegiatan yang membutuhkan dana yang cukup besar/mahal dan juga hal tersebut belum membudaya dimasyarakat gorontalo.<br />Table 3. Data Tingkat Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo Dari Tahun 2004-2008.<br />TAHUN JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN<br />(ORANG) JUMLAH<br />(ORANG) PERKEMBANGAN<br />(%)<br /> MANCANEGARA DOMESTIK <br />2004<br />2005<br />2006<br />2007<br />2008 106<br />27<br />12<br />27<br />30 38.312<br />43.990<br />10.254<br />12.508<br />12.307 38.418<br />44.017<br />10.266<br />12.535<br />12.337 -<br />14,6 <br />(76,7)<br />22,1<br />(1,6)<br />N = 5 202 117.371 117.573 <br />Sumber Data : Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo, 2009<br />Angka-angka tersebut di atas meningkat dan juga menurun dimana pada tahun 2004 tingkat kunjungan wisatawan yang terdiri dari wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara yaitu berjumlah 38.312 orang selanjutnya pada tahun 2005 mengalami peningkatan yaitu sebanyak 44.017 orang atau naik sekitar 14,89 %. Namun pada tahun 2006 tingkat kunjungan wisatawan mengalami penurunan yaitu 10.266 orang atau turun sekitar 76,68 % kemudian pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 12.535 orang atau naik 22,10 % dan pada tahun 2008 tingkat kunjungan wisatawan menuruan menjadi 12.337 orang (1,57%). total jumlah kunjungan wisatawan dari tahun 2004-2008 yaitu berjumlah 192.929 orang. jumlah pengunjung tertinggi pada tahun 2005 (44.017 orang) dan terendah pada tahun 2006 (10.266 orang). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini: <br />Gambar 4. Tingkat Kunjungan Wisatawan Domestik Dan Juga Mancanegara.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Di tahun 2004-2005 tingkat kunjungan wisatawan meningkat karena pada saat itu obyek wisata pentadio resort masih baru dan belum lama diresmikan sehingga banyak yang berkunjung, kemudian di tahun 2006-2008 tingkat kunjungan wisatawan mengalami penurunan karena pengembanganya kurang diperhatikan dan juga disebabkan oleh banyaknya saingan dalam hal ini obyek wisata yang sejenis. <br /><br />C. Pembahasan <br />a. Pengembangan obyek wisata yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo meliputi : <br /> Pengembangan fasilitas<br />Diantara beberapa fasilitas yang telah disebutkan diatas ada beberapa jenis fasilitas yang berusaha untuk dikembangkan oleh Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo, antara lain: <br />- Kolam renang bertaraf internasional<br />Sebelumnya di objek wisata pentadio resort telah dibangun sarana kolam renang akan tetapi belum memenuhi standar internasional, baik dalam hal ukuran maupun kedalaman kolam renang. Hal ini juga merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan fasilitas objek wisata pentadio resort sebab kolam renang merupakan salah satu sarana yang ada pada pentadio resort yang banyak disukai oleh wisatawan, jadi sangat penting untuk memperhatikan kondisi dari kolam renang tersebut. Jadi dalam mengembangkan fasilitas kolam renang yang ada, pentadio resort dibawah pengawasan langsung Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo, melakukan pengembangan fasilitas kolam renang dengan cara memperluas dan menambah kedalaman area kolam renang yang ada. <br />- Lokasi pemancingan<br />Pengembangannya dilakukan dengan cara menyediakan kolam khusus pemancingan.<br />- Arena permainan anak – anak<br />Pengembangannya dilakukan dengan cara memperbaiki peralatan yang sudah rusak dan juga menambah peralatan bermain.<br /> Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) <br />Dalam rangka pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di pentadio resort, maka Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo mengikutkan pegawai maupun karyawan pada pelatihan - pelatihan tentang kepariwisataan dan juga memberikan pembimbingan terhadap pegawai / karyawan yang bekerja di obyek wisata pentadio resort. Pelatihan ini bertujuan untuk menjadikan karyawan sebagai tenaga – tenaga profesional.<br /> Strategi pemasaran dan pengembangan produk wisata. <br />Untuk menarik perhatian para wisatawan, strategi pemasaran dan pengembangan dilakukan dengan cara mengembangkan berbagai macam produk wisata seperti pelayanan terhadap para wisatawan yaitu Aksebilitas yaitu kemudahan dalam memperoleh atau mencapai tujuan wisata seperti organisasi kepariwisataan (travel agent), bagi pengunjung yang baru dipandu untuk menuju obyek wisata dan Amenities yaitu fasilitas untuk memperoleh kesenangan, dalam hal ini dapat berbentuk akomodasi, kebersihan dan keramahtamahan.<br />b. Tahun 2004 jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 38.418 orang, hal ini disebabkan karena tahun 2004 adalah awal berdirinya pentadio resort Kabupaten Gorontalo, sehingga wisatawan tertarik untuk berkunjung ketempat ini. Selanjutnya pada tahun 2005 jumlah kunjungan meningkat yakni sebanyak 44.017 orang hal ini disebabkan karena wisatawan ingin berkunjung untuk melihat fasilitas yang dibangun walaupun belum secara keseluruhan dapat difungsikan. Pada tahun 2006 tingakat kunjungan wisatawan menurun menjadi 10.266 orang hal ini disebabkan karena wisatawan domestik maupun mancanegara sudah mulai jenuh untuk berkunjung ke gorontalo khususnya pentadio resort karena dengan berbagai kebijakan yang diambil seperti dalam hal penggunaan fasilitas yang ada di dalam pentadio resort dikenakan biaya yang mahal. Pada tahun 2007 jumlah kunjungan wisatawan naik sebanyak 12.535 orang, hal ini disebabkan karena fasilitas yang ada sudah banyak difungsikan. Pada tahun 2008 tingkat kunjungan wisatawan menurun yakni 12.337, hal ini disebabkan banyaknya tempat - tempat wisata yang sejenis, dimana orang berfikir bahwa untuk apa jauh-jauh ketempat wisata yang lain, sedangkan ada tempat wisata yang sejenis yang dekat dengan tempat tinggal.<br />c. Prospek tingkat kunjungan wisatawan 5 (lima) tahun mendatang<br />Dengan melihat hasil analisis tingkat kunjungan wisatawan di pentadio resort 5 tahun kedepan yang mengalami penurunan, Dimana tahun 2009 tingkat kunjungan wisatawan di pentadio resort diramalkan akan mengalami penurunan sebanyak 1.578, tahun 2010 kunjungan wisatawan akan mengalami penurunan sebanyak 9.943 orang, tahun 2011 tingkat kunjungan diramalkan akan turun sebanyak 18.307 orang kemudian pada tahun 2012 akan turun sebanyak 26.671 orang dan untuk tahun 2013 diramalkan menurun menjadi 35.036. berarti bahwa pengembangan untuk prospek kedepan harus dapat ditingkatkan. Ramalan peningkatan tingkat kunjungan wisatawan dipentadio resort Kabupaten Gorontalo untuk kurun waktu yang akan datang dapat dicapai apabila :<br />1) Melakukan promosi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam hal pemasaran dan pengembangan obyek wisata;<br />2) Adanya jaminan pelayanan yang baik dalam hal peranan pengelola obyek wisata pentadio resort, harus bersikap ramah dan memenuhi kebutuhan para wisatawan;<br />3) Jaminan pemeliharaan dan perawatan segala sarana dan prasarana yang dapat menunjang para wisatawan yang berkunjung di obyek wisata pentadio resort dan mempertahankan agar pengunjung dapat merasa betah untuk berlama-lama di obyek wisata pentadio resort.<br />4) Adanya kemudahan bagi para investor baik dari segi aturan dan kebijakan maupun dalam pembebanan biaya pengelolaan serta memberikan kesempatan dan kebebasan kepada investor untuk melakukan berbagai upaya inovatif demi kemajuan obyek wisata Pentadio Resort. <br />BAB VI<br />KESIMPULAN DAN SARAN<br /><br />A. Kesimpulan<br />Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap masalah maka dapat ditarik beberapa simpulan yaitu :<br />1. Bahwa tingkat kunjungan wisatawan mengalami penurunan, dimana jumlah pengunjung tertinggi pada tahun 2005 (44.017 orang) dan terendah pada tahun 2006 (10.266 orang). Hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan pemerintah daerah dalam hal ini dinas pariwisata, kebudayan, komunikasi dan informatika sebagai pengelola dalam hal pendanaan, sumber daya manusia serta belum adanya kerjasama dengan pihak swasta.<br />2. Prospek tingkat kunjungan wisatawan di pentadio resort Kabupaten Gorontalo dalam kurun waktu 5 (lima) tahun mendatang diramalkan akan terjadi trend penurunan rata-rata 8.364,4 kali setiap tahunnya. Hal tersebut didasarkan pada kondisi saat ini dimana pengelolaanya masih oleh pemerintah.<br />B. Saran<br />Pentadio resort adalah salah satu obyek wisata andalan Provinsi Gorontalo khususnya Kabupaten Goronalo, maka untuk dapat lebih meningkatkan pamornya serta untuk lebih menarik minat wisatawan untuk berkunjung, pemerintah diharapkan :<br />1. Dapat melakukan upaya-upaya konkrit dalam mempromosikan obyek wisata tersebut baik melalui media-media maupun melalui kerjasama dengan biro-biro perjalanan wisata di Indonesia.<br />2. Dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam pengelolaan obyek wisata tersebut atau bahkan dapat memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk mengelola obyek wisata pentadio resort dengan lebih profesional.<br />3. Memberikan kemudahan-kemudahan kepada pihak swasta baik dari segi perijinan, pajak maupun kebebasan untuk berinovasi. <br />4. Bagi masyarakat diharapkan dapat menjaga kelestarian obyek wisata serta dapat berpartisipasi dalam hal pengembangan obyek wisata agar dapat meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA ( THE TOURISM OF DEVELOPMENT ) TERHADAP TINGKAT KUNJUNGAN WISATAWAN <br />DI PENTADIO RESORT <br />KABUPATEN GORONTALO <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> (Studi Kasus di Kabupaten Gorontalo)<br />OLEH<br />KELOMPOK I<br />MEIKEL POGALAD, SKM Dr. SILVANA SONDAK EDWIN NANI, SKM<br />MOHAMAD K. YUNUS, SKM Dr. YENNY UTIARAHMAN TRIYANTI HUNOWU, SKM<br />MOH. SYARIEF HIDA, SKM ANENG, SKM R. BUDIONO SUTODJO, SKM<br />SUDIRMAN ADU, S.Pd,SKM HALIMA PODUNGGE, SKM YUSRIANTO UTINA, S.Pd<br /> HARSON AHUDULU, SKM <br /><br />DOSEN<br />DR. PAULINE WIDYAWATI, MM, MMKES<br />PROGRAM PASCA SARJANAMAGISTER MANAJEMEN<br />SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN ”IMNI” JAKARTA<br /><br />INSTITUT MANAJEMEN NASIONAL INDONESIA <br />GORONTALO<br />2009<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Assauri Sofian, 2002, Manajemen Pemasaran, cetakan ketujuh, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.<br /><br />Arsyad Lincolin, 2001, Marketing, Penerbit BPFE, Yogyakarta.<br /><br />Assael H, 2000, Manajemen Pemasaran, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.<br /><br />Boyld, Walker, Larreche, 2000, Retail Modern Market”, Penerbit PT. Pustaka Utama, Jakarta.<br /><br />Haward, 2001, The Political Economy of Japanes Distant Fisheries<br /><br />Kodyat, H. 2003, Kamus Parawisata dan perhotelan, PT. Pustaka Binawan Presindo<br /><br />Kotler, Kevinlane, 2000, Manajemen Pemasaran (Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian). Jilid I, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta<br /><br />Marpaung, Bahar, 2000, Pengantar Ilmu Pariwisata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.<br /><br />Mason, Poewarto, 2000, Manajemen Pariwisata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.<br /><br />Nanawi, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Bumi Aksara, Jakarta. <br /><br />Pendit S, 2003, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Sederhana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta<br /><br />Radiosunu, 2001, Manajemen Pemasaran Suatu Pendekatan Analisis, Edisi Kedua, Penerbit BPFE, Yogyakarta<br /><br />Swastha, Handoko T. Hani, 2000, Manajemen Pemasaran (Analisa Perilaku Konsumen, Edisi Pertama Penerbit BPFE, Yogyakarta<br /><br />Supranto, 2001, Riset Pemasaran, Penerbit BPFE, Yogyakarta<br /><br />Stanton, 2001, Prinsip Pemasaran, Jilid 1 edisi ke 7, PT. Damar Mulia Pustaka<br /><br />Stanton, 2002, Fundamental of Marketing, PT. Damar Mulia Pustaka<br /><br />Siswanto, 2001, Manajemen Pemasaran, PT. Pustaka Binawan Presindo<br /><br />Sumarni, Murti, Soeprianto, John. 2002, Pengantar Bisnis ( Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan, Edsi ke 5 Penerbit Liberti, Yogyakarata <br /><br />Sung, Mappi, 2001, Cakrawala Pariwisata, Sucitra Pustaka, Jakarta<br /><br />Soekapijo, R.S, 2002, Anatomi Pariwisata, Jakarta Gramedia.<br /><br />Spillanne, James J, 2001, Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya”. Yogyakarta Kanisius<br /><br />Siagian, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Bumi aksara Jakarta.<br /><br />Stewart, 2002, Marketing, Penerbit PT Alex Media Komputindo, Jakarta<br /><br />Suwantoro, 2007, Pariwiwisata, Edisi Pertama Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta<br /><br />Umar, 2005, Manajemen Sumbaer Daya Manusia, PT Bumi Aksara Jakarta.<br /><br />Wahab S, 2002, Manajemen Keparawisataan, Penerbit PT. Paradnya Paramida, Jakarta <br /><br />Yoeti, 2000, Tours And Travel Manajemen, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta<br /><br />Yoeti, 2001, Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung<br /><br />Yoeti, 2002, Perencanaan dan pengembangan Pariwisata, Cetakan pertama Pradnya Paramita, Jakarata<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />DAFTAR ISI<br /> Halaman<br />BAB I : PENDAHULUAN 1<br />A. Latar Belakang 1<br />B. Masalah Pokok 3<br />C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 4<br />BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ..... 5<br />A. Pengertian Manajemen Pemasaran 5<br />B. Pengertian Pemasaran 9<br />C. Pengertian Pariwisata 12<br />D. PengertianKepariwisataan.......................................................................... 15<br />E. Pengertian Obyek dan Daya Tarik Wisata.................................................. 16<br />F. Pengertian Wisatawan................................................................................. 17<br />G. Pengembangan Obyek Wisata (The Tourism Of Development)…………. 17<br />BAB III : KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 22<br />A. Kerangka Konseptual 22<br />B. Hipotesis 24<br />BAB IV : METODE PENELITIAN..................... 25<br />A. Obyek Penelitian......................................................................................... 25<br />B. Identifikasi Variabel dan Devinisi Operasional Variabel........................... 25<br />C. Metode Pengumpulan Data………………………………………………. 26<br />D. Jenis dan Sumber Data…………………………………………………… 26<br />E. Metode Analisis………………………………………………………….. 27<br />BAB V : ANALISA DAN PEMBAHASAN......................................................... 31<br />A. Hasil Penelitian................................................................................. 31<br />B. Pembahasan........................................................................................... 42<br />BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 47<br />A. Kesimpulan................................................................................................. 47<br />B. Saran........................................................................................................... 47<br />DAFTAR PUSTAKAmeikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-49840827241255560782010-01-02T02:38:00.000-08:002010-01-02T02:41:14.885-08:00TESIS MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN ORANG LANJUT USIATESIS<br />MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA<br />FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN ORANG LANJUT USIA<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />(Studi Kasus di Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara)<br />OLEH<br />MEIKEL POGALAD<br />NPM. 09103040138<br />DOSEN<br />DR. H. TAUFIQ RACHMAN, SH,MH,MM <br />PROGRAM PASCA SARJANA<br />MAGISTER MANAJEMEN KESEHATAN<br />SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN ”IMNI” JAKARTA<br /><br />INSTITUT MANAJEMEN NASIONAL INDONESIA <br />GORONTALO<br />2009<br />DAFTAR ISI<br /> Halaman<br />Sampul Depan ............................................................................................................... i<br />Sampul Dalam.............................................................................................................. ii<br />DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii<br />BAB 1 PENDAHULUAN<br />1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1<br />1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 8<br />1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 9<br />1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 9<br />BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA<br />2.1 Lanjut Usia............................................................................................................ 10<br />2.1.1 Pengertian Lanjut Usia...................................................................................... 12<br />2.1.2 Kebutuhan Hidup Lanjut Usia .......................................................................... 11<br />2.2 Faktor Kesehatan.................................................................................................. 14<br />2.2.1 Kesehatan Fisik ................................................................................................. 14<br />2.2.2 Kesehatan Psikis ............................................................................................... 15<br />2.3 Faktor Ekonomi ................................................................................................... 16<br />2.3.1 Pendapatan......................................................................................................... 16<br />2.3.2 Kesempatan Kerja.............................................................................................. 18<br />2.4 Faktor Sosial......................................................................................................... 20<br />2.4.1 Sosialisasi Pada Masa Lanjut Usia.................................................................... 20<br />2.4.2 Tradisi di Indonesia........................................................................................... 21<br />2.4.3 Pola Tempat Tinggal ......................................................................................... 23<br />2.4.4 Dukungan Keluarga dan Masyarakat ................................................................ 23<br />2.5 Kemandirian ........................................................................................................ 25<br />BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN<br />3.1 Kerangka Konseptual Penelitian........................................................................... 28<br />3.2 Hipotesis............................................................................................................... 31<br />BAB 4 METODE PENELITIAN<br />4.1 Rancangan Penelitian............................................................................................ 32<br />4.2 Populasi ………………………........................................……………………… 32<br />4.3 Variabel Penelitian................................................................................................ 32<br />4.3.1 Kemandirian Usia Lanjut .................................................................................. 33<br />4.3.2 Faktor Kondisi Kesehatan ………….........................................……………… 33<br />4.3.3 Faktor Kondisi Ekonomi ……………….........................................………….. 34<br />4.3.4 Faktor Kondisi Hubungan Sosial ……….........................................…………. 34<br />4.4 Instrumen Penelitian............................................................................................. 35<br />4.4.1 Validitas Instrumen Penelitian........................................................................... 35<br />4.4.2 Reliabilitas Instrumen Penelitian ...................................................................... 36<br />4.5 Waktu Penelitian .................................................................................................. 37<br />4.6 Prosedur Pengambilan/Pengumpulan Data........................................................... 37<br />4.7 Teknik Analisis Data............................................................................................ 38<br /><br />DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 76<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB 1<br />PENDAHULUAN<br />1.1 Latar Belakang Masalah<br /> Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun 1980 : 55.30 tahun, pada tahun 1985: 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun, dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)<br /> Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. <br /> Wirakartakusuma dan Anwar (1994) memperkirakan angka ketergantungan usia lanjut pada tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 9 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas. Ketergantungan lanjut usia disebabkan kondisi orang lanjut usia banyak mengalami kemunduran fisik maupun psikis, artinya mereka mengalami perkembangan dalam bentuk perubahan-perubahan yang mengarah pada perubahan yang negatif. <br /> Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan : <br />(1) perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan, dan kulit, <br />(2) perubahan bagian dalam tubuh seperti sistem saraf : otak, isi perut : limpa, hati, <br />(3) perubahan panca indra : penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan <br />(4) perubahan motorik antara lain berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar keterampilan baru. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari. <br /> Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan kesehatan fisik, yaitu rentannya terhadap berbagai penyakit , karena berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi pengaruh dari luar. Menurut data SKRT (Survey Kesehatan Rumah Tangga) masih tinggi. SKRT tahun 1980 menunjukkan angka kesakitan penduduk usia 55 tahun ke atas sebesar 25,7 persen. Berdasarkan SKRT tahun 1986 angka kesakitan usia 55 tahun 15,1%, dan menurut SKRT 1995 angka kesakitan usia 45-59 sebesar 11,6 persen (Wirakartakusumah : 2000)<br />Dalam penelitian Profil Penduduk Usia Lanjut Di Kodya Ujung Pandang ditemukan bahwa lanjut usia menderita berbagai penyakit yang berhubungan dengan ketuaan antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung koroner, rematik dan asma sehingga menyebabkan aktifitas bekerja terganggu (Ilyas : 1997). <br /> Demikian juga temuan studi yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas Indonesia di Kabupaten Bogor tahun 1998, sekitar 74 persen lansia dinyatakan mengidap penyakit kronis. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang banyak diderita lanjut usia, sehingga mereka tidak dapat melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari (Wirakartakusumah : 2000). <br /> Penurunan kondisi fisik lanjut usia berpengaruh pada kondisi psikis. Dengan berubahnya penampilan, menurunnya fungsi panca indra menyebabkan lanjut usia merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Datangnya menopause bagi perempuan akan menimbulkan perasaan tidak berguna , karena mereka tidak dapat bereproduksi lagi. Inti dari kewanitaan adalah keberhasilan seorang wanita untuk mengisi peranannya sebagai seorang ibu dan seorang istri (Saparinah, 1991). Dengan asumsi tersebut menopause merupakan kejadian yang paling penting dan yang paling banyak menimbulkan permasalahan bagi wanita. <br /> Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain: <br />(1) longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit <br />(2) Berkurangnya teman/relasi akibat kurangnya aktifitas di luar rumah <br />(3) kurangnya aktifitas sehingga waktu luang bertambah banyak <br />(4) Meninggalnya pasangan hidup <br />(5) Anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, anak-anak yang meninggalkan rumah untuk bekerja <br />(6) Anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis, yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia kurang mandiri.<br /> Kondisi kesehatan mental lanjut usia pada umumnya lanjut usia tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, mereka mengeluh mengalami gangguan tidur. Mereka merasa tidak senang dan bahagia dalam masa tuanya, karena berbagai kebutuhan hidup dasar tidak terpenuhi, dan merasa sangat sedih, sangat kawatir terhadap keadaan lingkungannya. Dalam sosialisasi dalam urusan di masyarakat kurang aktif (Suryani, 1999). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa kondisi kesehatan mental lanjut usia mempengaruhi berbagai kondisi lanjut usia yang lain seperti kondisi ekonomi, yang menyebabkan orang lanjut usia tidak dapat bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kondisi sosial yang menyebabkan kurangnya hubungan sosial antara lanjut usia dengan masyarakat.<br /> Masalah ekonomi yang dialami orang lanjut usia adalah tentang pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan sandang, pangan, perumahan, kesehatan, rekreasi dan sosial. Dengan kondisi fisik dan psikis yang menurun menyebabkan mereka kurang mampu menghasilkan pekerjaan yang produktif. Di sisi lain mereka dituntut untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat dari sebelumnya, seperti kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perawatan bagi yang menderita penyakit ketuaan dan kebutuhan rekreasi. Sedangkan penghasilan mereka antara lain dari pensiun, tabungan, dan bantuan keluarga. Bagi lanjut usia yang memiliki asset dan tabungan cukup, tidak terlalu banyak masalah. Tetapi bagi lanjut usia yang tidak memiliki jaminan hari tua dan tidak memiliki aset dan tabungan yang cukup maka pilihan untuk memperoleh pendapatan jadi semakin terbatas. Jika tidak bekerja berarti bantuan yang diperoleh mereka dapatkan dari bantuan keluarga, kerabat atau orang lain. Dengan demikian maka status ekonomi orang lanjut usia pada umumnya berada dalam lingkungan kemiskinan. Keadaan tersebut akan mengakibatkan orang lanjut usia tidak mandiri, secara finansial tergantung kepada keluarga atau masyarakat bahkan pemerintah<br /> Banyak lanjut usia dengan sia-sia mencari suatu bentuk pekerjaan . Upaya untuk mencari pekerjaan setelah pensiun mengalami kesulitan, karena berbagai lowongan pekerjaan di berbagai media masa selalu menghendaki tenaga kerja dengan pendidikan tinggi, penampilan menarik, energik, loyalitas tinggi, dan usia maksimal yang dikehendaki pada umumnya 25 – 30 tahun. Jika hal ini dikaitkan dengan pencari kerja yang sudah lanjut usia yang pada umumnya berpendidikan rendah, menurut Wirakartakusumah (2000) sekitar 52,5 persen dari 13,3 juta lansia tidak pernah sekolah, tidak tamat SD sekitar 27,8 persen atau 3,7 juta orang , sehingga dengan demikian 80 persen lansia berpendidikan SD ke bawah dan tidak memenuhi beberapa persyaratan yang dikehendaki perusahaan/industri maka membuat tenaga kerja lanjut usia semakin tersingkir dari dunia kerja yang diharapkan. Kurangnya pasaran kerja, membuat mereka tidak mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dan berpendidikan. Disamping itu menurunnya kondisi fisik yang tidak mungkin dapat menyesuaikan dengan pekerjaan-pekerjaan yang memegang prinsip efektifitas dan kualitas serta kuantitas yang tinggi ikut berpengaruh. Dengan demikian pengangguran lanjut usia akan semakin banyak, dan lanjut usia semakin berada pada garis kemiskinan dan semakin tergantung pada generasi muda di jaman modernisasi, hubungan orang muda dan orang tua semakin renggang. Kesibukan yang melanda kaum muda hampir menyita seluruh waktunya, sehingga mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk memikirkan orang tua. Kondisi seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, kurangnya perhatian dan pemberian perawatan terhadap orang tua. Kondisi perkotaan yang berpacu untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan banyak menimbulkan rasa kecemasan, ketegangan, ketakutan, bagi penduduknya yang dapat menyebabkan penyakit mental. Kondisi perkotaan yang besifat individualisme menyebabkan kontak sosial menjadi longgar sehingga penduduk merasa tidak aman, kesepian dan ketakutan.<br /> Untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia lanjut usia perlu mengetahui kondisi lanjut usia di masa lalu dan masa sekarang sehingga orang lanjut usia dapat diarahkan menuju kondisi kemandirian. Sehubungan dengan kepentingan tersebut perlu diketahui kondisi lanjut usia yang menyangkut kondisi kesehatan, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial. Dengan mengetahui kondisikondisi itu, maka keluarga, pemerintah, masyarakat atau lembaga sosial lainnya dapat memberikan perlakuan sesuai dengan masalah yang menyebabkan orang lanjut usia tergantung pada orang lain. Jika lanjut usia dapat mengatasi persoalan hidupnya maka mereka dapat ikut serta mengisi pembangunan salah satunya yaitu tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian angka ratio ketergantungan akan menurun, sehingga beban pemerintah akan berkurang<br /> Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka beberapa masalah utama yang dihadapi lanjut usia pada umumnya adalah : (1) Menurunnya daya tahan fisik (2) Masa pensiun bagi lanjut usia yang dahulunya bekerja sebagai pegawai negeri sipil yang menyebabkan menurunya pendapatan dan hilangnya prestise (3) Perkawinan anak sehingga anak hidup mandiri dan terpisah dari orang tua (5) Urbanisasi penduduk usia muda yang menyebabkan lanjut usia terlantar, (6) Kurangnya dukungan dari keluarga lanjut usia (7) Pola tempat tinggal lanjut usia; lanjut usia yang hidup di rumah sendiri, tinggal bersama dengan anak /menantu, dan tinggal di panti werdha. Dengan permasalahan yang komplek yang dialami oleh lanjut usia maka peneliti memilih permasalahan pengaruh faktor-faktor kondisi kesehatan, kondisi ekonomi dan kondisi sosial terhadap kemandirian orang lanjut usia.<br />1.2. Rumusan Masalah<br /> Berdasarkan permasalahan-permasalahan lanjut usia tersebut maka rumusan masalah dari pengaruh faktor-faktor kondisi kesehatan, kondisi ekonomi dan kondisi sosial terhadap kemandirian orang lanjut usia adalah :<br />1. Apakah faktor-faktor kondisi kesehatan, kondisi ekonomi, dan kondisi hubungan sosial berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian orang lanjut usia?<br />2. Faktor yang manakah yang berpengaruh secara dominan terhadap kemandirian orang lanjut usia?<br />1.3. Tujuan Penelitian<br />1. Menganalisis pengaruh faktor-faktor kesehatan, ekonomi, dan hubungan sosial terhadap kemandirian orang lanjut usia<br />2. Menganalisis faktor yang manakah yang berpengaruh secara dominan terhadap kemandirian orang lanjut usia.<br />1.4. Manfaat Penelitian<br />1. Mengembangkan penelitian tentang lanjut usia<br />2 Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi lanjut usia untuk mengatasi persolan-persoalan hidup lanjut usia agar mereka dapat hidup mandiri.<br />3 Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi pra lansia untuk mempersiapkan diri sebelum masa lanjut usia tiba agar mereka bias mandiri di usia lanjut<br />4 Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian lanjut usia berikutnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB 2<br />TINJAUAN PUSTAKA<br />2.1. Lanjut Usia<br /> Tinjauan Lanjut usia akan dikaji tentang pengertian lanjut usia dan kebutuhan-kebutuhan hidup orang lanjut usia.<br />2.1.1. Pengertian Lanjut Usia<br /> Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan social yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Suara Pembaharuan 14 Maret 1997)<br /> Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen . Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti . Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikapsikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan , penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.<br /> Disamping itu untuk mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari. Saparinah (1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap praenisium pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya. Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas. Namun demikian masih terdapat perbedaan dalam menetapkan batasan usia seseorang untuk dapat dikelompokkan ke dalam penduduk lanjut usia. Dalam penelitan ini digunakan batasan umur 56 tahun untuk menyatakan orang lanjut usia<br /><br />2.1.2. Kebutuhan Hidup Orang Lanjut Usia<br /> Setiap orang memiliki kebutuhan hidup. Orang lanjut usia juga memiliki kebutuhan hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera. Kebutuhan hidup orang lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, kebutuhan-kebutuhan sosial seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka mempunyai banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi pengalaman, memberikan pengarahan untuk kehidupan yang baik. Kebutuhan tersebut diperlukan oleh lanjut usia agar dapat mandiri. Kebutuhan tersebut sejalan dengan pendapat Maslow dalam Koswara (1991) yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia meliputi:<br />(1) Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan fisik atau biologis seperti pangan, sandang, papan, seks dan sebagainya. <br />(2) Kebutuhan ketentraman (safety needs) adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan, kemandirian dan sebagainya <br />(3) Kebutuhan sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain melalui paguyuban, organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobby dan sebagainya <br />(4) Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan harga diri untuk diakui akan keberadaannya, dan <br />(5) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir berdasar pengalamannya masing-masing, bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan. Sejak awal kehidupan sampai berusia lanjut setiap orang memiliki kebutuhan psikologis dasar (Setiati,2000). <br /> Kebutuhan tersebut diantaranya orang lanjut usia membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung pada diri orang lanjut usia, keluarga dan lingkungannya . Jika kebutuhankebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-masalah dalam kehidupan orang lanjut usia yang akan menurunkan kemandiriannya<br />2.2. Faktor Kesehatan<br /> Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia. Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik terhadap serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian terhadap kondisi lanjut usia<br />2.2.1. Kesehatan Fisik<br /> Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia. Keadaan fisik merupakan faktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan fisik, pancaindera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-tahap tertentu ( Prasetyo,1998). <br /> Dengan demikian orang lanjut usia harus menyesuaikan diri kembali dengan ketidak berdayaannya. Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indra dan menurunnya konsentrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph J. Gallo (1998) mengatakan untuk menkaji fisik pada orang lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya seperti menurunnya pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas, dan waktu respon yang lamban. Pada umumnya pada masa lanjut usia ini orang mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotorik. <br /> Menurut Zainudin (2002) fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain yang menyebabkan reaksi dan perilaku lanjut usia menjadi semakin lambat. Fungsi psikomotorik meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat bahwa lanjut usia kurang cekatan.<br />2.2.2. Kesehatan Psikis<br /> Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara otomatis akan timbul kemunduran kemampuan psikis. Salah satu penyebab menurunnya kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran. Dengan menurunnya fungsi dan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia maka banyak dari mereka yang gagal dalam menangkap isi pembicaraan orang lain sehingga mudah menimbulkan perasaan tersinggung, tidak dihargai dan kurang percaya diri.<br /> Menurunnya kondisi psikis ditandai dengan menurunnya fungsi kognitif. Zainudin (2002). Lebih lanjut dikatakan dengan adanya penurunan fungsi kognitif dan psiko motorik pada diri orang lanjut usia maka akan timbul beberapa kepribadian lanjut usia sebagai berikut : (1) Tipe kepribadian Konstruktif, pada tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua (2) Tipe Kepribadian Mandiri , pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrom, apabila pada masa lanjut usia tidak diisi dengan kegiatan yang memberikan otonomi pada dirinya (3) Tipe Kepribadian Tergantung , pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan keluarga. Apabila kehidupan keluarga harmonis maka pada masa lanjut usia tidak akan timbul gejolak. Akan tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana apalagi jika terus terbawa arus kedukaan (4) Tipe Kepribadian Bermusuhan, pada tipe ini setelah memasuki masa lanjut usia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya. Banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonomi rusak (5) Tipe Kepribadian Kritik Diri, tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya<br /><br /><br />2.3. Faktor Ekonomi<br /> Pada umumnya para lanjut usia adalah pensiunan atau mereka yang kurang produktif lagi. Secara ekonomis keadaan lanjut usia dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu golongan mantap, kurang mantap dan rawan (Trimarjono, 1997).<br />Golongan mantap adalah para lanjut usia yang berpendidikan tinggi, sempat menikmati kedudukan/jabatan baik. Mapan pada usia produktif, sehingga pada usia lanjut dapat mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Pada golongan kurang mantap lanjut usia kurang berhasil mencapai kedudukan yang tinggi , tetapi sempat mengadakan investasi pada anak-anaknya, misalnya mengantar anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi, sehingga kelak akan dibantu oleh anak-anaknya. Sedangkan golongan rawan yaitu lanjut usia yang tidak mampu memberikan bekal yang cukup kepada anaknya sehingga ketika purna tugas datang akan mendatangkan kecemasan karena terancam kesejahteraan Pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat ditinjau dari pendapatan lanjut usia dan kesempatan kerja.<br />2.3.1. Pendapatan<br /> Pendapatan orang lanjut usia berasal dari berbagai sumber. Bagi mereka yang dulunya bekerja , mendapat penghasilan dari dana pensiun. Bagi lanjut usia yang sampai saat ini bekerja mendapat penghasilan dari gaji atau upah. Selain itu sumber keuangan yang lain adalah keuntungan, bisnis, sewa, investasi, sokongan dari pemerintah atau swasta, atau dari anak, kawan dan keluarga (Kartari, 1993 ; Yulmardi, 1995).<br /> Upah/gaji sebagai imbalan dari hasil kerja para lanjut usia tidaklah tinggi. Data hasil Sensus Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 1996 memperlihatkan bahwa upah yang diterima orang lanjut usia antara Rp.50.000,- sampai dengan Rp. 300.000,- per bulan (Wirakartakusuma,2000). Di perkotaan upah/gaji para lanjut usia yang bekerja relatif lebih tinggi daripada di perdesaan. Namun hal ini tidak berarti lanjut usia perkotaan lebih sejahtera daripada lanjut usia perdesaan. Adanya upah lanjut usia yang sangat minim jika tidak ditunjang dengan dukungan finansial dari pihak lain baik anggota keluarga maupun orang lain tidak dapat berharap bahwa lanjut usia tersebut akan hidup dalam kondisi yang menguntungkan.<br /> Tingkat pendidikan lanjut usia pada umumnya sangat rendah. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja sehingga pendapatan yang diperoleh juga semakin kecil. Menurut Sedarmayanti (2001) pekerjaan yang disertai dengan pendidikan dan keterampilan akan mendorong kemajuan setiap usaha. Dengan kemajuan maka akan meningkatkan pendapatan, baik pendapatan individu, kelompok maupun pendapatan Nasional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sumber utama kinerja yang efektif yang mempengaruhi individu adalah kelemahan intelektual, kelemahan psikologis, kelemahan fisik . Jadi jika lanjut usia dengan kondisi yang serba menurun bekerja sudah tidak efektif lagi ditinjau dari proses dan hasilnya.<br /><br /><br />2.3.2. Kesempatan Kerja <br /> Bekerja adalah suatu kegiatan jasmani atau rohani yang menghasilkan sesuatu (Sumarjo, 1997). Bekerja sering dikaitkan dengan penghasilan dan penghasilan sering dikaitkan dengan kebutuhan manusia. Untuk itu agar dapat tetap hidup manusia harus bekerja. Dengan bekerja orang akan dapat memberi makan dirinya dan keluarganya, dapat membeli sesuatu, dapat memenuhi kebutuhannya yang lain Saat ini ternyata diantara lanjut usia banyak yang tidak bekerja. Tingkat pengangguran lanjut usia relatif tinggi di daerah perkotaan, yaitu 2,2%. Dengan makin sempitnya kesempatan kerja maka kecenderungan pengangguran lanjut usia akan semakin banyak . Partisipasi angkatan kerja makin tinggi di perdesaan daripada di kota. Lanjut usia yang masih bekerja sebagian besar terserap dalam bidang pertanian. Di perkotaan lebih banyak yang bekerja di sektor perdagangan yaitu 38,4% sedangkan yang bekerja disektor pertanian 27,0% , sisanya berada disektor jasa 17,3%, industri 9,3% angkutan 3,3%, bangunan 2,8% dan sektor lainnya relatif kecil 1%. Seringkali mereka menemukan kenyataan bahwa sangat sedikit kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka, walaupun mereka ingin bekerja dan sanggup untuk melakukan pekerjaan tersebut, karena pendidikan yang dimiliki lanjut usia tidak lagi terarah pada pasar tenaga kerja tidak dimasukkan dalam kebijakan – kebijakan pendidikan yang berkelanjutan. Pembinaan ketrampilan dan pelatihan yang dilakukan terus-menerus hanya berlaku bagi orang-orang muda . Hal inilah yang menyebabkan sulitnya lanjut usia bersaing di pasaran kerja, sehingga banyak orang lanjut usia yang tidak bekerja meskipun tenaganya masih kuat dan mereka masih berkeinginan untuk bekerja.<br /> Ada beberapa kondisi yang membatasi kesempatan kerja bagi pekerja lanjut usia ( Hurlock, 1994) : (1) Wajib Pensiun, pemerintah dan sebagian besar industri/perusahaan mewajibkan pekerja pada usia tertentu untuk pensiun. Mereka tidak mau lagi merekrut pekerja yang mendekati usia wajib pensiun, karena waktu, tenaga dan biaya untuk melatih mereka sebelum bekerja relatif mahal (2) Jika personalia perusahaan dijabat orang yang lebih muda, maka para lanjut usia sulit mendapatkan pekerjaan (3) Sikap sosial . Kepercayaan bahwa pekerja yang sudah tua mudah kena kecelakaan, karena kerja lamban, perlu dilatih agar menggunakan teknik-teknik modern merupakan penghalang utama bagi perusahaan untuk mempekerjakan orang lanjut usia (4) Fluktuasi dalam Daur Usaha. Jika kondisi usaha suram maka lanjut usia yang pertama kali harus diberhentikan dan kemudian digantikan orang yang lebih muda apabila kondisi usaha sudah membaik.<br />2.4. Faktor Hubungan Sosial<br /> Faktor hubungan sosial meliputi hubungan sosial antara orang lanjut usia dengan keluarga, teman sebaya/ usia lebih muda, dan masyarakat. Dalam hubungan ini dikaji berbagai bentuk kegiatan yang diikuti lanjut usia dalam kehidupan sehari-hari.<br /><br /><br />2.4.1. Sosialisasi Pada Masa Lanjut Usia <br /> Sosialisasi lanjut usia mengalami kemunduran setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau tibanya saat pensiun. Teman-teman sekerja yang biasanya menjadi curahan segala masalah sudah tidak dapat dijumpai setiap hari. Lebih-lebih lagi ketika teman sebaya/sekampung sudah lebih dahulu meninggalkannya. Sosialisasi yang dapat dilakukan adalah dengan keluarga dan masyarakat yang relatif berusia muda . Pada umumnya hubungan sosial yang dilakukan para lanjut usia adalah karena mereka mengacu pada teori pertukaran sosial. <br /> Dalam teori pertukaran sosial sumber kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Hubungan ini mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain. Pekerjaan yang dilakukan seorang diripun dapat menimbulkan kebahagiaan seperti halnya membaca buku, membuat karya seni, dan sebagainya, karena pengalaman-pengalaman tadi dapat dikomunikasikan dengan orang lain.<br /> Menurut Sri Tresnaningtyas Gulardi (1999) ada dua syarat yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial : (1) Perilaku tersebut berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain (2) Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan. Tujuan yang hendak dicapai dapat berupa imbalan intrinsik, yaitu imbalan dari hubungan itu sendiri, atau dapat berupa imbalan ekstrinsik, yang berfungsi sebagai alat bagi suatu imbalan lain dan tidak merupakan imbalan bagi hubungan itu sendiri. Jadi pada umumnya kebahagiaan dan penderitaan manusia ditentukan oleh perilaku orang lain. Sama halnya pada tindakan manusia yang mendatangkan kesenangan disatu pihak dan ketidak senangan di pihak lain.<br /> Lebih lanjut dikatakan oleh Soerjono Soekamto ( 1997) bahwa interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu : (1) Adanya kontak sosial. Dengan perkembangan teknologi sekarang ini kontak sosial dapat dilakukan melalui, surat, telepon radio dan sebagainya. (2) Adanya komunikasi. Berkomunikasi adalah suatu proses yang setiap hari dilakukan . Akan tetapi komunikasi bukanlah suatu hal yang mudah. Sebagai contoh salah paham merupakan hasil dari komunikasi yang tidak efektif dan sering terjadi. Berkomunikasi dengan orang lanjut usia merupakan hal lebih sulit lagi. Hal ini disebabkan lanjut usia memiliki ciri yang khusus dalam perkembangan usianya. Ada dua sumber utama yang menyebabkan kesulitan berkomunikasi dengan lanjut usia, yaitu penyebab fisik dan penyebab psikis. Penyebab fisik, pendengaran lanjut usia menjadi berkurang sehingga orang lanjut usia sering tidak mendengarkan apa yang dibicarakan. Secara psikis, orang lanjut usia merasa mulai kehilangan kekuasaan sehingga ia menjadi seorang yang lebih sensitif , mudah tersinggung sehingga sering menimbulkan kesalah pahaman. Simulasi yang bersifat simultif/merangsang lanjut usia untuk berpikir, dan kemampuan berpikir lanjut usia akan tetap aktif dan terarah.<br /><br />2.4.2. Tradisi di Indonesia<br /> Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika mereka masih kecil.. Para usia lanjut mempunyai peranan yang menonjol sebagai seorang yang “dituakan”, bijak dan berpengalaman, pembuat keputusan , dan kaya pengetahuan. Mereka sering berperan sebagai model bagi generasi muda, walaupun sebetulnya banyak diantara mereka tidak mempunyai pendidikan formal<br /> Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai-nilai sosal budaya sehingga dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya yang dimiliki orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh para generasi penerus mereka (Yasa, 1999). Salah satu produktivitas budaya yang dimiliki lanjut usia adalah sikap suka memberi . Memberi adalah suatu bentuk komunikasi manusia. Dengan hubungan itu manusia memberikan arti kepada dirinya, dan juga kepada sesamanya (Sumarjo,1997).<br /> Dasar perbuatan memberi adalah cinta kasih , perhatian, pengenalan, dan simpati terhadap sesama. Itu berarti seseorang perduli kepada orang lain dan ingin menolong orang lain untuk mengembangkan dirinya. Lanjut usia dapat memberi kepada orang lain/generasi muda dalam wujud pengetahuan, pikiran, tenaga perbuatan, selain memberikan apa yang dimiliki<br />2.4.3. Pola Tempat Tinggal<br /> Secara umum lanjut usia cenderung tinggal bersama dengan anaknya yang telah menikah (Rudkin, 1993). Tingginya penduduk lanjut usia yang tinggal dengan anaknya menunjukkan masih kuatnya norma bahwa kehidupan orang tua merupakan tanggungjawab anak-anaknya. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI, 1993) terhadap 400 penduduk usia 60-69 tahun, yang terdiri dari 329 pria dan 71 wanita, menunjukkan bahwa hanya sedikit penduduk lanjut usia yang tinggal sendiri (1,5%), diikuti oleh yang tinggal dengan anak (3,3%), tinggal dengan menantu (5,0%), tinggal dengan suami/istri dan anak (29,8%), tinggal dengan suami,istri dan menantu (19,5%), dan penduduk lanjut usia yang tinggal dengan pasangannya ada 18,8%.<br /> Hasil temuan Yulmardi (1995) juga menunjukkan bahwa masyarakat lanjut usia di Sumatera , khususnya di pinggiran kota Jambi sebagian besar tinggal dalam keluarga luas. <br /> Menurut Rudkin (1993) penduduk lanjut usia yang hidup sendiri secara umum memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dibanding dengan lanjut usia yang tinggal dengan keluarganya<br /><br />2.4.4. Dukungan Keluarga dan Masyarakat <br /> Bagi lanjut usia, keluarga merupakan sumber kepuasaan. Data awal yang diambil oleh peneliti terhadap lanjut usia berusia 50, 60 dan 70 tahun di kelurahan Jambangan menyatakan bahwa mereka ingin tinggal di tengah-tengah keluarga. Mereka tidak ingin tinggal di Panti Werdha. Para lanjut usia merasa bahwa kehidupan mereka sudah lengkap, yaitu sebagai orang tua dan juga sebagai kakek, dan nenek. Mereka dapat berperan dengan berbagai gaya, yaitu gaya formal, gaya bermain, gaya pengganti orang tua, gaya bijak, gaya orang luar, dimana setiap gaya membawa keuntungan dan kerugian masing-masing . Akan tetapi keluarga dapat menjadi frustasi bagi orang lanjut usia. Hal ini terjadi jika ada hambatan komunikasi antara lanjut usia dengan anak atau cucu dimana perbedaan faktor generasi memegang peranan<br /> Sistem pendukung lanjut usia ada tiga komponen menurut Joseph. J Gallo ( 1998 ), yaitu jaringan-jaringan informal, system pendukung formal dan dukungan-dukungan semiformal. Jaringan pendukung informal meliputi keluarga dan kawan-kawan. Sistem pendukung formal meliputi tim keamanan sosial setempat, program-program medikasi dan kesejahteraan sosial. Dukungandukungan semiformal meliputi bantuan-bantuan dan interaksi yang disediakan oleh organisasi lingkungan sekitar seperti perkumpulan pengajian, gereja, atau perkumpulan warga lansia setempat.<br /> Sumber-sumber dukungan-dukungan informal biasanya dipilih oleh lanjut usia sendiri. Seringkali berdasar pada hubungan yang telah terjalin sekian lama. Sistem pendukung formal terdiri dari program Keamanan Sosial, badan medis, dan Yayasan Sosial. Program ini berperan penting dalam ekonomi serta kesejahteraan sosial lanjut usia, khususnya dalam gerakan masyarakat industri, dimana anak-anak bergerak menjauh dari orangtua mereka. Kelompok-kelompok pendukung semiformal, seperti kelompok-kelompok pengajian, kelompokkelompok gereja, organisasi lingkungan sekitar, klub-klub dan pusat perkumpulan warga senior setempat merupakan sumber-sumber dukungan sosial yang penting bagi lanjut usia. Lanjut usia harus mengambil langkah awal untuk mengikuti sumbersumber dukungan di atas. Dorongan, semangat atau bantuan dari anggota-anggota keluarga, masyarakat, sangat dibutuhkan oleh lanjut usia. Jenis-jenis bantuan informal, formal, dan semiformal apa sajakah yang tersedia bagi lanjut usia yang terkait pada masa lampaunya.<br />2.5. Kemandirian<br /> Ketergantungan lanjut usia terjadi ketika mereka mengalami menurunnya fungsi luhur /pikun atau mengidap berbagai penyakit . Ketergantungan lanjut usia yang tinggal di perkotaan akan dibebankan kepada anak, terutama anak wanita (Herwanto 2002). <br /> Anak wanita pada umumnya sangat diharapkan untuk dapat membantu atau merawat mereka ketika orang sudah lanjut usia. Anak wanita sesuai dengan citra dirinya yang memiliki sikap kelembutan, ketelatenan dan tidak adanya unsur “sungkan” untuk minta dilayani. Tekanan terjadi apabila lanjut usia tidak memiliki anak atau anak pergi urbanisasi ke kota . Mereka mengharapkan bantuan dari kerabat dekat, kerabat jauh, dan kemudian yang terakhir adalah panti werdha<br /> Lanjut usia yang mempunyai tingkat kemandirian tertinggi adalah pasangan lanjut usia yang secara fisik kesehatannya cukup prima . Dari aspek sosial ekonomi dapat dikatakan jika cukup memadai dalam memenuhi segala macam kebutuhan hidup, baik lanjut usia yang memiliki anak maupun yang tidak memiliki anak. Tingginya tingkat kemandirian mereka diantaranya karena orang lanjut usia telah terbiasa menyelesaikan pekerjaan di rumah tangga yang berkaitan dengan pemenuhan hayat hidupnya<br /> Kemandirian orang lanjut usia dapat dilihat dari kualitas kesehatan mental. Ditinjau dari kualitas kesehatan mental, dapat dikemukakan hasil kelompok ahli dari WHO pada tahun 1959 ( Hardywinoto :1999) yang menyatakan bahwa mental yang sehat / mental health mempunyai cirri-ciri sebagai berikut : (1) Dapat menyesuaikan diri dengan secara konstruktif dengan kenyataan/realitas, walau realitas tadi buruk (2) Memperoleh kepuasan dari perjuangannya (3) Merasa lebih puas untuk memberi daripada menerima (4) Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas (5) Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan (6) Menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran untuk hari depan (7) Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif (8) Mempunyai daya kasih sayang yang besar. <br /> Selain itu kemandirian bagi orang lanjut usia dapat dilihat dari kualitas hidup. Kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) menurut Setiati (2000) ada 2 yaitu AKS standar dan AKS instrumental. AKS standar meliputi kemampuan merawat diri seperti makan, berpakaian, buang air besar/kecil,dan mandi. Sedangkan AKS instrumental meliputi aktivitas yang komplek seperti memasak, mencuci, menggunakan telepon, dan menggunakan uang.<br /> Salah satu kriteria orang mandiri adalah dapat mengaktualisasikan dirinya (self actualized) tidak menggantungkan kepuasan-kepuasan utama pada lingkungan dan kepada orang lain. Mereka lebih tergantung pada potensi-potensi mereka sendiri bagi perkembangan dan kelangsungan pertumbuhannya. Adapun kriteria orang yang mandiri menurut Koswara (1991) adalah mempunyai (1) kemantapan relatif terhadap pukulan-pukulan, goncangan-goncangan atau frustasi (2) kemampuan mempertahankan ketenangan jiwa (3) kadar arah yang tinggi (4) agen yang merdeka (6) aktif dan (5) bertanggung jawab. Lanjut usia yang mandiri dapat menghindari diri dari penghormatan, status, prestise dan popularitas kepuasan yang berasal dari luar diri mereka anggap kurang penting dibandingkan dengan pertumbuhan diri.<br /> Poerwadi mengartikan mandiri adalah dimana seseorang dapat mengurusi dirinya sendiri (2001 : 34). Ini berarti bahwa jika seseorang sudah menyatakan dirinya siap mandiri berarti dirinya ingin sesedikit mungkin minta pertolongan atau tergantung kepada orang lain. Mandiri bagi orang lanjut usia berarti jika mereka menyatakan hidupnya nyaman-nyaman saja walaupun jauh dari anak cucu<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB 3<br />KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN<br />3.1. Kerangka Konseptual Penelitian<br /> Hal yang lebih penting dari berlangsungnya proses menua adalah respon atau reaksi seseorang terhadap kondisi pribadinya agar mereka dapat mandiri. Seorang lanjut usia sering masuk dalam masalah-masalah kehidupan karena mereka tidak mandiri, sehingga harus dikaji secara menyeluruh beberapa faktor yang menyebabkan lanjut usia tidak mandiri, yaitu faktor kondisi kesehatan, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial mereka. Dengan harapan setelah diketahui faktor yang menyebabkan mereka tidak dapat mandiri pemerintah, keluarga , masyarakat atau lembaga sosial lainnya dapat memberikan treatment yang sesuai yang dibutuhkan oleh mereka sehingga dapat menimbulkan semangat baru di usia senja.<br /> Faktor kesehatan yang akan dikaji meliputi kesehatan fisik dan psikis. Faktor kondisi kesehatan baik kondisi fisik maupun kondisi psikis berpengaruh pada kemandirian. Faktor kesehatan memegang peranan penting bagi seseorang untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Dengan kesehatan yang prima segala aktivitas dapat dikerjakan dengan mandiri tanpa tergantung pada orang lain. Faktor kondisi ekonomi meliputi pekerjaan, penghasilan, dan pemenuhan hidup sehari-hari. Kondisi ekonomi memegang peranan penting dalam kehidupan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari bagi lansia misalnya kebutuhan makan, pakaian, kesehatan dan rekreasi. Masalah yang umum terjadi pada lansia adalah penghasilan yang mereka peroleh. Pada umumnya penghasilan yang diperoleh orang lanjut usia adalah rendah sehingga untuk memenuhi kebutuan hidupnya sehari-hari mereka masih memerlukan bantuan orang lain seperti anak, keluarga, teman, orang lain, pemerintah atau lembaga sosial lainnya. Faktor ekonomi sangat besar peranannya terhadap kamandirian lanjut usia. Dengan ekonomi yang mapan segala kebutuhan lanjut usia akan terpenuhi, misalnya kebutuhan sandang, pangan, perumahan, dan kesehatan, rekreasi dan sosial. Terpenuhinya kebutuhan dasar lanjut usia akan menjadikan lanjut usia sejahtera.<br /> Faktor kondisi sosial yang meliputi hubungan sosial antara lanjut usia dengan anak-anaknya, keluarga, masyarakat dan keikut sertaan mereka dalam berbagai organisasi. Orang lanjut usia memerlukan dukungan dari keluarga, masyarakat, pemerintah dan perkumpulan sosial lainnya agar mereka bisa mandiri. Keikut sertaan orang lanjut usia dalam kegiatan organisasi sosial dan organisasi khusus orang lanjut usia akan menimbulkan kemandiriannya. Jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak diatas maka orang lanjut usia tidak akan mandiri. Mereka akan tergantung pada orang lain dalam hal bersosialisasi.<br /> Faktor kondisi kesehatan , ekonomi dan sosial akan berpengaruh secara bersama-sama terhadap kemandirian orang lanjut usia. Faktor kesehatan dapat menunjang aktivitas ekonomi dan aktifitas sosial lanjut usia. Dengan kesehatan yang prima aktivitas apapun akan dapat dilaksanakan seperti bekerja atau melakukan hubungan sosial. Demikian juga dengan kondisi ekonomi . Dengan kondisi ekonomi yang baik segalal kebutuhan lanjut usia akan terpenuhi, mulai dari kebutuhan dasar, kesehatan dan rekreasi. Hal ini dapat menunjang kemandirian orang lajut usia. Faktor hubungan sosial yang baik akan mempengaruhi kesehatan psikis lanjut usia. Hubungan sosial yang baik antara lanjut usia dengan masyarakat akan menimbulkan rasa aman dan tentram bagi lanjut usia, sehingga dapat membantu lanjut usia menjadi mandiri<br /> Variabel independent Variabel dependent<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />3.2. Hipotesis<br /> Berdasarkan tujuan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian orang lanjut usia, maka hipotesis penelitiannya adalah :<br />1. Faktor-faktor kesehatan, ekonomi, dan hubungan sosial berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian orang lanjut usia.<br />2. Faktor kesehatan berpengaruh secara dominan terhadap kemandirian orang lanjut usia.meikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-41733998786974734922010-01-02T02:36:00.000-08:002010-01-02T02:38:30.967-08:00FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUMBAB I<br />PENDAHULUAN<br />A. Latar Belakang<br /> Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional (SKN), adalah tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk yang ditandai dengan bertempat tinggal di lingkungan bersih dan berperilaku hidup sehat dan masyarakat mampu untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2000).<br /> Derajat kesehatan masyarakat ditentukan dari berbagai indikator upaya-upaya yang diambil untuk tujuan tersebut salah satunya adalah peningkatan gizi masyarakat. Empat masalah gizi utama di Indonesia adalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Anemia Gizi Besi (AGB) Kurang Vitamin A (KVA), Kurang Energi Protein (KEP). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) adalah sekumpulan gejala yang dapat ditimbulkan karena tubuh penderita kekurangan yodium secara terus menerus dalam waktu yang lama (Depkes RI, 2000) . <br /> Gangguan akibat kekurangan Yodium sangat berdampak secara langsung mempengaruhi kualitas sumber daya manusia, tingkat kecerdasan dan sosial ekonomi, dampak secara tidak langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak kurang memadai, kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Pokok masalah masyarakat adalah rendahnya pendidikan, pengetahuan, ketrampilan serta tingkat pendapatan masyarakat. Sebagian besar dari penderita GAKY adalah juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang pola konsumsi garam yang beryodium serta cara penggunaan dan penyajian garam yang baik dan benar sebelum dikonsumsi (Depkes RI, 2000).<br /> Adapun upaya penanggulangan akibat kekurangan yodium melalui peningkatan cakupan suplemen kapsul minyak beryodium 200 mg yang didistribusikan di sarana kesehatan dikonsumsi WUS 2 kapsul/tahun Depkes RI (2000). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan akibat kekurangan yodium. Dari beberapa kepustakaan ternyata bahwa faktor pengetahuan mempengaruhi status gizi sehingga dapat terjadi gangguan akibat kekurangan yodium Depkes RI (1997). Faktor internal yang diduga dapat dipengaruhi antara lain : faktor pengetahuan ibu terhadap kesehatan. Aspek ini dipandang penting karena biasanya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap kemampuannya untuk bersikap dan mengambil keputusan penting dalam berbagai aspek kehidupan, terutama kesehatan keluarganya (Notoatmodjo,1993).<br /> Pada anak-anak yang kekurangan yodium kemungkinan lahir dari wanita usia subur yang kekurangan yodium. Anak-anak yang lahir dengan kekurangan yodium akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan fisik dan kecerdasannya Robins & Vinary (1995). Hal ini sangat berpengaruh terhadap pembangunan bangsa Indonesia yang saat ini dititik beratkan pada peningkatan sumber daya manusia.<br /> Dari data di Wilayah Puskesmas Anggrek, selang tahun 2006 sampai dengan 2008 terdapat 63 orang wanita usia subur yang teridentifikasi menderita gangguan akibat kekurangan yodium (2%) dari 2784 WUS yang ada di wilayah Puskesmas Anggrek.<br /> Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik mengambil judul "Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (Gondok)"<br />B. Rumusan Masalah<br /> Dari uraian di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Adakah hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan, penggunaan garam beryodium dan kebiasaan konsumsi bahan goiterogenik dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok) di wilayah Puskesmas Anggrek Kabupaten Gorontalo utara ?<br />C. Tujuan Penelitian<br />1. Tujuan Umum<br /> Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium(Gondok).<br />2. Tujuan Khusus<br />a. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan gangguan akibat kekurangan yodium(Gondok)<br />b. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />c. Untuk mengetahui hubungan penggunaan garam beryodium dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />d. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi makanan goiterogenik dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok)<br />D. Manfaat Penelitian<br />1. Bagi Institusi<br /> Dapat memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan yang memberikan acuan bagi Petugas Kesehatan khususnya tentang gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />2. Bagi Peneliti<br /> Dapat memberikan kontribusi pada pengembangan penelitian bidang Kesehatan terutama faktor yang berpengaruh terhadap pemberian penyuluhan khususnya pada penderita gangguan akibat kekurangan Yodium (Gondok).<br />3. Bagi Tempat Penelitian<br /> Dapat memberi masukan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas¬ Anggrek dalam menanggulangi risiko gangguan akibat kekurangan yodiu (Gondok).<br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS<br />A. Kajian Pustaka<br />1. Konsep Dasar tentang Pengetahuan<br />a. Pengertian Pengetahuan<br /> Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini taraf setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni : indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 1993).<br /> Pengetahuan akan membentuk kepercayaan yang selanjutnya memberikan perspektif pada manusia dalam mempersiapkan kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap terhadap objek tertentu. Pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki seseorang (Rahmat, 1998).<br />b. Tingkat Pengetahuan<br /> Notoatmodjo (1993), ada enam tingkatan pengetahuan, yaitu :<br />1). Tahu (Know)<br /> Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.<br />2). Memahami (Comprehension)<br /> Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk rnenjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi¬kan materi tersebut secara benar.<br />3). Aplikasi (Application)<br /> Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).<br />4). Analisis (Analysis)<br /> Analisis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain.<br />5). Sintesis (Synthesis)<br /> Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.<br />6). Evaluasi (Evaluation)<br /> Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.<br /> Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dan subjek penelitian atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut (Notoatmodjo, 1993).<br />2. Konsep Pendidikan<br /> Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-¬nilai hidup di dalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar.<br /> Pendidikan menurut ensiklopedia pendidikan (1979) dapat diartikan sebagai semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani.<br />Menurut bentuknya ada 3 jenis pendidikan yang sama-sama mempunyai kepentingan dan memberkan manfaat sendiri dibagi tiga jenis:<br />a. Pendidikan formal dengan tingkatan pendidikan dari SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. <br />b. Pendidikan informal. <br />c. Pendidikan non formal<br /> Pendidikan merupakan proses perubahan tingkah laku melalui upaya pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mencapai kehidupan dan kepribadian yang mantap.<br />3. Konsep Gangguan Akibat Kekurangan Yodium<br />a. GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) adalah sekumpulan gejala yang dapat ditimbulkan karena tubuh penderita kekurangan yodium secara terus menerus dalam waktu yang lama.<br /> Terjadinya kekurangan unsur yodium terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana tanah serta air di suatu daerah amat miskin unsur tersebut (Depkes RI, 2000).<br /> Gondok endemik merupakan reaksi adaptasi terhadap kekurangan yodium di dalam tubuh. Disebut endemik bila prevalensinya lebih dari 10% populasi (Arisman, 2001).<br />b. Etiologi dan Patogenesis<br />Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan gondok endemik, yaitu :<br />1). Defisiensi Yodium<br /> Defisiensi yodium merupakan sebab pokok terjadinya gondok endemik dimana-mana. Dengan dasar perhitungan PII (Plasma lnorganik Iodine) kebutuhan ini diduga antara 100-200 µg1. <br />2) Faktor Goitrogen<br /> Goitrogen adalah zat/bahan yang dapat mengganggu hormogenesis tiroid sehingga dapat membesarkan kelenjar gondok. Bahan goitrogen antara lain : cyanogenik glucoside (tiosianat), glukosinolat, sulphurated hydrocarbon. Kedua zat yang pertama (cyanogenik glukoside dan glukosinolat) terdapat pada beberapa tumbuhan, yakni : kubis, singkong. Akan tetapi belum jelas bahwa makanan atau zat yang ada pada binatang berpotensi bersifat goitrogen akan bertindak sebagai penyebab gondok pada manusia.<br />3) Faktor Trace Elements<br /> Artinya dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam jumlah kecil tetapi mempunyai fungsi khusus. <br />4) Faktor Nutrisi<br /> Mekanisme terjadinya adalah sebagai berikut, kekurangan. yodium menghambat pembentukan hormon tyroid oleh kelenjar tyroid dan akibatnya tidak terdapat hormon yang menghambat pembentukan TSH oleh hipofisis anterior, hal ini memungkinkan hipofisis mensekresi TSH dalam jumlah besar. Kemudian TSH menyebabkan set-set tyroid mensekresi tiroglobulin dalam jumlah besar ke dalam folikel dan kelenjar tubuh makin lama makin besar.<br />5) Faktor Genetik<br />c. Manifestasi Klinik<br /> Akibat kekurangan yodium maka terjadi pembesaran kelenjar gondok. Pada tingkat yang ringan hanya memberi dampak kosmetik, tetapi gondok yang besar dapat menimbulkan keluhan sesak napas. kesulitan menelan, meningkatnya frekuensi denyut jantung dan merasa cepat lelah. Pada tingkat yang lebih berat lagi, akan lahir bayi-bayi kreatin dengan kelainan yang bersifat menetap. Pada wanita usia subur gondok dapat menyebabkan gangguan kesuburan dan kehamilan berupa abortus (Noer,1997).<br /> Wanita usia subur adalah wanita usia 15-49 tahun dan tidak hamil. Sasaran kapsul minyak beryodium yaitu untuk WUS, ibu hamil dan ibu meneteki yang tinggal di daerah GAKY berat dan sedang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 2.1<br />Spektrum gangguan akibat kekurangan yodium<br />Tahap perkembangan Bentuk gangguan<br />Janin Keguguran (aborsi)<br />Lahir mati<br />Kelainan kongenital<br />Kematian perinatal<br />Kematian bayi<br />Kreatinisme saraf<br />Kreatinisme miksedema<br />Kerusakan psikomotor<br />Bayi baru lahir Gondok neonatus<br />Hipotiroidisme neonatus<br />Anak dan keluarga Gondok<br />Hiptiroidisme juvenile<br />Fungsi mental<br />Perkembangan fisik terhambat.<br />Dewasa Gondok dan penyakit<br />Hipotiroidisme<br />Fungsi mental<br />Hipertiroidisme diimbas oleh yodium<br /><br />Semua usia Kepekaan terhadap radiasi nuklir<br />Meningkat<br /><br /><br /><br /><br />d. Diagnosa<br /> Beberapa cara yang digunakan dalam mendiagnosa adanya goiter pada seseorang, yakni (Noer, 1997). <br />1). Pemeriksaan fisik<br />a) Orang (sampel) yang diperiksa berdiri tegak atau duduk menghadap pemeriksa.<br />b) Pemeriksa melalukan pengamatan pada bagian leher sampel<br /> terutama pada lokasi kelenjar gondoknya.<br />c) Amatilah apakah sampel menderita gondok yang tanmpak nyata (tingkat II dan III).<br />d) Bila langkah ke-3 negatif, pemeriksa menyuruh sampel menengadah dan menelan ludah. Pada gerakan menelan kelenjar akan ikut terangkat ke atas.<br />e) Pemeriksa berdiri di beiakang orang yang diperiksa kernudian pemeriksa meletakkan dua jari tengahnya pada rnasing-masing lobus kelenjar gondok. Selanjutnya sampel disuruh menelan.<br />f) Kemudian pemeriksa mendiagnosa sampel apakah menderita gondok atau tidak. Jika salah satu atau kedua lobus kelenjar lebih kecil dari ruas terakhir ibu jari berarti normal. Jika salah satu kelenjar atau lobus ternyata lebih besar dari ruas terakhir ibu jari sampel berarti menderita gondok.<br /><br />Pembesaran kelenjar gondok berdasarkan modifikasi Perez, yaitu :<br />Grade 0 : <br /> Tidak ada pembesaran kelenjar<br />Grade IA : <br /> Pembesaran tidak nampak walaupun leher pada posisi tengadah maksimum <br /> Pembesaran kelenjar teraba ketika dipalpasi<br />Grade IB : <br /> Pembesaran terlihat jika leher pada posisi tengadah maksimum<br /> Pembesaran kelenjar teraba jelas ketika dipalpasi<br />Grade II : <br /> Mudah terlihat pada posisi kepala biasa dan terlihat dari jarak 1 meter, palpasi tidak diperlukan untuk diagnosa.<br />Grade III : <br /> Pembesaran kelanjar gondok tampak nyata dari jarak jauh (5-6) meter.<br />2). Pemeriksaan laboratorium EYU (Ekskresi Yodium Urin) Pada gondok endemik didapatkan kadar yodium dalam urin kurang dari 50 µg/gr kreatinin. Dengan pemeriksaan EYU., maka. Pan Amerika Health Organization Scientific Group (PAHO) pada tahun 1973 membangi derajat endemia gondok berdasarkan median EYU.<br />Tabel 2.2<br />Derajat Endemia Gondok Berdasarkan Median EYU<br />Derajat Endemia Median EYU (µgl/gr kreatinin)<br /><br />Derajat I Endemia gondok dengan EYU rata-rata lebih dari<br />Derajat 11 50 µql/gr kreatinin<br />Endemia gondok dengan EYU rata-rata antara. 25¬<br />Derajat III 50 µql/gr kreatinin. <br />Endemia gondok dengan EYU rata-rata kurang dari<br /> 25 µql/gr kreatinin.<br /><br /> Berat ringannya endemisitas suatu daerah ditentukan dengan angka prevalensi dan eksresi yodium dalam urin dapat dilihat pada Tabel 2.2.<br />Tabel 2.3<br />Derajat Endemia Gondok Berdasarkan Prevalensi dan EYU<br />Derajat Endemia Prevalensi Median EYU<br />Derajat 1<br />Endemia ringan 10-20% > 50 µql/gr kreatinin<br />Derajat II<br />Endernia sedang 21-30% 25 - 50 µql/gr kreatinin<br />Derajat III<br />Endemia berat > 30% > 25 µql/gr kreatinin<br /><br /><br /><br /><br /><br />e. Pencegahan dan Pengobatan<br /> Pencegahan merupakan upaya prioritas terutama di daerah kantong-kantong gondok endemik. Dalam pelaksanaannya ada beberapa program, yaitu : edukasi, penyuntikan lipiodol, iodisasi gararn, rote beniodium, pil KI, iodisasi air minum, dan pemberian kapsul minyak beryodium (Arisman. 2001).<br /> GAKY derajat ringan, dapat dikoreksi dengan pemberian garam beryodium sebanyak 10-25 mg/kg. GAKY ringan ini biasanya akan lenyap dengan sendirinya jika masyarakat memahami, mengetahui tentang pengobatan yang dianjurkan (Arisman, 2001 ).<br /> Dosis pemberian kapsul minyak beryodium. <br />Kapsul minyak beryodium 200 mg diberikan kepada kelompok sasaran dengan dosis sebagai berikut :<br /><br />• Wanita usia subur : 2 kapsul/tahun<br />• Ibu hamil : 1 kapsul/masa hamil<br />• Ibu meneteki : 1 kapsul/selama masa nifas<br />• Anak SD : I Kapsul / tahun<br /> Kebutuhan minyak beryodium hanya diberikan 1 kali dalam 1 tahun (Depkes RI. 2000).<br /> Dalam Pelita V, penanggulangan GAKY di Indonesia meliputi 2 kegiatan, sebagai berikut : (Kartono, 1997).¬<br />1). Jangka panjang, yaitu : iodisasi garam (sejak tahun 1977), iodisasi air minum (masih terbatas di beberapa provinsi).<br />2). Jangka pendek, yaitu : pemberian kapsul minyak beriodiun terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat, dan cara ini merupakan pengganti penyuntikan lipiodol yang telah dilaksanakan sejak tahun 1974. Pemberian kapsul ini mulai tahun 1992-199<br />B. Kerangka Berpikir<br /> Dalam meneliti Faktor-faktor yang berhubungan tingkat pendidikan, pengetahuan, Penggunaan Garam Beryodium dan Kebiasaan Mengkonsumsi bahan goiterogenik dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium di wilayah Puskesmas Anggrek maka kerangka berpikir dapat divisualisasikan sebagai berikut :<br /> <br /> Ringan<br /><br /> Sedang<br /><br /> Berat<br /> Keterangan :<br /> = Variable Independent (bebas)<br /> = Variable Dependent (terikat)<br /> Variabel Penelitian<br /> Adapun Variabel yang diteliti adalah :<br />1. Variabel Bebas (Independent) adalah variabel yang dapat memberikan pengaruh terhadap variabel terikat dalam hal ini menjadi variabel bebas adalah pendidikan, pengetahuan, penggunaan garam beryodium dan kebiasaan konsumsi bahan goiterogenik<br />2. Variabel Terikat (Dependent) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas dalam hal ini variabel terikat adalah gangguan akibat kekurangan yodium.<br />E. Hipotesis Penelitian<br /> Hipotesis adalah jawaban sementara dari masalah yang diteliti. <br />1. Hipotesis Nol (H0) <br />a. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />b. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />c. Tidak ada hubungan antara penggunaan garam beryodium dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />d. Tidak ada hubungan antara kebiasaan konsumsi bahan goiterogenik dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />2. Hipotesis alternatif (Ha)<br />a. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian gangguan akibat kekurangan yodium (Gondok).<br />b. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian gangguan kekurangan yodium (Gondok).<br />c. Ada hubungan antara penggunaan garam beryodium dengan kejadian gangguan kekurangan yodium (Gondok).<br />d. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi bahan goiterogenik dengan kejadian gangguan kekurangan yodium (Gondok).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />METODE PENELITIAN<br />A. Lokasi dan waktu Penelitian<br /> Penelitian dilakukan di wilayah Puskesmas Anggrek Kab. Gorontalo Utara dimulai Bulan 8 April sampai dengan 15 Mei 2009.<br />B. Bahan dan Alat<br />1. Instrumen Penelitian <br />a. kuesioner daftar pertanyaan yang disusun dengan baik , dimana responden tinggal memberikan jawaban atau tanda-tanda tertentu.<br />b. Alat tulis menulis, komputer, dan kalkulator.<br />c. Buku panduan<br />C. Jenis dan Disain Penelitian<br />Jenis penelitian digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional study yaitu suatu rancangan yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, obsevasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat.<br />D. Populasi dan Sampel<br />1. Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan wanita usia subur yang menderita gangguan akibat kekurangan yodium di wilayah Puskesmas Anggrek Kabupaten Gorontalo utara.<br />2. Sampel dalam penelitian ini. Dengan cara pengambilan sampel dilakukan secara systematis sampling .<br />E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif<br /> Agar diperoleh kesamaan pengertian dalam penelitian ini maka dibuat batasan-batasan sebagai berikut :<br />1. Pendidikan dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan terakhir secara formal yang pernah diikuti responden dengan ijazah yang dimiliki.<br />Kriteria Objektif :<br />Tinggi : Bila pendidikan SLTP ke atas<br />Rendah : Bila pendidikan SD ke bawah<br />2. Pengetahuan, yang dimaksud dengan pengetahuan dalam penelitian ini adalah jenjang tahunya responden mengenai gangguan akibat kekurangan yodium.<br />Kriteria :<br />Benar : diberi skor 1<br />Salah : diberi skor 0<br /> Dan untuk mendapatkan tingkat/ katagori pengetahuan responden dilakukan penjumlahan skor/ nilai dari jawaban responden<br />1. Bila jumlah skor ≥ 10 benar kategori baik <br />2. Jika jumlah skor < 10 benar kategori kurang <br />3. Penggunaan garam beryodium, yang dimaksud dengan penggunaan garam beryodium yaitu cara penggunaan garam beryodium dalam pengolahan makanan sehari-hari.<br /><br /><br />Kriteria :<br />Ya : diberi skor 1<br />Tidak : diberi skor 0<br />Dan untuk mendapatkan kategori penggunaan garam beryodium responden dilakukan penjumlahan skor/ nilai dari jawaban responden<br />1. Bila jumlah skor ≥ 50 % kategori baik <br />2. Jika jumlah skor < 50 % kategori tidak baik <br />4. Kebiasaan konsumsi bahan goiterogenik, yang dimaksud dengan kebiasaan konsumsi bahan goiterogenik yaitu kebiasaan responden menkonsumsi bahan goiterogenik dalam penyajian makanan sehari-hari.<br />Kriteria :<br />Ya : diberi skor 1<br />Tidak : diberi skor 0<br />Dan untuk mendapatkan kategori kebiasaan responden mengkonsumsi bahan goiterogenik dilakukan penjumlahan skor/nilai dari jawaban responden<br />1. Bila jumlah skor ≥ 50 % kategori jarang <br />2. Jika jumlah skor < 50 % kategori sering<br />5. Gangguan akibat kekurangan yodium, sekumpulan gejala yang dapat ditimbulkan karena tubuh penderita kekurangan yodium secara terus menurus dalam waktu yang lama dengan kriteria objektif.<br />Terjadi : bila terdapat tanda dan gejala pembesaran kelenjar gondok<br />Tidak terjadi : bila tidak terdapat tanda dan gejala pembesaran kelenjar gondok<br />4. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-49 tahun dan tidak hamil.<br />F. Teknik Pengumpulan Data <br />1. Jenis Data <br /> a. Data Primer <br /> Data yang dikumpulkan langsung dari responden melalui Kuesioner.<br /> b. Data Sekunder <br /> Data yang diperoleh dari Puskesmas Anggrek, Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara.<br />G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.<br />1. Teknik Pengolahan Data.<br />a. Editing<br />Yaitu : memeriksa kelengkapan, keseimbangan dan keseragaman pengisian kuisioner dan mengklasifikasikan data-data tersebut sesuai dengan kategori masing-masing.<br />b. Coding<br />Yaitu : Memberi kode pada masing-masing jawaban agar data-data tersebut mudah ditabulasi.<br />c. Menghitung Frekuensi<br />Yaitu : Setelah diberi kode dihitung besarnya frekuensi masing-masing data.<br />d. Tabulasi Data <br />Yaitu : Mengelompokkan data dalam bentuk tabel dan narasi menurut sifat masing-masing sehingga dapat ditarik kesimpulan.<br />2. Analisis Data<br />a. Analisis data dilakukan dengan manual melalui pengisian kuesioner, sebelum data dianalisis terlebih dahulu diklasifikasikan kemudian ditabulasi diolah dalam tabel distribusi frekuensi.<br />Analisis tabel distribusi, frekuensi dan tabel silang. Data dimasukkandalam tabel serta prosentasi selanjutnya dilakukan analisis statistik.<br />b. Analisis Statistik<br />Data yang sudah diolah dianalisis secara statistik dengan uji Chi Square untuk menguji hipotesis nol dengan rumus :<br /><br /> χ2 = ∑ (0 – E)2<br /> E<br />Dimana :<br />χ2 = Kai Kuadrat <br />O = Frekuensi Obsevasi (Nilai Observasi)<br />E = Frekuensi yang diharapkan <br />∑ = Jumlah<br />(Notoatmodjo, 2002).<br />Penilaian :<br />1.) Dianggap ada hubungan bila χ2 hitung lebih besar dari χ2 tabel<br />2.) Dinyatakan tidak ada hubungan bila χ2 hitung kurang dari χ2 tabel<br />BAB IV<br />HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />A. Hasil Penelitian<br />1. Analisis Deskriptif<br />Tabel 4.1 <br />Gambaran Kejadian GAKY (Gondok) Berdasarkan Umur <br />di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.<br />Umur (tahun) Kejadian Gondok Jumlah<br /> Ya Tidak <br /> n % n % n %<br />15-25 100<br />26-40 100<br />41-64 100<br />≥ 65 100<br />Total 100<br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa distribusi umur yang paling banyak berada pada rentang umur 41-64 tahun dengan jumlah 0 responden, dan yang terjadi gondok sebanyak 0 responden (0%), sedangkan yang tidak terjadi berjumlah 0 responden (0%), distribusi pada rentang umur 26-40 sebanyak 0 responden, dan yang terjadi gondok berjumlah 0 responden (0%), sedangkan yang tidak terjadi sebanyak 0 responden (0%), distribusi pada rentang umur ≥ 65 tahun sebanyak 0 responden, dan yang terjadi gondok berjumlah 0 responden (0%), sedangkan yang tidak terjadi berjumlah 0 responden (0%), dan distribusi umur yang paling sedikit berada pada rentang umur 15-25 tahun dengan jumlah 0 responden.<br />2. Analisis Hubungan<br /> Untuk melihat apakah ada hubungan antara Pendidikan, Pengetahuan, penggunaan Garam Beryodium dan Kebiasaan Mengkonsumsi Bahan Goitrogenik dengan kejadian Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (Gondok) adalah sebagai berikut :<br />Tabel 4.2<br />Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian GAKY (Gondok) di wilayah Kerja Puskesmas Anggrek<br /><br />Pendidikan Kejadian Gondok Jumlah χ2 p<br /> Ya Tidak <br /> n % n % n % <br />Tinggi 100 <br />Rendah 100 <br />Total 100 <br /><br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa pendidikan tinggi yang terjadi GAKY berjumlah 0 responden (0%), sedangkan pendidikan rendah yang terjadi GAKY berjumlah 63 responden (45,3%), sedangkan responden yang pendidikanya rendah yang tidak terjadi berjumlah 58 responden (41,7%), dan responden yang pendidikanya rendah yang tidak terjadi GAKY berjumlah 58 responden (41,7%). Total responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 18 responden (12,9%), dan responden yang berpendidikan rendah sebanyak 121 responden (87,1%). Sedangkan total responden yang terjadi GAKY 63 responden (45,3%) dan yang tidak terjadi 76 responden (54,7%).<br />Tabel 4.3<br />Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian GAKY (Gondok) di wilayah Kerja Puskesmas Anggrek<br /><br />Pendidikan Kejadian Gondok Jumlah χ2 p<br /> Ya Tidak <br /> n % n % n % <br />Kurang 100 <br />Baik 100 <br />Total 100 <br /><br /> Berdasarkan tabel di atas didapatkan bahwa pengetahuan baik yang terjadi GAKY berjumlah 21 responden (15,1%), sedangkan pengetahuan kurang yang terjadi GAKY berjumlah 42 responden (30,2%), sedangkan responden yang pengetahuanya baik yang tidak terjadi berjumlah 22 responden (15,8%), dan responden yang pengetahuanya kurang yang tidak terjadi berjumlah 42 responden (30,2%). Total responden yang berpengetahuan baik sebanyak 43 responden (30,9%), dan responden yang berpengetahuan kurang sebanyak 96 responden (69,1%). Sedangkan total responden yang terjadi GAKY 63 responden (45,3%) dan yang tidak terjadi GAKY 76 responden (54,7%). <br />Tabel 4.4<br />Hubungan penggunaan Garam Beryodium dengan GAKY (Gondok)<br /> di wilayah Puskesmas Anggrek<br /><br />Penggunaan Garam Beryodium Kejadian Gondok Jumlah χ2 p<br /> Ya Tidak <br /> n % n % n % <br />Tidak Baik 100 <br />Baik 100 <br />Total 100 <br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa penggunaan garam beryodium yang baik tetapi terjadi GAKY berjumlah 8 responden (5,8%), sedangkan penggunaan garam beryodium yang tidak baik yang terjadi GAKY berjumlah 55 responden (39,6%), sedangkan responden yang penggunaan garam beryodium yang baik dan tidak terjadi GAKY berjumlah 25 responden (18,0%), dan responden yang penggunaan garam beryodium yang tidak baik yang tidak terjadi berjumlah 51 responden (36,7%). Total responden yang menggunakan garam beryodium yang baik sebanyak 33 responden (23,7%), dan responden yang menggunakan garam beryodium yang tidak baik sebanyak 106 responden (76,3%). Sedangkan total responden yang terjadi GAKY 63 responden (45,3%) dan yang tidak terjadi 76 responden (54,7%). <br />Tabel 4.5<br />Hubungan Kebiasaan Mengkonsumsi Bahan Goitrogenik dengan Kejadian GAKY (Gondok)<br /><br />Kebiasaan Mengkonsumsi bahan Goiterogenik Kejadian Gondok Jumlah χ2 p<br /> Ya Tidak <br /> n % n % n % <br />Sering 100 <br />Jarang 100 <br />Total 100 <br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa kebiasaan mengkonsumsi bahan goiterogenik yang jarang yang terjadi GAKY berjumlah 0 responden (0%), sedangkan kebiasaan mengkonsumsi bahan goiterogenik yang sering dan terjadi GAKY berjumlah 63 responden (45,3%), sedangkan responden yang kebiasaan mengkonsumsi bahan goiterogenik yang jarang yang tidak terjadi berjumlah 26 responden (18,7%), dan responden yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi bahan goiterogenik yang sering dan tidak terjadi berjumlah 50 responden (36,0%). Total responden yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi bahan goiterogenik yang jarang sebanyak 26 responden (18,7%), dan responden yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi bahan goiterogenik yang sering sebanyak 113 responden (81,3%). Sedangkan total responden yang terjadi GAKY 63 responden (45,3%) dan yang tidak terjadi 76 responden (54,7%). <br />B. PEMBAHASAN<br />1. Pendidikan <br /> Dari hasil analisa deskriptif pada distribusi frekuensi tingkat pendidikan menunjukkan 89 responden (64,2%) dan 32 responden (23,02%) dikatagorikan berpendidikan rendah yaitu pendidikan SD dan SLTP sedang 18 responden (12,9%) dikatagorikan berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga kemampuan berpikir secara positif kurang, menyebabkan kemampuan secara objektif juga kurang sehingga responden tidak tahu mempertahankan kehidupan yang sehat yang dapat dilihat dengan adanya responden yang mengalami Gangguan Akibat Kekurangan Yodium.<br /> Disamping itu terdapat hanya sebahagian kecil responden yang mempunyai pendidikan tinggi, dimana diharapkan dengan pendidikan yang tinggi responden mempunyai kemampuan berpikir yang positif tentang bagaimana memperoleh dan mempertahankan kehidupan yang sehat. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (1993) bahwa pendidikan merupakan proses perubahan tingkah laku melalui upaya pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mencapai kehidupan dan kepribadian yang mantap.<br /> Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji χ2, diperoleh hasil χ2 hitung = 17,141 dan χ2 tabel = 3,84, berarti χ2 hitung > χ2 tabel dengan demikian Ho ditolak Ha diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara pendidikan denghan kejadian GAKY diwilayah Puskesmas Anggrek.<br />2. Pengetahuan<br /> Data pengetahuan yang diperoleh dari 139 responden terdapat 96 responden (69,06%) berpengetahuan kurang dan 43 responden (30,94%) berpengetahuan baik.<br /> Dari data tersebut sebagian responden memiliki pengetahuan kurang sehingga berpotensi terjadinya GAKY. Disamping itu ada sebagian responden yang mempunyai pengetahuan yang baik, hal ini sesuai dengan apa yang diharapkan dimana dengan pengetahuan yang baik dapat mengantisipasi terjadinya GAKY.<br /> Rahman J. (1998) berpendapat bahwa pengetahuan akan membentuk kepercayaan yang selanjutnya dapat memberikan perspektif pada manusia dalam mempersiapkan kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap terhadap objek tertentu. Pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki seseorang.<br /> Hasil penelitian responden yang termasuk pengetahuan kurang, tidak mempunyai wawasan serta pemahaman gizi khususnya tentang GAKY yang mereka derita, juga tidak mampu memberikan jawaban yang baik, waktu yang digunakan dalam pengisian angket juga lebih lama, dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik.<br /> Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji χ2 = 0,310 dan χ2 tabel = 3,84, berarti χ2 hitung < χ2 tabel dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga dapat dinyatakan tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian GAKY(Gondok) diwilayah Puskesmas Anggrek.<br /> Hasil dan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sangat dibutuhkan pengetahuan yang baik bagi masyarakat agar dapat terhindar dari terjadinya GAKY(Gondok) Sesuai dengan pendapat Arisman, MB (2002) mengatakan bahwa Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dapat dicegah jika masyarakat memahami, mengetahui tentang faktok yang menjadi pemicu terjadinya GAKY.<br />3. Penggunaan Garam Beryodium<br /> Hasil penelitian yang dilakukan diperoleh data, dimana terdapat 106 responden (76,26%) menggunakan garam beryodium dengan cara penggunaan serta penyimpanan yang kurang baik, dan 33 responden (23,74%) menggunakan garam beryodium dengan pengelolaan serta penyimpanan yang baik. <br /> Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji χ2 diperoleh hasil χ2 hitung = 7,761 dan χ2 tabel = 3,84 berarti χ2 hitung > χ2 tabel dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara penggunaan garam beryodium dengan kejadian GAKY diwilayah Puskesmas Anggrek<br /><br />4. Kebiasaan Mengkonsumsi bahan Goitrogenik.<br /> Hasil penelitian yang dilakukan diperoleh data, dimana terdapat 113 responden(81,29%) sering mengkonsumsi bahan goitrogenik, dan 26 responden (18,71%) jarang mengkonsumsi bahan goitrogenik. <br /> Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji χ2, diperoleh hasil χ2 hitung = 26,512 dan χ2 tabel = 3,84, berarti χ2 hitung > χ2 tabel dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi bahan goitrogenik dengan kejadian GAKY.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB V<br />PENUTUP<br />A. Simpulan<br /> Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada 139 responden penderita GAKY diwilayah Puskesmas Anggrek hasil pengujian hipotesis dan pembahasan dengan tingkat kemaknaan < 0,05 dapat disimpulkan :<br />1. Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan penderita gangguan akibat kekurangan yodium, artinya pendidikan yang berpendidikan kurang mempunyai peluang besar untuk terjadi GAKY dibanding penderita GAKY dengan latar belakang pendidikan baik.<br />2. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian GAKY (Gondok) yang artinya penderita yang pengetahuan kurang mempunyai peluang besar untuk terjadi GAKY dibanding penderita GAKY dengan pengetahuan baik.<br />3. Terdapat hubungan antara penggunaan garam beryodium dengan kejadian GAKY(Gondok), yang artinya penderita yang penggunaan garam beryodium tidak baik mempunyai peluang besar untuk terjadi GAKY dibanding penderita GAKY dengan penggunaan garam beryodium yang baik.<br />4. Terdapat hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi bahan goitrogenik dengan kejadian GAKY (Hondok), artinya penderita yang kebiasaan mengkonsumsi bahan goitrogenik yang sering mempunyai peluang besar untuk terjadi GAKY dibanding penderita GAKY dengan kebiasaan mengkonsumsi bahan goitrogenik yang jarang.<br />B. Saran<br />Berdasarkan uraian diatas maka melalui kesempatan ini peneliti menyarankan :<br />1. Hendaknya diupayakan program penyuluhan pengetahuan GAKY pada masyarakat, kelompok dan individu baik dalam gedung maupun diluar gedung Puskesmas sebagai implementasi awal untuk mengurangi prevalensi GAKY yang lebih tinggi.<br />2. Untuk peneliti berikutnya, agar melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan akibat kekurangn yodium pada variabel yang belum diteliti.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Arikunto S, 1998, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta Jakarta<br />Arisman MB.2001, Gizi Dalam Dasar Kehidupan, <br />Depkes RI, 1992, Undang – undang Kesehatan Indonesia No. 23 Tentang Kesehatan, Jakarta<br /><br /> , 1997, Pedoman Pemberian Kapsul Minyak Beryodium. <br /> , 1997, Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. <br /> , 2000, Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kapsul Minyak Beryodium. <br /><br />Faisal, S. 1981, Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta Arcan<br />Guyton A. 1992, Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Alih Bahasa Petrus Adrianto Jakarta 1992. EGC. <br /><br />Granner D. K. ; Hormon Tiroid. Dalam Martin, Dafid, W. Editor, Biokimia Harper. Alih Bahasa Iyan Darmawan Ed. 20. Jakarta 1992. EGC.<br /><br />Irham Machtfoedz, Endah Marianingsi, Th, Margono,APP, Heni Puji Wahyuningsi, (April 2005), Metodologi Penelitian bidang Kesehatan, Keperawatan dan Kebidanan.<br /><br />Leeson C. R. 1989, Buku Ajar Histologi. Alih Bahasa Jan Tambayong, Sigit Wonodirejkso. Ed. V. Jakarta 1989 EGC.<br /><br />Noer S.H.M. 1997 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. III. Jakarta. <br /><br />Notoatmodjo. S, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan. <br /> , 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan. <br /> , 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Prilaku Kesehatan Yogyakarta. <br /><br />Rahmat J. 1998, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosda Karya Bandung, <br />Robbins S. L. Dan Kumar V, 1995, Kelenjar Endokrin Dalam Buku Patologi II. Ed. IV. Alih Bahasa Staf Pengajar Lab. PA FK Airlangga Surabaya, EGC.meikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-34813428994489854022010-01-02T02:21:00.000-08:002010-01-02T02:23:51.595-08:00PERSEPSI PASIEN RAWAT INAP TERHADAP PENDIDIKAN KESEHATAN DI PUSKESMAS KWANDANG KECAMATAN KWANDANGBAB I. PENDAHULUAN<br />A. Latar Belakang<br />Indonesia adalah negara berkembang peningkatan taraf hidup seseorang/masyarakat, perhatian terhadap pemenuhan hak seseorang/masyarakat serta peningkatan kesehatan seseorang, masyarakat akan pentingnya hidup sehat menyebabkan meningkatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas oleh karena pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.<br />Untuk meningkatkan kesehatan seseorang/masyarakat, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu lingkungan fisik, mental, sosial budaya, politik, maupun ekonomi. Perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan faktor hereditas (keturunan). Keempat faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain dan mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang/masyarakat.<br />Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang diwujudkan dalam suatu wadah pelayanan kesehatan yang disebut sarana kesehatan antara lain sarana pemeliharaan kesehatan primer (Primary Care) sarana yang paling dekat dengan masyarakat yaitu puskesmas.<br />Namun pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat belum optimal atau masih rendah sampai saat ini kurang lebih 7000 puskesmas telah tersebar di Indonesia, namun menurut data terakhir menunjukkan baru sekitar 35 % masyarakat menggunakan puskesmas. (Notoatmodjo : 2003) <br />Berdasarkan studi pendahuluan penelitian pada tanggal 2 April 2008, didapatkan dari register rawat Jalan puskesmas Anggrek tahun 2007 jumlah pasien yang berkunjung kurang lebih 700 Orang. <br />Hasil observasi penelitian bahwa karena berlebihnya beban kerja Petugas Puskesmas, maka pendidikan kesehatan yang seharusnya diberikan setiap saat memberikan tindakan pada pasien tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga sebagian besar anggota masyarakat (pasien dan keluarganya) tidak memahami penyakit yang diderita dalam proses penyembuhannya, ditunjang juga dengan pendidikan anggota masyarakat yang relatif rendah, disamping itu sebagian besar anggota masyarakat lebih mementingkan pekerjaannya dari pada menjaga dan meningkatkan kesehatannya.serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan medik masih kurang, hal ini diperkuat dengan pernyataan seorang pasien yang sempat diwawancarai diruang tindakan pada tanggal 2 April 2008. menyatakan bahwa “Penyakit apa sebenarnya yang diderita anak saya ?, kenapa harus berobat di puskesmas ?, jarak puskesmas dengan rumah kami jauh, kami harus segera pulang, karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kami tidak tahu apa itu pendidikan kesehatan, anak ini akan kami bawa ke dukun kampung saja jika tidak ada perubahan”. Sehingga pendidikan kesehatan atau anjuran-anjuran yang disampaikan perawat harus melalui proses yang cukup lama agar pasien dan keluarganya dapat memahami dan menerapkan anjuran-anjuran tersebut. <br />Dalam rangka perbaikan kesehatan masyarakat dan pendidikan kesehatan merupakan salah satu bentuk tindakan mandiri dalam keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan mencegah timbulnya penyakit dan berkembangnya masaalah kesehatan, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada. Memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masaalah kesehatan. Sehubungan degan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang persepsi pasien rawat jalan terhadap pendidikan kesehatan di puskesmas anggrek Kecamatan anggrek Kabupaten Gorontalo Utara. <br /><br />B. Perumusan Masaalah<br />Sesuai latar belakang di atas maka didapatkan perumusan masaalahnya “Bagaimana persepsi Pasien Rawat jalan Terhadap Pendidikan Kesehatan di Puskesmas Anggrek”.<br /><br />C. Tujuan Penelitian<br />Penelitian ini bertujuan “Untuk mengetahui bagaimana Persepsi Pasien rawat Jalan Terhadap Pendidikan Kesehatan di Puskesmas Anggrek”?<br /><br />D. Manfaat Penelitian<br />1. Puskesmas <br />Sebagai bahan pertimbangan untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan demi terwujudnya derajat kesehatan secara optimal. <br />2. Institusi Pendidikan <br />Sebagai bahan masukan untuk mahasiswa khususnya Fakultas Kesehatan Masyarakat dalam hal pentingnya pendidikan kesehatan dalam proses pelayanan kesehatan.<br /><br />3. Profesi <br />Sebagai masukan dalam hal peningkatan tindakan mandiri petugas kesehatan khususnya tentang pendidikan kesehatan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II. TINJAUAN PUSTAKA<br /><br />A. Persepsi<br />Persepsi adalah interpretasi yang tinggi terhadap lingkungan Manusia dan mengolah proses informasi “Human interpret their surroundings on a higher percive their word through information processing” (Wilson D, 2000, dalam Munir Kamarullah, 2005 ).<br />Mekanisme persepsi merupakan suatu peristiwa physical dan proses eksternal yang membangkitkan persepsi yang mempengruhi mata, saraf di bagian visual cortex, yang memberikan efek ke lingkungan yang dapat mempengaruhi dan di pengaruhi oleh susunan saraf pusat <br />“ The mechanisms of perception are set of physical and the ekternal reality is generating a perceptual field that is influencing the eye which in turn is infliencing the neurones of the fisual cortex , is the racting part has other espects to its invironment, namely of can influence and be influenced by other parts of the brain and central nervous system”. (Graham R, 1999, dalam Munir Kamrullah, 2005).<br /><br />Manusia secara umum menerima informasi dari Lingkungan lewat proses yang sama, oleh karena itu dalam memahami Persepsi harus ada proses di mana ada informasi yang di peroleh lewat memory organisme yang hidup. Fakta ini memudahkan peningkatan persepsi individu, adanya stimulus yang mempengaruhi individu yang mencetuskan suatu pengalaman dari Organisme, sehingga timbul berpikir yang dalam proses perseptual merupakan proses yang paling tinggi. Hill G, 2000 dalam Munir Kamarullah 2005.<br />Dalam keterkaitan proses persepsi ada 3 komponen yang sangat terkait diantaranya : Hill G, 2000 dalam Munir Kamarullah.<br />1. Learning dari pengalaman organism terhadap stimulus<br />2. Memory dari organism <br />3. Through dari komponen satu dan dua (learning and memory)<br />Menurut Wilson D 2000 Dalam Munir Kamarullah 2005 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dintaranya sebagai berikut : <br />1. Faktor Eksternal ( luar ) :<br />a. Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di persepsikan dibandingkan dengan yang objektif .<br />b. Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan dibandingkan dengan hal-hal yang lama.<br />c. Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang lambat.<br />d. Conditioned stimuli, stimulus yang di kondisikan seperti bel pintu, deringan telepon dan lain lain.<br />2. Faktor Internal (dalam) :<br />a. Motivation. misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap istirahat<br />b. Interest, hal hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak menarik.<br />c. Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian.<br />d. Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain.<br />B. Pendidikan Kesehatan<br />Menurut Notoatmodjo yang dikutip dari Comitte President On Health Education (1977) Pendidikan kesehatan adalah proses yang menjembatani kesenjangan antara informasi kesehatan dan praktek kesehatan yang memotivasi seseorang untuk memperoleh informasi dan berbuat sesuatu sehingga dapat menjaga dirinya menjadi lebih sehat dengan menghindari kebiasaan yang buruk dan membentuk kebiasaan yang menguntungkan kesehatan.<br />Dalam keperawatan, pendidikan kesehatan merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok maupun masyarakat dalam mengatasi masaalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang di dalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik. Pelaksanaan pendidikan kesehatan dalam keperawatan merupakan kegiatan pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut :<br />Pengkajian kebutuhan belajar klien, Penegakan diagnosa keperawatan, Perencanaan pendidikan kesehatan, Implementasi pendidikan kesehatan, Evaluasi pendidikan kesehatan dan Dokumentasi pendidikan kesehatan. (Uha, Suliha. Dkk: 2003 ; 03)<br />Secara umum, tujuan dari pendidikan kesehatan ialah mengubah perilaku individu/masyarakat di bidang kesehatan. (WHO : 1954, dikutip Notoatmodjo : 1997) :<br />5. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat.<br />6. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau kelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai kegiatan tujuan hidup sehat.<br />7. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada.<br />Secara operasional, tujuan pendidikan kesehatan (diperinci oleh Wong 1974, dikutip Tafal 1984) :<br />1. Agar penderita (masyarakat) memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan (dirinya), keselamatan lingkungan dan masyarakatnya.<br />2. Agar orang melakukan langkah-langkah positif dalam mencegah terjadinya sakit, mencegah berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh penyakit.<br />3. Agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan perubahan-perubahan sistem dan cara memanfaatkannya dengan efisien dan efektif.<br />4. Agar orang mempelajari apa yang dia lakukan sendiri dan bagaimana caranya tanpa selalu meminta pertolongan kepada sistem pelayanan kesehatan yang formal.<br />Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan<br />1. Sasaran pendidikan kesehatan<br />a. Individu<br />b. Kelompok<br />c. Masyarakat<br />2. Tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan<br />a. Di sekolah : UKS, sasaran : anak sekolah<br />b. Di pelayanan kesehatan : Puskesmas, balai kesehatan, rumah sakit umum maupun khusus, sasaran : pasien dan keluarga pasien.<br />c. Di tempat-tempat kerja. Sasaran : buruh atau karyawan<br />3. Tingkat pelayanan pendidikan kesehatan Menurut Leavil and Clark Dalam Uha Sulilah DKK 2003.<br />a. Promosi kesehatan (Health Promotion)<br />Diperlukan dalam kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan, pemeriksaan kesehatan berkala, peningkatan gizi, kebiasaan hidup sehat.<br />b. Perlindungan khusus (Spesific Protection)<br />Diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat : pentingnya imunisasi, sebagai cara perlindungan terhadap penyakit pada anak maupun orang dewasa.<br />c. Diagnosa dini dan pengobatan segera (Early Diagnosis and Promt Treatment)<br />Diperlukan karena rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan dan penyakit yang terjadi di masyarakat, kegiatan pada tingkat ini meliputi pencarian kasus individu atau massal.<br />Survei penyaringan kasus, penyembuhan dan pencegahan berlanjutnya proses penyakit, pencegahan penyebaran penyakit menular dan pencegahan komplikasi.<br /><br /><br />d. Pembatasan cacat (Dissability Limitation)<br />Diperlukan karena masyarakat sering didapat tidak mau melanjutkan pengobatannya sampai tuntas atau tidak mau melakukan pemeriksaan dan pengobatan penyakitnya secara tuntas.<br />e. Rehabilitasi (Rehabilitation)<br />Diperlukan bila seseorang sembuh dari suatu penyakit tertentu, seseorang mungkin menjadi cacat, untuk memulihkan kecacatannya diperlukan latihan-latihan.<br />5. Peran pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, mencegah dan menghindari hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain bilamana sakit.<br /><br />C. Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan<br />Berdasarkan perannya sebagai perawat pendidik, perawat mengalihkan pengetahuan, ketrampilan dan pembentukan sikap. Perubahan perilaku pada pasien yaitu perubahan pola pikir, sikap, dan ketrampilan yang spesifik.<br />Untuk mendapatkan gambaran pola pikir, sikap, dan ketrampilan yang spesifik tersebut diperlukan proses interaksi perawat pasien dalam menggali perasaan, kepercayaan, dan filosofi pasien secara individual. Dengan demikian perawat mendapatkan gambaran masaalah-masaalah pasien dan hal-hal yang perlu diberikan dalam pendidikan kesehatan. Kemudian bersama pasien, perawat melakukan kerja sama demi memecahkan masaalah-masaalah melalui proses negosiasi tentang pendidikan kesehatan yang diinginkan pasien sehingga hubungan proses pembelajaran yang terjadi bersifat dinamis dan interaktif.<br />Pentingnya pendidikan kesehatan dalam keperawatan dapat digambarkan seperti yang dikemukakan Green dalam Notoatmodjo (1997) tentang hubungan status kesehatan, sesuai gambar berikut ini : <br /> Keturunan<br /><br /> Pelayanan Kesehatan Status Kesehatan Lingkungan<br /><br />Perilaku<br /><br /><br /> Predisposing Factors Enabling Factors Reinforcing Factors<br />(Pengetahuan, sikap, kepercayaan, (Ketersediaan sumber (Sikap dan <br />Tradisi, nilai, dan sebagainya.) daya/fasilitas) perilaku petugas<br /> Kesehatan)<br /><br /><br /> Komunikasi PPM Training,<br /> Dinamika Kelompok Pemasaran Sosial Pengembangan <br /> Pengembangan Organisasi<br /> Organisasi<br /><br /> Pendidikan Kesehatan<br /> (dalam keperawatan)<br /><br />Skema tersebut menggambarkan empat faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu atau masyarakat, faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan saling berinteraksi satu sama lain.<br />1. Faktor keturunan adalah kondisi yang ada pada manusia serta organ manusia yang ada, misalnya pada keluarga yang menderita diabetes.<br />2. Faktor pelayanan kesehatan Petugas kesehatan berupaya dan bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan pada individu dan masyarakat. Mutu pelayanan profesional akan mempengaruhi status kesehatan masyarakat.<br />3. Faktor perilaku bisa dari individu tersebut dan dapat pula dipengaruhi dari luar misalnya : pengaruh budaya, nilai-nilai ataupun keyakinan yang ada di masyarakat.<br />4. Faktor lingkungan suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang menggambarkan lingkungan kehidupan manusia yang dihubungkan dengan status kesehatan, meliputi : pemahaman, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan kotoran manusia, halaman rumah dan selokan, kandang hewan serta fentilasi.<br /><br /><br />D. Kerangka Konsep<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III. METODE PENELITIAN<br /><br />A. Jenis Penelitian<br />Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian jenis deskriptif yaitu peneliti menggambarkan dengan jelas bagaimana persepsi pasien rawat Jalan terhadap pendidikan kesehatan di Puskesmas Anggrek.<br /><br />B. Variabel Penelitian<br />Variabel yang digunakan oleh penulis adalah variabel mandiri yaitu tentang persepsi pasien rawat jalan terhadap pendidikan kesehatan di Puskesmas Anggrek.<br /><br />C. Definisi Operasional<br />Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor<br />Mandiri <br />Persepsi pasien Persepsi pasien terhadap Pendidikan kesehatan adalah pandangan atau pendapat terhadap anjuran-anjuran kesehatan yang diberikan oleh tenaga perawat dalam meningkatkan derajat kesehatan Pendidikan Kesehatan :<br />a. Promosi kesehatan <br />b. Perlindungan khusus <br />c. Diagnosa dini dan pengobatan segera<br />d. Pembatasan cacat <br />e. Rehabilitasi Kuesioner Ordinal Persepsi pasien dikatakan baik bila responden menjawab<br />> 75 %<br /><br />Persepsi pasien dikatakan kurang bila responden menjawab <br />< 75 %<br /><br /><br /><br />D. Populasi dan Sampel<br />1. Populasi<br />Seluruh pasien yang dirawat Jalan di Puskesmas Anggrek.<br />2. Sampel <br />Pasien yang dirawat Jalan di Puskesmas Anggrek dengan memenuhi kriteria <br />Kriteria inklusi :<br />a. Pasien yang dirawat Jalan di Puskesmas Anggrek<br />b. Pasien yang bersedia diteliti<br />c. Pasien yang kooperatif.<br />Kriteria eksklusi :<br />a. Pasien yang tidak dirawat Jalan di Puskesmas Anggrek<br />b. Pasien yang tidak bersedia diteliti<br />c. Pasien yang tidak kooperatif<br />3. Sampling<br />Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan tehnik Consecutive sampling, yang memenuhi kriteria.<br /><br />E. Instrumen Penelitian<br />Instrumen dalam penelitian ini menggunakan lembar pertanyaan dalam bentuk kuesioner (terlampir) yang mengacu pada tinjauan pustaka.<br /><br /><br /><br /><br /><br />F. Jalannya Penelitian<br />1. Dalam melakukan penelitian ini, terlebih dahulu peneliti melakukan studi pendahuluan, untuk melihat problematika yang terjadi sehingga bisa diteliti di Wilayah Kerja Puskemas Anggrek Khususnya yang menjalani rawat jalan. <br />2. Mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan rekomendasi dari institusi pendidikan untuk diberikan kepada Kepala Puskemas Anggrek <br />3. Memberikan surat permohonan izin penelitian pada Kepala Puskesmas Anggrek <br />4. Mengadakan pendekatan dengan calon responden kemudian memberikan penjelasan tentang penelitian ini. Apabila calon responden setuju menjadi responden, maka peneliti mempersiapkan surat persetujuan yang telah dibuat untuk ditanda tangani oleh responden, selanjutnya responden diberi daftar pernyataan mengenai persepsi responden terhadap pendidikan kesehatan. <br />5. Setelah data terkumpul, peneliti akan mendapatkan surat pernyataan dari Kepala Puskemas Anggrek, bahwa peneliti benar-benar telah melakukan penelitian di tempat tersebut. <br />6. Pengolahan data dari hasil penelitian untuk melengkapi penulisan penelitian.<br />7. Seminar hasil penelitian.<br /><br />G. Pengumpulan Data<br />1. Data Primer<br />Data yang didapatkan langsung dari responden melalui kuesioner.<br /><br /><br />2. Data Sekunder <br />Data yang diperoleh dari pendokumentasian di Puskesmas Anggrek dan literatur yang digunakan.<br /><br />H. Analisa Data<br />Setelah data terkumpul maka terlebih dahulu diadakan editing mengevaluasi kelengkapan atau pengecekan terhadap data yang diperoleh dalam usaha untuk melengkapi data yang masih kurang, selanjutnya diadakan coding atau klasifikasi data kemudian ditabulasikan dalam tabel.<br />Jawaban yang diisi oleh responden diberi skor, untuk jawaban “Ya” diberi skor 1 dan jawaban “Tidak” diberi skor 0, serta analisa hasil dimasukkan skor sesuai kategori dan dalam pengelolaan data menggunakan analisa data distribusi frekuensi relatif menurut Ircham Machfoedz (2004), dengan rumus : <br />P = <br /><br /> Keterangan : P : Presentase<br /> f : Jumlah jawaban benar<br /> n : jumlah item pertanyaan<br /><br />I. Etika Penelitian<br />Dalam melakukan penelitian, peneliti akan menekankan masaalah etika yang meliputi : (Nursalam dan Siti Parriani, 2001)<br />1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)<br />Lembar persetujuan yang diberikan kepada responden yang diteliti harus memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila responden menolak, maka peneliti jangan memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.<br />2. Anominity (Tanpa Nama)<br />Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh responden tersebut, tapi hanya diberikan nomor kode tertentu.<br />3. Confidentialy (Kerahasiaan)<br />Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />J. Keterbatasan<br />Keterbatasan merupakan hambatan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />1. Kurangnya refernsi atau literature yang digunakan dalam penyusunan tinjauan pustaka untuk dijadikan rancangan alat ukur questioner.<br />2. Keterbatasan waktu yang digunakan dalam penelitian ini karena jadwal kurikulum ditentukan oleh akademik sehingga penelitian ini kurang maksimal untuk mewakili seluruh karakteristik populasi pasien rawat inap dipuskesmas kwandang.<br /><br /><br /><br /> <br />BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br /><br />A. Hasil Penelitian<br />Berdasarkan hasil pengumpulan data primer yang dilakukan peneliti melalui lembar kuesioner yang diberikan kepada 100 responden yang menyangkut persepsi pasien dalam pendidikan kesehatan dalam keperawatan meliputi. Promosi kesehatan, perlindungan khusus. Diagnosa dini, pengobatan segera, pembatasan cacat dan rehabilitasi. Pada pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang sejak 13 februari sampai 31 maret 2006. Kemudian data yang diperoleh dianalisa dan klasifikasikan.<br />Penelitian ini menggambarkan variabel yang diteliti mengenai persepsi pasien terhadap pendidikan kesehatan dalam keperawatan pada rawat inap puskesmas kwandang, kecamatan kwandang yang dicantumkan pada tabel- tabel berikut :<br />Tabel 1 : Distribusi responden berdasarkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal promosi Kesehatan pada pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang Tahun 2006.<br /><br />No Promosi Kesehatan Jumlah Jawaban<br /> Ya % Tidak %<br />1<br /><br /><br />2 Apakah perawat pernah menganjurkan tentang manfaat kebersihan diri pada anda ? <br />Apakah perawat pernah memberikan informasi atau anjuran untuk makan makanan yang harus dimakan sesuai dengan penyakit yang anda alami ? 70<br /><br /><br />64 70%<br /><br /><br />64% 30<br /><br /><br />36 30%<br /><br /><br />36%<br /> Jumlah 134 66 <br /> Rata-rata 67 67% 33 33%<br /> Sumber : Data primer <br />Dari data diatas didapatkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal promosi Kesehatan, dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang menjawab Ya sebanyak 67 % dan Tidak 33 % karena itu termasuk dalam kategori Kurang.<br /><br />Tabel 2 : Distribusi responden berdasarkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal perlindungan khusus. Pada pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang Tahun 2006.<br /><br />No Promosi Kesehatan Jumlah Jawaban<br /> Ya % Tidak %<br />3<br /><br /><br /><br /><br />4 Apakah perawat pernah menyampaikan informasi kesehatan tentang manfaat mendapatkan imunisasi kepada anda ?<br />Apakah perawat pernah menyampaikan informasi kesehatan tentang akibat tidak mendapatkan imunisasi kepada anda. 34<br /><br /><br /><br /><br />34 34%<br /><br /><br /><br /><br />34% 66<br /><br /><br /><br /><br />66 34%<br /><br /><br /><br /><br />66%<br /> Jumlah 68 132 <br /> Rata-rata 34 34% 66 66%<br /> Sumber : Data Primer <br /><br />Berdasarkan tabel 2 diatas didapatkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal perlindungan khusus dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang menjawab Ya 34 % dan 66 % menjawab Tidak karena itu termasuk dalam kategori kurang <br /><br /><br /><br /><br />Tabel 3 : Distribusi responden berdasarkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal Diagnosa Dini dan pengobatan segera. Pada pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang Tahun 2006.<br /><br />No Promosi Kesehatan Jumlah Jawaban<br /> Ya % Tidak %<br />5<br /><br /><br /><br /><br />6 Apakah perawat pernah memberikan informasi kesehatan tentang manfaat mengobati penyakit yang dalam secara dini ? <br />Apakah perawat pernah memberikan informasi tentang manfaat mencegah timbulnya penyakit yang dialami pada anda ? 80<br /><br /><br /><br /><br />76 80%<br /><br /><br /><br /><br />76% 20<br /><br /><br /><br /><br />24 20%<br /><br /><br /><br /><br />24%<br /> Jumlah 156 44 <br /> Rata-rata 78 78% 22 22%<br /> Sumber : Data primer <br /><br />Berdasarkan tabel 3 diatas didapatkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal Diagnosa dini dan pengobatan segera. dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang menjawab Ya sebanyak 78 % dan 22 % menjawab Tidak karena itu termasuk dalam kategori Baik. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 4 : Distribusi responden berdasarkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal Pembatasan Cacat. Pada pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang Tahun 2006.<br /><br />No Promosi Kesehatan Jumlah Jawaban<br /> Ya % Tidak %<br />7<br /><br /><br /><br /><br />8 Apakah perawat pernah memberikan informasi kesehatan tentang manfaat mengobati penyakit secara tuntas kepada anda ? <br />Apakah perawat pernah memberikan informasi kesehatan tentang akibat tidak mengobati penyakit secara tuntas. 80<br /><br /><br /><br /><br />80 80%<br /><br /><br /><br /><br />80% 20<br /><br /><br /><br /><br />20 20%<br /><br /><br /><br /><br />20%<br /> Jumlah 160 40 <br /> Rata-rata 80 80% 20 20%<br /> Sumber : Data primer <br />Berdasarkan tabel 4 diatas didapatkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal Pembatasan cacat. dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang menjawab Ya sebanyak 80 % dan 20 % menjawab Tidak karena itu termasuk dalam kategori Baik. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 5 : Distribusi responden berdasarkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal Rehabilitasi pada pasien. pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang Tahun 2006.<br /><br />No Promosi Kesehatan Jumlah Jawaban<br /> Ya % Tidak %<br />9<br /><br /><br /><br />10 Apakah perawat pernah memberikan anjuran kesehatan tentang manfaat olahraga menurut penyakit yang dialami pada anak <br />Apakah perawat pernah memberikan anjuran kesehatan tentang akibat tidak melakukan olahraga menurut penyakit yang dialami kepada anda ? 27<br /><br /><br /><br />30 27%<br /><br /><br /><br />30% 73<br /><br /><br /><br />70 73%<br /><br /><br /><br />70%<br /> Jumlah 57 143 <br /> Rata-rata 29 29% 72 72%<br /> Sumber : Data Primer <br /><br />Berdasarkan tabel 5 diatas didapatkan persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan dalam hal rehabilitasi dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang menjawab Ya sebanyak 29 % dan 72 % menjawab Tidak karena itu termasuk dalam kategori Kurang . <br /><br />Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Pasien Rawat Inap terhadap Pendidikan Kesehatan di Puskesmas Kwandang Tahun 2006.<br /><br />No Kategori Jumlah %<br />1<br />2 Baik<br />Kurang 22<br />78 22,0<br />78,0<br />Jumlah 100 100,0<br /> Sumber : Data Primer <br /><br />Berdasarkan tabel 6 diatas didapatkan persepsi pasien rawat inap terhadap Pendidikan Kesehatan dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang termasuk ketegori baik sebanyak 22 responden (22,0%) sedangkan yang berkategori Kurang sebanyak 78 responden (78,0%). <br /><br />B. Pembahasan<br />1. Promosi Kesehatan<br />Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari data primer melalui kuesioner di ruang rawat inap Puskesmas Kwandang didapatkan pada tabel 1. Persepsi pasien terhadap Pendidikan Kesehatan. Dalam hal promosi kesehatan dari 100 orang responden, mendapat kategori dengan hasil tabulasi data yaitu rata-rata yang menjawab Ya 67 %. Menurut Leavel and Clark pendidikan kesehatan dalam hal promosi kesehatan yaitu peningkatan gizi, kebiasaan hidup, kesehatan perorangan, dan pada kenyataannya promosi kesehatan tersebut masih termasuk dalam kategori kurang. <br />Menurut Laode Jumadi Gaffar (1999 : 15). Peningkatan status kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan penyuluhan kesehatan dengan mengidentifikasi faktor-faktor pendukung seseorang menjadi sakit maupun seseorang menjadi sehat untuk memelihara agar fungsi tubuh optimal.<br />Kurangnya penegetahuan anggota masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit mengakibatkan mereka tidak berprilaku sesuai nilai-nilai kesehatan, untuk itu diperlukan komunikasi dan pemberian informasi kesehatan yang sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan seseorang. <br />2. Perlindungan Khusus<br />Menurut leavel and clark dalam (Suliha Uha Dkk 2003:5) pendidikan kesehatan. Diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, misalnya tentang pentingnya imunisasi sebagai cara perlindungan terhadap penyakit pada anak maupun orang dewasa. Program imunisasi merupakan bentuk pelayanan perlindungan khusus. Pada tabel persepsi pasien terhadap pendidikan kesehatan dalam hal perlindungan khusus masih sangatlah kurang karena dari data primer yang didapatkan hanya 34 % yang menjawab Ya. <br />Menurut Laode Jumadi Gaffar pencegahan dapat menurunkan faktor resiko penyebab timbulnya penyakit dan perawat harus bertanggung jawab terhadap hal ini. Namun hal ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan anggota masyarakat dalam hal ini pasien dan keluarganya, biasanya pengetahuan itu didapatkan setelah memperoleh pengalaman, misalkan seorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya terkena polio sehingga cacat.<br />3. Diagnosa Dini dan Pengobatan Segera<br />Persaingan didunia kesehatan sekarang ini sangat tinggi dan keperawatan adalah bagian integral dari dunia kesehatan. Dalam hal memperbaiki status kesehatan pasien. Untuk itu perawat harus bisa mengetahui keadaan dan masalah pasien secara utuh dan jelas agar diagnosa dapat ditegakkan sedini mungkin. <br />Menurut Notoatmojo (2003:31) dikarenakan rendahnya pengetahuan pasien dan kesadaran terhadap kesehatan dan penyakit, maka penyakit-penyakit yang terjadi sulit dideteksi, bahkan kadang-kadang sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati penyakitnya hal ini menyebabkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Untuk itu pendidikan kesehatan sangat diperlukan. <br />Untuk tabel ketiga menunjukkan sebagian besar atau rata-rata 78 % menjawab Ya, hal ini menunjukkan pendidikan kesehatan dalam hal mendiagnosa sedini mungkin penting untuk mendapatkan pengobatan dengan segera. Karena hal ini dapat membantu memperbaiki status kesehatan pasien. <br />4. Pembatasan Cacat<br />Kurang pengertian dan kesadaran tentang kesehatan dan penyakit, seringkali mengakibatkan pasien tidak melanjutkan pengobatan sampai tuntas. Pengobatan yang tidak layak dapat mengakibatkan orang bersangkutan cacat atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu.(Notoatmojo 2003:32).<br />Dari data primer tabel keempat didapatkan persentase yang menjawab Ya 80 %. Hal ini menunjukkan persepsi pasien terhadap pendidikan kesehatan dalam hal pembatasan cacat baik, agar orang melakukan langkah-langkah positif dalam mencegah terjadinya sakit, mencegah berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh penyakit, maka pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah pemahaman individu dan masyarakat dibidang kesehatan untuk menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai. <br /><br /><br />5. Rehabilitasi<br />Hasil data primer yang didapatkan hanya 20 % pasien menjawab Ya terhadap pendidikan kesehatan dalam hal rehabilitasi. Keadaan ini menunjukkan kinerja perawat sangat kurang pada saat dimana pasien sudah dianjurkan dokter untuk bisa pulang dan berobat jalan.<br />Biasanya setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu kadang-kadang pasien menjadi cacat dan untuk memulihkan cacatnya diperlukan latihan-latihan tertentu. Dan karena kurangnya pendidikan kesehatan mengenai hal ini, maka pasien tidak atau enggan melakukan latihan-latihan tersebut (Notoatmojo 2003:32)Pendidikan kesehatan bukan hanya proses penyadaran pasien atau pemberian dan peningkatan pengetahuan pasien tentang kesehatan. Tetapi dapat merubah prilaku pasien untuk meningkatkan status kesehatan pasien.<br />Dari hasil penelitian, dimana menunjukkan betapa pentingnya pendidikan kesehatan dalam hal keperawatan untuk meningkatkan status kesehatan pasien untuk itu sejak sekarang sampai seterusnya berilah yang terbaik untuk profesi keperawatan dalam hal pendidikan kesehatan kepada pasien.<br />6. Persepsi Pasien Rawat Inap Terhadap Pendidikan Kesehatan <br />Berdasarkan tabel 6 diatas didapatkan persepsi pasien rawat inap terhadap Pendidikan Kesehatan dari 100 responden (100%) didapatkan persentase rata-rata yang termasuk ketegori baik sebanyak 22 responden (22,0%) sedangkan yang berkategori Kurang sebanyak 78 responden (78,0%). <br />Menurut Notoatmodjo yang dikutip dari Comitte President On Health Education (1977) Pendidikan kesehatan adalah proses yang menjembatani kesenjangan antara informasi kesehatan dan praktek kesehatan yang memotivasi seseorang untuk memperoleh informasi dan berbuat sesuatu sehingga dapat menjaga dirinya menjadi lebih sehat dengan menghindari kebiasaan yang buruk dan membentuk kebiasaan yang menguntungkan kesehatan.<br />Melihat hasil penelitian di atas dapat disimpulkan secara keseluruhan perawat yang ada di puskesmas Kwandang dalam hal pendidikan kesehatan belum diterapkan secara maksimal ini terlihat dengan hasil yang dicapai dimana secara keseluruhan yang lebih mendominasi adalah kategori kurang yakni sebanyak 78% dari 100 orang yang menjadi responden <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN<br /><br />A. Kesimpulan<br />Berdasarkan hasil tabulasi data keseluruhan persepsi pasien rawat inap terhadap pendidikan kesehatan di puskesmas kwandang, yaitu 57,6% sehingga termasuk dalam kategori kurang.<br />B. Saran<br />1. Untuk puskesmas dalam pemberian pendidikan kesehatan hendaknya secara komprehensif dan diupayakan berorientasi pada kebutuhan pasien meliputi, promosi kesehatan, perlindungan khusus, diagnosa dini dan pengobatan segera, pembatasan cacat dan rehabilitasi. Sehingga dapat memperbaiki status kesehatan pasien agar mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif .<br />2. Diharapkan kepada puskesmas kwandang agar lebih meningkatkan kinerja terutama dalam hal pendidikan kesehatan.<br />3. Untuk institusi pendidikan pada mahasiswa Program Study Keperawatan hasil penelitian ini agar dijadikan motivasi dalam meningkatkan mutu pendidikan kesehatan pada keperawatan.<br />4. Selain ini untuk peneliti selanjutnya dalam meneliti perlu dingat adalah Be parsimonius (peneliti harus hemat), Be Creative ( peneliti harus kreatif ), Be logic (peneliti harus berpikir logis), Be realistic ( peneliti harus realitas), Be stupid ( peneliti harus bersifat bodoh untuk mendapatkan hasil penelitian yang benar-benar nyata). <br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Aditama T Jandrayoga. 2003. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. FKUI, Jakarta.<br /><br />Ali Zaidin H. 2001. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Widya Medika, Jakarta.<br /><br />Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Indonesia. Balai Pustaka Jakarta.<br /><br />Gafar La Ode Jumadi. 1999. Pengantar Keperawatan Profesional. EGC Jakarta.<br /><br />Graham R,1999 dalam Munir Kamarulah 2005. (http : //.www.google.com)<br /><br />Hill G, 2000 dalam Munir Kamarullah 2005. (http : //.www.google.com)<br /><br />Machfoedz, I. 2004. Penelitian Deskriptif. Fitramaya, Jogyakarta<br /><br />Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip- Prinsip Dasar. Rineka Cipta. Jakarta.<br /><br /> Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.<br /><br />Nursalam dan Siti Pariani. 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta<br /><br /> Proses Dokumentasi Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta<br /><br />Suliha Uha, dkk. 2003. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. EGC, Jakarta.<br /><br />Wilson D, 2000, dalam Munir Kamarullah, 2005.(http : //.www.google.com) <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />KUISIONER<br />PENTINGNYA PENDIDIKAN KESEHATAN<br />PADA PASIEN RAWAT INAP<br />DI PUSKESMAS KWANDANG<br /><br />Kuisioner ini berisi pernyataan mengenai pentingnya pendidikan kesehatan pada pasien rawat inap di Puskesmas Kwandang. Untuk masing-masing pernyataan mohon tunjukkan dimana anda mempercayai Pelayanan Keperawatan di Puskesmas Kwandang yang memiliki ciri-ciri yangt digambarkan oleh pernyataan di bawah ini :<br />Petunjuk : Mohon kiranya anda memberi tanda silang (X) pada huruf di belakang pilihan yang sesuai dengan pendapat anda.<br />Perhatian : Tidak ada jawaban benar atau salah, yang diperhatikan adalah pilihan yang terbaik yang menunjukkan pemahaman anda tentang Pelayanan Keperawatan di Puskesmas Kwandang.<br /><br />A. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat :<br />1. Setujukah anda di lingkungan anda tinggal diadakan penyuluhan kesehatan ?<br />a. Ya b. Tidak<br />2. Setujukah anda bahwa bentuk pelayanan imunisasi merupakan perlindungan terhadap penyakit anak maupun orang dewasa ?<br />a. Ya b. Tidak<br /><br />3. Setujukah anda di lingkungan anda tinggal diadakan pengobatan penyakit?<br />a. Ya b. Tidak<br />4. Setujukah anda bila di lingkungan anda tinggal dibangun sarana sanitasi lingkungan seperti jamban umum dan tempat sampah ?<br />a. Ya b. Tidak<br />5. Setujukah anda bila setelah sembuh dan pulang ke rumah perawat melakukan kunjungan ke rumah untuk melihat perkembangan kesehatan dan memberi penjelasan cara pemeliharaan kesehatan ?<br />a. Ya b. Tidak<br />B. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok mencapai tujuan hidup sehat :<br />6. Setujukah anda di lingkungan anda tinggal diadakan pendidikan untuk kebersihan perorangan ?<br />a. Ya b. Tidak<br />7. Setujukah anda di lingkungan anda tinggal diadakan pembersihan lingkungan untuk memberantas penyakit-penyakit menular ?<br />a. Ya b. Tidak<br />8. Setujukah anda di lingkungan anda tinggal diadakan pos obat desa dan apotik hidup ?<br />a. Ya b. Tidak<br />9. Setujukah anda bila dilakukan pembinaan terhadap pasangan usia subur dalam hal pemberian imunisasi (Tetanus Toxoid) TT?<br />a. Ya b. Tidak<br />10. Setujukah anda bila diadakan posyandu usia lanjut di lingkungan anda tinggal ?<br />a. Ya b. Tidak<br />C. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada terutama pelayanan rawat inap :<br />11. Setujukah anda bila pasien yang mengalami gangguan sistem pencernaan dan memerlukan tindakan pengembalian cairan (diare) diberikan pelayanan pada rawat inap ?<br />a. Ya b. Tidak<br />12. Setujukah anda bila anak balita yang mengalami gangguan sistem pernapasan (sesak nafas) dirawat pada pelayanan rawat inap ?<br />a. Ya b. Tidak<br />13. Setujukah anda bila pada pelayanan rawat inap ini, perawat jaga melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital paling kurang tiga kali sehari ?<br />a. Ya b. Tidak<br />14. Setujukah anda bila pada saat dirawat, perawat memberikan penjelasan proses terjadinya penyakit, bagaimana caranya bisa sembuh dan bagaimana agar tidak mengalami penyakit yang sama ?<br />a. Ya b. Tidak<br />15. Setujukah anda bila pasien pulang harus sesuai anjuran atau instruksi dokter bisa pulang dan melakukan rawat jalan ?<br />a. Ya b. Tidakmeikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-46017161148043003802010-01-02T01:16:00.000-08:002010-01-02T02:33:36.905-08:00PELAKSANAAN SURVAILANS EPIDEMIOLOGI DALAM UPAYA PENURUNAN PROPORSI PENDERITA KUSTA PADA ANAK DI KOTA GORONTALOBAB I <br />PENDAHULUAN<br />A. Latar Belakang<br /> Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh keluarga, kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan tersebut, salah satu diantaranya yang mempunyai peranan cukup penting adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat yang salah satunya adalah program pemberantasan penyakit kusta dengan menitik beratkan pada penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin. Pemberantasan penyakit kusta dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi melalui pemutusan rantai penularan penyakit, meski disadari bahwa upaya tersebut tidak semudah mengatakannya. Rencana dan pelaksanaannya harus dibuat seefektif mungkin dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas, maupun setiap petugas kesehatan. Jika hanya dilaksanakan secara perorangan, maka upaya pemberantasan penyakit kusta tidak akan dapat berhasil dengan baik (Depkes RI, 2001).<br /> Pemahaman tentang keadaan kesehatan masyarakat adalah syarat mutlak bagi suatu perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan yang baik, melalui pendekatan epidemiologis. Pendekatan epidemiologis berguna untuk pemantauan dan pengambilan keputusan-keputusan tindak lanjut, upaya pemberantasan penyakit kusta disamping aspek pendekatan survailans epidemologi juga aspek perencanaan merupakan hal penting dalam menentukan ukuran keberhasilan suatu program pemberantasan penyakit menular (Depkes RI, 2001).<br /> Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja (Depkes RI, 2004).<br /> Pada umumnya penyakit Kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius (Depkes RI, 2007).<br />Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemis yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate <1/10.000> 1 per 10.000 penduduk (23,1% per 10.000 penduduk) yang tertinggi Puskesmas Dulalowo yaitu 6,5% per 10000 penduduk. <br />3 . Masih adanya stigma di masyarakat yang tinggi<br />4. Pemeriksaan kontak, baru mencapai 41,1% sehingga cacat tingkat 2 meningkat menjadi 5,2%.<br /> Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa yang melakukan kegiatan penemuan penderita kusta pada anak adalah 22,9% mengatakan penemuan penderita dilakukan oleh dokter, 17,1% dilakukan oleh petugas kusta dan petugas survailens dan seluruh tenaga medis 42,9%.<br /> Untuk meningkatkan cakupan penemuan penderita kusta pada anak maka di butuhkan kerja sama lintas sektor dan lintas program, karena tanpa adanya kerja sama tersebut maka upaya yang dilakukan tidak akan optimal karena adanya keterbatasan biaya dan tenaga pelaksana sehingga kegiatan ini hanya dilakukan secara aktif maupun pasif saja.<br />2. Kegiatan pencatatan<br /> Pencatatan adalah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan untuk tahun berikutnya maka pencatatan yang akurat sangat dibutuhkan. Pencatatan yang baik dapat dijadikan sumber informasi epidemiologi yang akurat, lengkap dan tepat waktu sebagai dasar pengambilan keputusan, selain itu kelengkapan data dapat digunakan oleh petugas untuk melihat waktu dan kapan terjadi peningkatan kasus sehingga sedini mungkin dapat dilakukan tindakan pencegahan dan untuk menjaga tidak sampai terjadi kecacatan.<br /> Tabel 4.4 terlihat bahwa 85,7% dari 35 responden melakukan kegiatan pencatatan lengkap di mana responden telah melakukan pencatatan sesuai dengan format yang telah di berikan oleh Dinas Kesehatan dan di isi sesuai dengan petunjuk program penyakit kusta sedangkan 14,3% masih melakukan pencatatan tidak lengkap karena hanya mengisi register sesuai format yang telah diberikan namun sistem pengisiannya tidak sesuai dengan kebutuhan program.<br /> Kegiatan pencatatan meliputi pengisian kartu penderita, mengisi kartu monitoring pengobatan MDT, mencatat penemuan kasus, membuat laporan bulanan, analisis data dan pengambilan keputusan dan tindak lanjut.<br /> Pada lampiran 4 terlihat bahwa dari 7 Puskesmas Di Kota Gorontalo ada 3 Puskesmas yang belum melaksanakan kegiatan pencatatan secara lengkap yakni Puskesmas dungingi 2 responden, Puskesmas wonggaditi 1 responden dan Puskesmas dulalowo 1 responden, seharusnya hal ini sudah tidak terjadi lagi dikarenakan sudah ada perkembangan sistem informasi survailens epidemiologi penyakit kusta dan sudah adanya pembagian tugas masing-masing, sehingga petugas tidak kerja rangkap.<br /> Kegiatan pencatatan seharusnya dilakukan oleh Petugas Survailens dan Petugas kusta karena pencatatan lebih akurat dibandingkan pencatatan dilakukan oleh dokter. Pencatatan yang tidak lengkap maka petugas pun tidak optimal untuk melakukan kegiatan pencegahan karena tidak di dukung oleh data yang akurat, namun demikian secara umum petugas sudah melakukan pencatatan dengan baik.<br /> Haris Ahmadong (2008) menyatakan bahwa setelah melakukan penelitian tentang kegiatan pelaporan penyakit kusta di Kota Gorontalo dari 14 responden 8 responden yang melakukan pencatatan secara lengkap sedangkan 6 responden melakukan pencatatan tidak lengkap. Hal ini diakibatkan masih adanya petugas yang belum melakukan pencatatan secara lengkap diakibatkan oleh informasi dari penderita yang diberikan pada saat pemeriksaan kurang lengkap, penemuan kasus kadang tidak tercatat, cara menganalisis data tidak sempurna.<br /> Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa mereka senantiasa mendapatkan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kota setiap 3 bulan yaitu pada saat bimbingan teknik yang dirangkaikan dengan evaluasi kegiatan lainnya. Dalam pembinaan tersebut apabila ditemukan kegiatan pencatatan yang tidak lengkap hanya diberikan teguran secara lisan saja sehingga petugas sering lupa melaksanakan pencatatan yang baik dan masalah tersebut selalu terjadi. Diharapkan dengan adanya pencatatan yang baik maka sistem pemantauan perbulan bahkan pertahun dapat berjalan dengan baik.<br />3. Pelaporan<br /> Pelaporan adalah penyampaian hasil-hasil kegiatan pelaksanaan program (P2 Kusta) di suatu wilayah kerja yaitu laporan bulanan menurut waktu, tempat dan orang yang di kirim laporannya ke Dinas Kesehatan Kota beserta tembusannya paling lambat tanggal 5 pada bulan berukutnya, keterlambatan pengiriman laporan dikarenakan pencatatan yang tidak lengkap.<br /> Pada Tabel 4.6 terlihat presentasi yang membuat laporan sesuai petunjuk program yaitu sebesar 100%, atau semua petugas yang dijadikan sampel selalu mengirimkan laporan paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya. Laporan yang terlambat di kirim ke Dinas Kesehatan Kota dan istansi terkait maka petugas akan mendapatkan teguran secara lisan maupun tulisan dengan konsekwensi terlambat menerima gaji bulanan.<br /> Apabila pembuatan pengiriman laporan bulanan tepat waktu maka pihak Dinas Kesehatan Kota dapat membantu melakukan pemantauan berdasarkan data yang terkirim sehingga kegitan pencegahan dan penemuan penderita seidini mungkin dapat dilakukan dengan kerja sama pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas melalui laporan yang ada.<br /> Pelaporan kasus merupakan informasi utama yang berkaitan dengan diagnosis dan frekuensi kasus dan informasi tambahan yang mungkin di butuhkan untuk beberapa hal berikut yaitu nama, usia, pekerjaan, pengobatan bagi mereka yang membutuhkan tindak lanjut (H,Morrow).<br /> Untuk kasus kusta pada anak berdasarkan pedoman penyelenggaraan survailens epidemiologi walaupun tidak terdapat kasus tetap harus dilaporkan atau biasa di sebut dengan zero repord atau laporan nihil sehingga dapat diketahui waktu dan kapan ditemukannya penderita kusta baru pada anak.<br />4. Pemantauan<br /> Pemantauan adalah merupakan kegiatan lanjutan setelah pembuatan laporan bulanan menurut waktu, tempat dan orang. Pemantauan dapat dilakukan dengan membuat pemantauan wilayah setempat (PWS) bulanan sehingga dapat diketahui bulan keberapa terjadi peningkatan kasus sehingga sedini mungkin dapat dilakukan upaya untuk mencegah penyakit tersebut.<br /> Kegiatan ini berguna untuk mengetahui sejauh mana petugas berperan aktif dalam melakukan survey penderita yang dapat dilakukan perbulan, triwulan bahkan pertahun. Pemantauan ini diperlukan untuk mengetahui adanya penemuan penderita baru khususnya penderita kusta pada anak. Karena penyakit kusta biasanya di kenal fenomena gunung es (mountain fenomenol), sehingga penderita yang dapat dideteksi adalah penderita dengan kecacatan tingkat 2 sedangkan penderita yang suspek kusta banyak yang belum ditemukan oleh karena itu harus dilakukan pemantauan oleh petugas dan survey aktif di sekolah-sekolah.(Watson 1998).<br /> Dari hasil penelitian tentang kegiatan pemantauan penderita kusta pada anak pada tabel 4.7 terlihat bahwa 82, 9% dari 35 responden melakukan kegiatan pemantauan karena telah melaksanakan sesuai ketentuan program yakni dilakukan per triwulan berdasarkan waktu, tempat, dan orang dengan cara membuat pemantauan wilayah setempat, sedangkan 17,1% yang tidak melakukan pemantauan dengan baik.<br /> Akibat dari kegiatan pemantauan yang demikian ini akan mengakibatkan peningkatan kasus yang pada akhirnya ditemukan nanti sudah pada tahap kecacatan tingkat I maupun kecacatan tingkat II, sehingga sesuai dengan indikator kinerja program kusta yaitu proporsi penderita kusta pada anak harus di bawah dari 5% dan proporsi cacat tingkat II di bawah dari 5% pada tahun 2010.<br /> Pada tabel 4.7 terlihat dari 7 Puskesmas terdapat 4 Puskesmas yang tidak melaksanakan pemantauan dengan baik yakni Puskesmas Tamalate 3 responden, Puskesmas Dungingi 3 responden, Puskesmas Dulalowo 2 responden, Puskesmas Wonggaditi 2 responden. Hal ini karena petugas hanya melaksanakan kegiatan pemantauan setiap 6 sekali itupun apabila ditemukan kasus berdasarkan laporan yang ada, padahal sebaiknya kegiatan ini dilaksanakan perbulan atau per triwulan mengingat bahwa penyakit kusta adalah penyakit kronik yang penularannya membutuhkan waktu yang cukup lama.<br /> Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program kusta di salah satu Puskesmas, dikatakan bahwa cara mereka memantau yaitu hanya dengan menghitung terlebih dahulu prevalensi penderita kusta pada anak dan setelah itu melaksanakan sosialisasi ke sekolah-sekolah SD di wilayah setempat, survei kontak dan lingkungannya. Sehingga penderita tidak mendapatkan penanganan dan pengobatan secara cepat dan tepat.<br />5. Evaluasi<br /> Evaluasi adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas survailens untuk melihat tingkat keberhasilan program, hambatan program dan sebagai bahan perencanaan untuk kegiatan berikutnya bagi Puskesmas maupun Dinas Kesehatan yang dilaksanakan setiap 3 bulan. Evaluasi dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu menilai jenis kegiatan program yang berhasil di capai yang kedua melihat apakah ada perbaikan indikator status kesehatan khususnya bagi penderita kusta yang menjalani pengobatan apakah telah mencapai tingkat kesembuahn atau RFT.<br /> Tabel 4.8 terlihat bahwa dari 35 responden yang menjadi sampel 100% melakukan kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi dilaksanakan setiap 3 bulan sekali yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan dengan melibatkan semua Puskesmas dan jabatan struktural yang ada di Dinas Kesehatan, namun pelaksanaan solusi hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti oleh pelaksana program dan lintas program terkait.<br /> Pada lampiran 8 terlihat seluruh Puskesmas telah melaksanakan kegiatan evaluasi dengan baik, sehingga di harapkan kegiatan-kegiatan yang mengalami hambatan dapat dicarikan solusi untuk perbaikan pada kegiatan berikutnya.<br /> Apabila kegiatan evaluasi dilaksanakan dengan baik maka segala hambatan dalam pelaksanaan program akan diketahui dan diberikan solusi pemecahannya, sehingga upaya untuk menurunkan proporsi penderita kusta pada anak dibawah dari 5% dapat tercapai. Dari hasil penelitian tentang penyebab meningktanya jumlah kasus kusta pada anak disebabkan karena pelaksanaan survailens epidemiologi oleh petugas survailens yang di beberapa Puskesmas se Kota Gorontalo belum melaksanakan sesuai dengan petunjuk dari Dinas Kesehatan.<br /> Dalam pencapaian program perlu adanya kerja sama dengan pemerintah setempat dalam pengadaan biaya, oleh karena itu pemerintah setempat telah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan leprocy elimination Campaigh atau kampanye pencarian penderita mulai dari tahun 2005, atau dapat di lihat pada grafik di bawah ini :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Sumber : Data Sekunder<br />Grafik 4.4 Prosentase perkembangan dana program kusta melalui APBD 2 <br />Kota Gorontalo<br /> Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Gorontalo (Riskesda) bahwa tidak semua indikator status kesehatan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status kesehatan tersebut dikumpulkan dalam data Riskesda. Indikator yang di ukur hanya masalah kesehatan yang berbasis masyarakat yaitu seperti kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan, penyakit tidak menular dan penyakit menular seperti kusta, malaria, ispa dll. Tujuan Riskesdas adalah menyediakan data yang evidence based untuk perencanaan kesehatan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.selain itu Riskesdas memahami konsep kerugian ekonomi (economic loss) yang akan membuat kita sadar betapa pentingnya program kesehatan untuk diberikan porsi anggaran yang proporsional untuk mencegah terjadinya penyakit dan disability. World Health Organization (WHO)<br /> Dengan adanya Riskesdas perencanaan berbasis bukti akan semakin tajam bila keterwakilan data dasarnya sampai tingkat kecamatan. Berarti penyebaran data bukan hanya dari pihak Provinsi ke Kabupaten/Kota tetapi harus mencakup wilayah Kecamatan maupun Desa/Kelurahan.<br /> Seperti halnya penyakit kusta, untuk mencapai target eliminasi tahun 2010 maka diperlukan data Riskesdas yang dapat dijadikan satu acuan sebagai dasar pengambilan keputusan dan penyebarluasan informasi serta menyediakan porsi anggaran untuk upaya pencegahan (RISKESDA, 2007).<br />BAB V<br />PENUTUP<br />A. Simpulan<br /> Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan atas data yang di kumpulkan dapat disimpulkan :<br />1. Penemuan penderita yang dilaksanakan oleh dokter yaitu 22,9%, petugas survailens 17,1%, petugas kusta 17,1% dan semua paramedis 42,9%, sedangkan petugas yang melaksanakan kegiatan penemuan penderita secara aktif dan pasif yaitu 48,6% dan secara aktif maupun pasif yaitu 45,7% dengan alasan bahwa penemuan penderita harus dilaksanakan oleh pemegang program, alasan lain yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit kusta pada anak khususnya bagi para orang tua, diharapkan agar masyarakat yang berperan aktif apabila terdapat suspek kusta segera di bawa ke Puskesmas untuk diperiksa dan dikonsultasikan<br />2. Pencatatan<br /> Pelaksanaan pencatatan yang dilakukan oleh dokter yaitu 11,4%, petugas kusta 11,4%, petugas survailens 57,1% dan yang mengatakan pencatan dapat dilakukan oleh dokter dan petugas survailens yaitu 20%. Petugas yang melaksanakan pencatatan lengkap yaitu 58,7% dan tidak lengkap yaitu 14,3%, dengan alasan bahwa data bisa dikumpulkan dulu baru dilakukan pencatatan sehingga waktu untuk mengoptimlakan kegiatan ini tidak tercapai.<br />3. Pelaporan<br /> Kegiatan pelaporan penderita kusta (anak) adalah 100% yang membuat laporan sesuai dengan petunjuk program, dengan alasan bahwa apabila tidak membuat laporan dan mengirimkan laporan ke Dinas Kesehatan paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya maka akan dikenai sangsi penahanan gaji sampai laporan masuk.<br />4. Pemantauan<br /> Pemantauan program yang dilakukan oleh petugas survailens dan petugas kusta yaitu 82,9% dari 35 responden melakukan kegiatan pemantauan sedangkan 17,1% tidak melakukan pemantauan dengan baik dengan alasan peningkatan kasus dapat di lihat dengan menghitung terlebih dahulu prevalensi penyakit kusta.<br />5. Evaluasi<br /> Kegiatan evaluasi adalah semua petugas (100% ) melaksanakan kegiatan evaluasi yang dilakukan di Dinas Kesehatan setiap 3 bulan dengan melibatkan kerja sama lintas program.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />B. Saran<br /> Berdasarkan hasil uraian diatas maka disarankan :<br />1. Dalam penemuan penderita petugas seharusnya lebih meningkatkan kegiatan On The Job Training atau sosialisasi sampai ke tk. Masyarakat dan kader kesehatan dan meningkatkan kegiatan aktif (survey kontak).<br />2. Dalam pelaksanaan kegiatan perlu kerja sama lintas program maupun lintas sektor sehingga dapat tercapai ADEK yaitu aliansi daerah eliminasi kusta.<br />3. Pembinaan petugas survailens perlu ditingkatkan terutama yang menyangkut koreksi terhadap pelaksanaan kegiatan program yang tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program sehingga kegiatan penemuan penderita, pencatatan dan pelaporan, pemantauan dan evaluasi program dapat dilaksanakan dengan baik.<br />4. Lebih mengintensifkan penyuluhan tentang tanda-tanda dini penyakit Kusta<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Abdul Hakim Buraerah, 2003,Rancangan Sampel, Makassar, Universitas Hasanuddin<br />Ahmadong,H, 2008, Evaluasi program penyakit kusta Di Kota Gorontalo, Skripsi, FKM UG<br /><br />Bustan M.N. 1996, Pengantar Epidemiologi, Makassar, Universitas Hasanuddin<br />Depes R.I, 2001, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XIV. Jakarta<br /><br /> , 2002, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVI, Jakarta .<br /><br /> , 2003, Ilmu Kesehatan Masyaraka, Jakarta, Rineka Cipta<br /> , 2004, Kantong Penderita Kusta dan Lepropobia, Jakarta .<br /> , 2004, Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, Jakarta .<br /> , 2007, program penanggulangan penyakit kusta, Jakarta<br />Depkes RI, 2007, Laporan Riset Kesehatan Dasar/Laporan Gorontalo. http,www,litbang, depkes,go.id. diakses tanggal 28 Mei<br /><br />Dinas Kesehatan Kota Tahun 2007, Profil Dinas Kesehatan Kota . Gorontalo<br />Haluti, W. 2008, Pelaksanaan survailens epidemiologi DBD, Skripsi, FKM UG.<br />I.F, Setyadi, 1995, Surveilens Epidemiologi Dalam Upaya Pemberantasan Penyakit Menular, Direktorat.Epidemiologi penyakit, Jakarta<br /><br />Kepmenkes, 2003, Pedoman Penyelenggaran Sistem Survailans Epidemiologi Kesehatan, jakarta<br /><br />Morrow, H, 1997, Panduan Epidemiologi BagiPengelola Kesehatan Kabupaten/Kota, ITB, Bandung.<br /><br />Murti B, 1997, Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta Gajah Mada<br />Nasry Noer Nur, 1998, Surveilens Epidemiologi, Makassar, Universitas Hasanuddin<br />Notoatmodjo, S, 2002, Pengantar Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta; Rineka Cipta<br /><br /> , 1997, Ilmu Kesehatan Masyarakat,Jakarta ; Rineka Cipta<br />PLKN Makasar 2002, Modul 1 Epidemiologi Dan Program P2 Kusta Bagi Petugas Dan Pengelola Program P2 Kusta, Makassar<br /><br />Pratikya,W, 2004, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Grafindo Persada, Bandung.<br /><br />Sugiyono, 2003, Statistika Penelitian , Bandung, Alfabeta.<br /><br /> , 2002, Metodologi Penelitian Administrasi, Bandung CV Alfabeta<br /> , 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung, Alfabeta<br /><br />Sumarmo, 2002, Pemberantasan Penyakit Menular, Jakarta, Gramedia<br />Tim Penyusun, 2008, Pedoman Penulisan Skripsi, FKM UG.<br /><br />Zoleh Zanbar, 2005, Ilmu Statistika,, Bandung, Rekayasa Sains<br />WHO, 2006, Global strategy for reducing leprosy burden, New Delhi, Operasionalmeikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3387326737548200374.post-87154977989994277682010-01-02T01:08:00.000-08:002010-01-02T02:36:11.669-08:00FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKAMBUHAN PENYAKIT REUMATIK DI WILAYAH PUSKESMAS ANGGREK KABUPATEN GORONTALO UTARABAB I<br />PENDAHULUAN<br />A. Latar Belakang<br /> Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang hidup dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah republik Indonesia. Perilaku Masyarakat Indonesia Sehat 2010 adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Depkes, 1999).<br /> Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan melalui upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seiring dengan peningkatan penderita penyakit degeneratif yang semakin meningkat termasuk penyakit Reumatik. Reumatik yang sering di sebut Arthritis adalah penyakit yang paling demokratis di dunia karena untuk skala dunia arthritis di derita oleh hampir satu milyar orang (Gordon, 1997).<br /> Tingkat pengenalan dan pengetahuan reumatik memang masih dirasa sangat kurang, baik pada masyarakat awam maupun kalangan medis. Di Eropa sebagaimana dilakukan wawancara European Publik Opinion survey ternyata sebanyak 55% penduduk tidak menyadari kalau penyakit reumatik dapat mengurangi harapan hidup penderita (Junaidi, 2006).<br /> Reumatik merupakan suatu penyakit yang menyerang sendi, mengenai siapa saja yang rentan terkena penyakit reumatik, hal itu tentu saja tergantung pada jenis reumatik. Banyak macam penyakit yang memperlihatkan gejala reumatik tergantung pada penyakit yang mendasari. Secara umum penderita reumatik akan merasa nyeri pada sendi dan tulang dan biasanya mulai terjadi pada usia pertengahan (Junadi, 1999).<br /> Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya, tetapi bila diserang penyakit akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha untuk mencari pelayanan kesehatan termasuk masyarakat yang menderita penyakit reumatik.<br /> Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada enam bulan pertama terserang, cacat terjadi setelah dua sampai tiga tahun bila tidak di obati. Sekitar 40% penduduk Indonesia berusia di atas 40 tahun mempunyai keluhan nyeri sendi dan otot kendati demikian reumatik bukanlah penyakit monopoli orang dewasa karena penyakit ini juga dapat menyerang anak-anak dengan gejala serupa (Isbagio, 2007).<br /> Data dari Dinas kesehatan Kabupaten Gorontalo utara selang tahun 2008 menunjukan bahwa penyakit reumatik menempati urutan ke 5 dari 10 penyakit menonjol yang ada, dengan distribusi total kunjungan 537 orang atau rata-rata jumlah frekuensi kunjungan 45 orang penderita reumatik perbulan yang berkunjung rawat jalan di puskesmas se Kabupaten Gorontalo utara. <br /> Data yang di peroleh dari Buku Register kunjungan pasien rawat jalan Puskesmas Anggrek selang tahun 2005 sampai dengan Bulan Desember tahun 2008 ternyata salah satu penyakit yang menonjol di kecamatan Anggrek adalah penyakit reumatik dengan distribusi jumlah kunjungan per Bulan rata-rata berjumlah 24 Penderita (12,97%) dari total kunjungan pasien rawat jalan di Puskesmas dengan jumlah rata-rata 185 orang perbulan dan total penderita dengan gejala reumatik yang berkunjung sejak tahun 2005 sampai dengan akhir bulan desember 2008 berjumlah 114 0rang. <br /> Masalah penyakit reumatik yang banyak terjadi di masyarakat di mana mereka kurang memahami pencarian pelayanan kesehatan yang moderen untuk mendapatkan pengobatan, masyarakat lebih cenderung mengobati sendiri dengan mengkonsumsi obat bebas, jamu serta mencampurnya tanpa mencari pelayanan kesehatan yang tepat sehingga risiko terjadinya kekambuhan penyakit reumatik dapat terjadi. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara pada pasien yang menderita reumatik yang berkunjung ke Puskesmas Anggrek, rata-rata masyarakat lebih banyak menggunakan obat yang dijual bebas dari pada mencari pelayanan kesehatan, juga dipengaruhi oleh jarak pelayanan kesehatan dengan masyarakat yang cukup jauh.<br /><br /> Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan Penyakit Reumatik” di Wilayah Puskesmas Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.<br />B. Rumusan Masalah<br /> Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalah, "Faktor-faktor apakah yang Berhubungan dengan Kekambuhan Penyakit Reumatik?<br />C. Tujuan Penelitian<br />1. Tujuan umum<br /> Mengetahui Faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan Penyakit Reumatik. <br />2. Tujuan khusus<br />a. Mendapatkan gambaran mengenai faktor Umur dengan kekambuhan penyakit reumatik.<br />b. Mendapatkan gambaran mengenai faktor Jenis kelamin dengan kekambuhan penyakit reumatik<br />c. Mendapatkan gambaran mengenai faktor pekerjaan dengan kekambuhan penyakit reumatik<br />d. Mengetahui hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik.<br />e. Mengetahui hubungan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik.<br /><br />D. Manfaat Penelitian<br />1. Penelitian ini dapat memberikan masukan pada pihak Puskesmas untuk dapat mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan.<br />2. Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi berbagai pihak untuk dapat lebih memahami faktor-faktor yang menjadi pemicu terjadinya kekambuhan penyakit reumatik agar lebih bertindak preventif terhadap kemungkinan terjadi suatu penyakit lebih khusus kekambuhan penyakit reumatik<br />3. Masyarakat dapat mengetahui tempat pencarian pelayanan kesehatan yang tepat agar kekambuhan penyakit reumatik jarang terjadi.<br />4. Masyarakat dapat mengetahui pola/kebiasaan mengkonsumsi makanan yang baik agar kekambuhan penyakit reumatik jarang terjadi.<br />5. Penelitian ini menjadi acuan untuk peneliti selanjutnya dalam mengkaji lebih luas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan penyakit reumatik.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS<br />A. Kajian Pustaka<br />1. Konsep perilaku<br />a. Definisi<br /> Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makluk hidup) yang bersangkutan, jika di tinjau dari segi biologis (Sunaryo, 2004). Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian ini dapat di simpulkan bahwa yang di maksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat di amati langsung, maupun yang tidak dapat di amati oleh pihak luar (Notoatmojdo, 2003).<br /> Skiner (1983) seorang ahli psikologi dalam Notoatmojdo (2003), menyatakan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Skiner membedakan adanya dua respons :<br />1) Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertenru. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.<br />2) Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian di ikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat di bedakan menjadi dua :<br />a) Perilaku tertutup (cover behavior)<br /> Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat di amati secara jelas oleh orang lain.<br />b) Perilaku terbuka (overt behavior)<br /> Respons terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat di amati atau di lihat oleh orang lain<br />b. Perilaku Kesehatan<br /> Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dann penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:<br />1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek.<br />2) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.<br />3) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.<br />4) Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman.<br />5) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,atau sering di sebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).<br /> Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.<br /> <br />6) Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya.<br />c. Domain perilaku<br /> Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor¬faktor lain dari orang yang bersangkutan Notoatmodjo (2003). Menurut Bloom yang di paparkan oleh Notoatmodjo (1997), perilaku manusia dapat di bagi ke dalam tiga domain. Pengukuran domain perilaku :<br />1) Cognitive domain, diukur dari knowledge (Pengetahuan)<br />2) Affective domain, di ukur dari attitude (Sikap)<br />3)Psychomotor domain, di ukur dari psychomotor/practice (Keterampilan) (Sunaryo, 2004).<br />d. Health Belief Model<br /> Becker (1979) sebagaimana dikutip Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan dan sikap. Secara khusus bahwa persepsi seseorang tentang kerentanan dan kemujaraban pengobatan dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku kesehatannya ditentukan oleh :<br />1) Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan <br />2) Menganggap serius masalah <br />3) Yakin terhadap efektivitas pengobatan <br />4) Tidak mahal <br />5) Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan<br />2. Perilaku Masyarakat Sehubungan dengan Pelayanan Kesehatan<br /> Menurut Notoatmojo (2003), bahwa Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit (desease but no illness) sudah tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :<br />a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action). Alasannya antara lain bahwa kondisi demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-¬hari, mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun gejala di deritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain yang di anggap lebih penting dari pada mengobati sakitnya. Hal ini merupakan bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupanya. Alasan lain yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang di perlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes tidak responsif dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya dan sebagainya.<br />b. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan-alasan yang sama telah di uraikan, alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya kepada diri sendiri. Dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman-pengalaman yang usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak di perlukan.<br />c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih sederhana, masalah sehat sakit adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguan fisik.. Identik dengan itu pencarian perngobatanpun lebih berorientasi pada sosial budaya masyarakat dari pada hal-hal yang di anggapnya masih asing.<br />d. Berobat ke dukun (bermacam-macam dukun) yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian dari masyarakat, berada di tengah-tengah masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.<br />e. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop ) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat¬obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol. Namun demikian sampai sejauh ini pemakaian obat-obat bebas oleh masyarakat belum mengakibatkan masalah yang serius. Khusus mengenai jamu sebagai sesuatu untuk pengobatan (bukan hanya untuk pengobatan saja) makin tampak peranya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam. <br />f. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan moderen yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas dan rumah sakit. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan moderen yang diselenggarakan oleh dokter praktik (private medicine).<br /> Upaya kesehatan perorangan di puskesmas terkait dengan perilaku sakit dan perilaku pencarian pengobatan pada orang sakit. Pengertian sakit (illness) berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang, sedangkan penyakit (disease) berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis profesi kesehatan. Sakit belum tentu karena penyakit, tetapi selalu mempunyai relevansi psikososial, perilaku sakit adalah setiap kegiatan yang dilakukan orang sakit untuk menjelaskan keadaan kesehatannya dan mencari sumber pengobatan yang sesuai (Rosenstock, 1974). <br /> Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003), membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membedakannya menjadi tiga, yaitu : <br />a. Perilaku sehat (healthy behavior) <br /> Perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, yaitu :<br />1) Makan dgn menu seimbang<br />2) Olah raga teratur<br />3) Tidak merokok<br />4) Tidak minum alkohol<br />5) Cukup istirahat<br />6) Mengendalikan stress<br />7) Pola hidup positif, misalnya menyesuaikan diri dengan lingkungan (stick to one partner)<br />b. Perilaku Sakit (illness behavior)<br />Berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan.<br />c. Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)<br />Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran (roles), yang mencakup hak-haknya (rights), dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation), hak dan kewajiban orang yang sedang sakit merupakan perilaku peran orang sakit (the sick role behavior).<br /> Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat sakit adalah berbeda dengan konsep kita tentang sahat sakit itu. Demikian juga persepsi sehat sakit antara kelompok-kelompok masyarakat pun akan berbada-beda pula.<br /> Persepsi masyarakat terhadap sehat sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang di berikan.<br /> Bila persepsi sehat sakit masyarakat sudah sama dengan pengertian kita, maka kemungkinan besar fasilitas yang di berikan akan mereka pergunakan.<br /> Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas perlu ditunjang dengan adanya penelitian-penelitian sosial budaya masyarakat, persepsi dan perilaku masyarakat tersebut terhadap sehat sakit. Bila diperoleh data bahwa masyarakat masih mempunyai persepsi terhadap sehat sakit itu untuk melalui pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan demikian pelayanan yang kita berikan akan diterima oleh masyarakat.<br />3. Konsep Kerangka Kerja Pelayanan Kesehatan<br /> Sebelum mulai membahas kedua model utama dan kecenderungan dalam menggunakan pelayanan kesehatan, kita harus memilki pengertian tentang apa yang kita maksudkan dan bagaimana kita akan mengukur pelayanan kesehatan ini. Untuk mempunyai pengertian pelayanan kesehatan, kita akan memperhatikan konsep kerangka kerja utama dari pelayanan¬-pelayanan kesehatan tersebut.<br /> Pada prinsipnya ada dua kategori pelayanan kesehatan, yaitu:<br />a. Kategori yang berorientasi pada publik (masyarakat)<br />b. Kategori yang berorientasi pada perorangan (pribadi).<br />Pelayanan kesehatan masyarakat lebih diarahkan langsung ke arah publik dari pada ke arah individu-individu yang khusus. Dilain pihak pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung ke arah individu. Seperti kebanyakan pengobatan, pelayanan kesehatan ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual consumer). Studi tentang pelayanan kesehatan dikaitkan dengan penggunaan pelayanan kesehatan pribadi.<br />4. Konsep Dasar Penyakit Reumatik<br /> Penyakit reumatik merupakan penyakit yang selain menyerang sendi juga dapat menyerang organ atau bagian tubuh lainnya, secara umum definisi reumatik adalah penyakit yang menyerang sendi (Junaidi, 2006).<br /> Penyakit reumatik yang sering disebut artritis (radang sendi) dan dianggap sebagai satu keadaan sebenarnya terdiri dari seratus tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini terutama mengenai otot-otot skelet, tulang, ligamentum, tendon, dan persendian pada laki-laki maupun wanita dengan segala usia (Brunner dan Suddarth, 2002).<br /> Banyak macam penyakit yang memperlihatkan gejala reumatik, tergantung pada penyakit yang mendasarinnya. Berikut berbagai penyakit yang menimbulkan gejala reumatik :<br />a. Osteoartritis<br />1). Definisi<br /> Osteoartritis merupakan penyakit artritis degeneratif atau penyakit sendi degeneratif atau artritis hipertropik yaitu suatu penyakit sendi menahun yang di tandai dengan adanya kemunduran pada tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang di dekatnya, disertai pembentukan dari tulang baru dan jaringan lunak didalam dan sekitar sendi bersangkutan (Mansjoer, dkk.2000).<br /> Osteoartritis di kelompokan menjadi:<br />a) Osteoartritis primer, jika penyebabnya tidak diketahui<br />b) Osteoartritis sekunder jika penyebabnya adalah penyakit lain.<br />2). Etiologi<br /> Etiologi penyakit ini tidak diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, yaitu : <br />a) Usia lebih dari 40 tahun<br />b) Jenis kelamin wanita lebih sering<br />c) Suku bangsa<br />d) Genetik<br />e) Kegemukan dan penyakit metabolik <br />f) Cedera sendi, pekerjaan, dan olah raga <br />g) Kelainan pertumbuhan<br />h) Kepadatan tulang, dan lain-lain.<br />3). Patofisiologi<br /> Akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makro molekul matriks tulang rawan sendi terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi secara progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi serta tepi sendi. Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.<br />4). Manifestasi klinis<br /> Gejala utama ialah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan. Lebih lanjut lagi terdapat pembesaran sendi dan krepitasi tulang.<br /> Tanda-tanda peradangan pada sendi tersebut tidak menonjol dan timbul belakangan, mungkin dijumpai karena sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan.<br />5). Penatalaksanaan<br />a) Terapi obat<br />(1) Salisilat dosis rendah : empat sampai dengan enam kali lima ratus miligram sehari.<br />(2) Obat NSAIDs lainnya, seperti parasetamol, dihydrocodein, dan dextropropoxyphene.<br />(3) Jika nyeri hebat mungkin terdapat inflamasi sehingga perlu diberikan analgetik anti inflamasi non steroid. <br />b) Terapi Non obat<br />Ada beberapa terapi nonobat<br />(1) Istirahat dan menghindari trauma yang berulang<br />(2) Alat bantu sendi dan alat bantu jalan<br />(3) Mengurangi diet, jika penderitanya gemuk<br />(4) Fisioterapi : olahraga yang tepat (termasuk peregangan dan penguatan) akan membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi dan kekuatan otot-otot disekitarnya sehingga otot menyerap benturan dengan lebih baik. Dianjurkan untuk menggunakan kursi dengan sandaran yang keras, kasur yang tidak terlalu lembek, dan jika penyakitnya berat, bisa digunakan penopang punggung. Tetap melakukan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari, sangatlah penting,<br />(5) Terapi fisik : terapi fisik yang sering dilakukan adalah dengan pemanasan. Untuk nyeri pada jari tangan dianjurkan merendam tangan dalam campuran paraffin panas dengan minyak mineral pada suhu 47,5-52° celsius atau mandi dengan air hangat.<br />b. Artritis Rematoid<br />1). Definisi<br /> Artritis rematoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif yang cenderung untuk menjadi kronis dan mengenai sendi dan jaringan lunak. Artritis rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi. Karakteristik Artritis Rematoid adalah radang cairan sendi yang persisten, biasanya mengenai sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang simetris. Artritis Rematoid merupakan penyakit multisistem yang kronis karena dapat menyebabkan sejumlah gejala diseluruh tubuh, dengan manifestasi sistemik yang bervariasi. Artritis Rematoid menyerang semua orang dan ras. Serangan Artritis Rematoid pertama kali muncul pada usia 25 sampai 50 tahun, tetapi sebetulnya bisa terjadi pada semua usia. Kejadian pada wanita yang berumur 60 tahun enam kali lipat lebih besar dibandingkan dengan wanita usia muda, dan ditemukan diseluruh dunia. Penyakit ini terjadi pada sekitar satu persen (antara 0,3-2,1%) dari jumlah penduduk, dan wanita dua sampai tiga kali lebih sering dibandingakn pria. Semakin bertambah usia, prevalensinya semakin meningkat, dan pada usia yang lebih tua kejadian pada wanita tidak berbeda dengan pria. Yang merupakan faktor risiko Artritis Rematoid adalah faktor genetik, lingkungan, hormonal dan infeksi.<br />2). Etiologi<br /> Penyebab Artritis Rematoid belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan karena mikoplasma, virus, dan sebagainya. Namun semuanya belum terbukti. Berbagai faktor termasuk kecenderungan genetik, bisa mempengaruhi reaksi autoimun. Bahkan beberapa kasus Artritis Rematoid telah ditemukan berhubungan dengan keadaan stres yang berat, seperti tiba-tiba kehilangan suami atau istri, kehilangan satu¬-satunya anak yang disayangi, hancurnya perusahaan yang dimiliknya dan sebagainya.<br /> Pada peradangan kronis membran sinovial mengalami pembesaran (Hipertrofi) dan menebal sehingga terjadi hambatan aliran darah yang menyebabkan kematian (nekrosis) sel dan respon peradangan pun berlanjut. Sinovial yang menebal kemudian dilapisi oleh jaringan granular yang disebut panus. Panus dapat menyebar keseluruh sendi sehingga semakin merangsang peradangan dan pembentukan jaringan parut. Proses ini secara perlahan akan merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas (kelainan bentuk).<br /> Antibodi yang ditujukan kekomponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid. Keberadaan faktor rematoid akan menetap dikapsul sendi dan menimbulkan peradangan kronis serta merusak jaringan. <br />3). Manifestasi Minis<br /> Kriteria dari American Reumatism Asociation (ARA) yang direvisi tahun 1987 adalah :<br />a) Kaku pada pagi hari (Morning Stiffness). Pasien merasa kaku pada persendian dan disekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-¬kurangnya satu jam sebelum perbaikan maksimal.<br />b) Artritis pada tiga daerah. Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi, bukan permbesaran tulang. Terjadi pada sekurang-kurangya tiga sendi secara bersamaan dalam observasi oleh seorang dokter.<br />c) Artritis pada persendian tangan. Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas.<br />d) Artritis simetris. Maksudnya keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak.<br />e) Nodul rematoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan atau permukaan ekstensor atau daerah jugstartikular dalam observasi seorang dokter.<br />f) Faktor reumatoid positif. Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari lima persen kelompok kontrol.<br />g) Terdapat perubahan gambaran radiologis yang khas pada permeriksaaan sinar rontgen tangan costeroanterior atau pergelangan tangan, yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.<br />4). Penatalaksanaan<br /> Tujuan utama pentalaksanaan Artritis Rematoid adalah untuk mencegah kerusakan, mencegah hilangannya fungsi, mengurangi nyeri,mencapai remisi secepat mungkin pada sendi yang terserang dan mengupayakan agar pasien tetap bekerja dan hidup seperti sedia kala. Pada prinsipnya terapi yang di lakukan yaitu sendi yang sedang meradang diistirahatkan karena penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin secara bergantian, diberikan obat nyeri, anti inflamasi non steroid atau steroid sistemik atau pemberian logam emas dan atau pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium atau untuk memperbaiki deformitas.<br /> Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri. Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi, tetapi untuk mencegah kekakuan, perlu dilakukan beberapa pergerakan sendi yang sistematis.<br /> Obat-obat utama yang digunakan untuk mengobati artritis rumatoid adalah :<br />Obat anti radang non steroid (NSAISDs), obat slow acting, kortikosteroid, dan obat imuno supresi.<br />1) Terapi obat<br /> Apabila diagnosis Artritis Rematoid telah ditetapkan, terapi obat ditujukan untuk mencegah kerusakan sendi lebih lanjut dan mengurangi disabilitas serta kecacatan. Pengobatan Artritis Rematoid dengan obat acap kali merupakan kombinasi antara Nonsteroid Anti-inflamatori Drugs (NSAIDs), dan dengan obat golongan Desease Modifying Anti-Reumatik Drugs (DEMAR-Ds), atau dengan obat golongan kortikosteroid.<br /> Idealnya pengobatan Artritis Rematoid yang baik dapat memenuhi beberapa kriteria:<br />a) Efektif dalam menghilangkan gejala dan tanda untuk jangka panjang <br />b) Mampu menghambat progresif penyakit <br />c) Obatnya aman dan tingkat toleransinya tinggi <br />d) Pengobatannya sederhana atau praktis<br />2) Terapi Non Obat<br /> Tata laksana Artritis Rematoid mencakup beberapa unsur dasar yaitu penegakan diagnosis, evaluasi berdasarkan keadaan kondisi pasien, dan perkiraan perjalanan penyakit ke depan (prognosis). Setelah pasien diajak terlibat secara aktif untuk meminimalkan kemungkinan yang akan terjadi dan aktif terlibat dalam melakukan rehabilitasi. Bersamaan dengan pemberian obat untuk mengurangi peradangan sendi, untuk mendapatkan hasil yang optimal dapat dilakukan terapi non obat seperi latihan-latihan fisik pemanasan pada sendi yang meradang dan bahkan tindakan pembedahan.<br /><br />3) Fisioterapi<br /> Jenis terapi ini tidak kalah pentingnya dengan terapi obat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam menangani kasus Artritis Rematoid, yaitu kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin, maka perawatan yang menyeluruh perlu di lakukan.<br /> Sendi yang meradang harus di latih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa di lakukan latihan yang iebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah. Biasanya latihan akan lebih mudah jika dilakukan dalam air yaitu dengan berendam. Untuk mengobati persendian yang kaku, dilakukan latihan yang intensif dan kadang digunakan pembidaian untuk meregangkan sendi secara perlahan. Penderita yang menjadi cacat karena artritis rematoid dapat menggunakan beberapa alat bantu untuk dapat melaksanakan tugas sehari-harinya.<br />4) Terapi Rehabilitasi<br />Ada beberapa terapi rehabilitasi seperti yang disebutkan berikut ini:<br />a) Edukasi : pada edukasi ini pasien diberi informasi yang lengkap dan benar mengenai pengobatan dan perjalanan penyakitnya kedepan, serta meminta peran aktif dan kerjasama penderita dengan perawat.<br />b) Fisioterapi : berbagai aktifitas latihan diperlukan untuk mendapatkan gerak sendi yang baik dan optimal, agar massa otot tetap dan stabil.<br />c) Okupasi : okupasi bertujuan untuk membantu pasien agar dapat melakukan tugas sehari-hari, yakni dengan memosisikan sendi secara baik sehingga dapat berfungsi dengan baik dan terhindar dari gerakan berlebihan yang dapat menimbulkan rasa nyeri.<br />d) Diet diutamakan untuk mengurangi berat badan yang berlebihan, dianjurkan mencapai berat badan sepuluh sampai limabelas persen di bawah ideal. Kegemukan memberikan beban tekanan pada sendi penopang berat tubuh.<br />5) Terapi diet<br /> Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan ideal adalah dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktifitas pada hari tersebut. Sebagai patokan dasar, banyak makan sayur, buah, rendah lemak dan kolesterol, dan berhenti makan ketika mulai merasa kenyang.<br />6) Terapi bedah<br /> Apabila terapi obat dan cara lainya yang sudah dilakukan namun belum berhasil juga, maka tindakan operatif cukup beralasan untuk dilakukan.<br /><br />c. Gout Artritis<br />1). Definisi<br /> Gout artritis adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambaran khusus, yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasannya mendekati masa menopause. Gout merupakan suatu penyakit dengan kecenderungan adanya faktor keturunan (Mansjoer, dkk.2000).<br />2). Etiologi<br /> Gejala artritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya, penyakit ini termasuk dalam kelainan metabolik, disebabkan pembentukan asam urat yaitu hiperuresemia. Hiperuresemia pada penyakit ini terjadi karena<br />a) Pembentukan asam urat yang berlebihan (gout metabolik)<br />(1) Gout primer metabolik : karena sintesis atau pembentukan yang berlebihan<br />(2) Gout sekunder metabolik : pembentukan asam urat berlebihan karena penyakit lain seperti leukimia, terutama yang diobati dengan sitostatika, pseoriasis, polisitermia vera, mielofibrosis.<br />b) Pengeluaran asam urat melalui ginjal kurang (gout renal) :<br />(1) Gout renal primer : karena gangguan ekskresi asam urat ditubuh distal ginjal yang sehat.<br />(2) Gout renal sekunder : disebabkan ginjal yang rusak, misalnya pada glomerulonefritis kronis, kerusakan ginjal kronis (chronic renal, failure).<br />c) Perombakan dalam usus yang berkurang. Serangan gout secara mendadak, dapat di picu oleh :<br />(1) Luka ringan<br />(2) Pembedahan<br />(3) Pemakaian sejumlah besar alkohol atau makanan yang kaya akan protein purin<br />(4) Kelelahan<br />(5) Stres emosional<br />(6) Penyakit dan sejumlah obat yang menghambat sekresi asam urat <br />(7) Kedinginan<br />d) Stadium pada Gout<br /> Beberapa stadium pada gout :<br />(1) Hiperuresemia : tanpa gejala atau hanya adanya rasa tidak segar <br />(2) Artritis akut : serangan dapat timbul tanpa suatu pencetus apapun, tapi dapat pula karena trauma lokal, pembedahan, stres, dan obat¬-obatan.<br />(3) Fase interkritik (artritis rekuren) terjadi artritis yang rekuren dengan serangan yang lainya makin pendek.<br />(4) Artritis kronis : di sebabkan oleh kelainan sendi yang menetap karena dekstruksi atau osteoartrosis sekunder.<br />3). Manifestasi klinis<br /> Secara klinis ditandai dengan adanya artritis, tofi, dan batu ginjal. Yang penting diketahui bahwa asam urat sendiri tidak akan mengakibatkan apa-apa. Yang menimbulkan rasa sakit adalah terbentuk dan mengendapnya kristal monosodium urat. Pengendapanya dipengaruhi oleh suhu dan tekanan. Oleh sebab itu, sering terbentuk tofi pada daerah-daerah telinga, siku, lutut, dorsum pedis dekat tendon Achiles pada metatarsofalangeal digiti I, dan sebagainya.<br /> Serangan sering kali terjadi pada malam hari. Biasanya sehari sebelumnya pasien tampak segar bugar tanpa keluhan. Tiba-tiba tengah malam terbangun oleh rasa sakit yang hebat sekali.<br /> Daerah khas yang sering mendapat serangan adalah pangkal ibu jari sebelah dalam, disebut podagra. Bagian ini tampak membengkak, kemerahan, dan nyeri sekali bila di sentuh. Rasa nyeri berlangsung beberapa hari sampai satu minggu, lalu menghilang. Sedangkan tofi itu sendiri tidak sakit, tapi dapat merusak tulang. Sendi lutut juga merupakan tempat predileksi kedua untuk serangan ini.<br /> Tofi merupakan penimbunan asam urat yang di kelilingi reaksi radang pada sinovial, tulang rawan, bursa, dan jaringan lunak. Sering timbul di tulang rawan telinga sebagai benjolan keras. Tofi ini merupakan manifestasi lanjut dari gout yang timbul lima sampai sepuluh tahun setelah serangan artritis akut pertama.<br /> Pada ginjal akan timbul sebagai berikut :<br />a) Mikrotof dapat terjadi di tubuli ginjal dan menimbulkan nefrosis <br />b) Nefrolitiasis karena endapan asam urat <br />c) Pielonefritis kronis (radang pada lapisan luar ginjal)<br />d) Tanda-tanda aterosklerosis dan hipertensi.<br /> Tidak jarang ditemukan pasien dengan kadar asam urat tinggi dalam darah, tanpa adanya riwayat gout, yang disebut hiperurisemia asimtomatik. Pasien demikian sebaiknya dianjurkan mengurangi kadar asam uratnya karena menjadi faktor risiko dikemudian hari dan kemungkinan terbentuknya batu urat di ginjal.<br />4). Penatalaksanaan<br /> Tujuan penatalaksanan Artritis Rematoid adalah untuk mencegah kerusakan, mencegah hilangnya fungsi, mengurangi nyeri, mencapai remisi secepat mungkin pada sendi yang terserang, dan mengupayakan agar pasien tetap dapat bekerja seperti sediakala.<br />a) Penatalaksanaan serangan akut<br />Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien dengan serangan akut artritis gout. Yang pertama bahwa pengobatan serangan akut dengan atau tanpa hiperuresemia tidak berbeda. Juga diperhatikan agar penurunan secara mendadak sering kali mencetuskan serangan lain atau mempersulit penyembuhan.<br /> Obat yang di berikan pada serangan akut antara lain : <br />(1) Kolkisin<br />(2) OAINS (obat anti inflamatory non-steroid) <br />(3) Kortikosteroid<br />(4) Analgetik<br />(5) Tirah baring<br /> Tirah baring merupakan suatu keharusan dan diteruskan sampai 24 jam setelah serangan menghilang. Artritis gout dapat kambuh bila terlalu cepat bergerak.<br />2) Penatalaksanaan Periode Antara<br /> Bertujuan mengurangi endapan asam urat dalam jaringan dan menurunkan frekuensi serta keparahan serangan.<br />a) Diet, dianjurkan menurunkan berat badan pada pasien yang gemuk, serta diet rendah purin (tidak usah terlalu ketat). Hindari alkohol dan makanan tinggi purin (hati, ginjal, ikan sardin, daging kambing, dan sebagainya), termasuk roti manis. Perbanyak minum. Pengeluaran urine dua liter per hari atau lebih akan membantu pengeluaran asam urat dan mengurangi pembentukan endapan di saluran kemih.<br />b) Hindari obat-obatan yang mengakibatkan hiperurisemia, seperti Tiazid, diuretik, Aspirin, dan Asam Nikotina yang menghambat ekskresi asam urat dari ginjal.<br />c) Kolkisin secara teratur diindikasikan untuk<br />(1) Mencegah serangan gout yang akan datang. Obat ini tidak mempengaruhi tingginya kadar asam urat, namun menurunkan frekuensi terjadinya serangan.<br />(2) Menekan serangan akut yang dapat terjadi akibat perubahan mendadak dari kadar asam urat serum dalam pemakaian obat urikosuri atau alopurinol.<br />d) Penurunan kadar asam urat serum.<br /> Di indikasikan pada artritis akut yang sering dan tidak terkontrol dengan kolkisin, terdapat endapan purin, atau kerusakan ginjal. Tujuannya untuk mempertahankan kadar asam urat serum dibawah 6 mg/dL, agar tidak terbentuk kristalisasi urat. Ada dua jenis obat yang dapat digunakan, yaitu kelompok urikosuri dan inhibitor xantin oksidasi seperti Alopurinol.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />B. Kerangka Berpikir<br />Variabel independen Variabel dependen<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Keterangan :<br /> : Variabel yang diteliti<br /> : Variabel yang tidak diteliti<br /><br />C. Hipotesis<br />1. Hipotesis Alternatif ( Ha )<br />a. Ada hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik<br />b. Ada hubungan pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik<br />2. Hipotesis Nol ( Ho )<br />a. Tidak ada hubungan perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik<br />b. Tidak ada hubungan pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />METODE PENELITIAN<br />A. Jenis Penelitian<br /> Jenis penelitian ini adalah penelitian survey analitik dengan menggunakan rancangan cross secctional study, yaitu suatu rancangan penelitian yang mengkaji dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada saat yang bersamaan (point time aproach).<br />B. Lokasi dan Waktu Penelitian <br />1. Lokasi penelitian akan di laksanakan di wilayah Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.<br />2. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 8 April sampai dengan 14 Mei 2009. <br />C. Populasi Dan Sampel<br />1. Populasi <br /> Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat yang menderita penyakit reumatik dengan jumlah Populasi 114 orang. <br />2. Sampel<br /> Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang memenuhi kriteria sebagai berikut :<br />a. Kriteria inklusi<br />1) Masyarakat yang menderita penyakit reumatik<br />2) Masyarakat berumur lebih dari atau sama dengan 15 tahun <br />3) Masyarakat yang bersedia menjadi responden<br />b. Kriteria Eksklusi<br />1) Penderita reumatik yang mempunyai komplikasi penyakit lain<br />2) Masyarakat yang tidak bersedia menjadi responden <br />Populasi yang memenuhi kriteria berjumlah 100 orang.<br />Besar sampel di ambil dengan menggunakan rumus :<br /><br /> N<br /> n =<br /> 1 + N (d)2<br /><br />(Nursalam, 2003)<br />Jadi :<br /> 100<br />n =<br /> 1 + 100 (0.05)2 <br /> 100<br />n =<br /> 1 + 0,25 <br /> 112<br />n =<br /> 1,25<br />n = 80<br />Jadi jumlah sampel sebanyak 80 orang<br /><br /><br />D. Variabel Penelitian<br />1. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan adalah perilaku responden dalam mencari pengobatan. Dinyatakan perilaku yang baik apabila perilaku responden mencari pengobatan di puskesmas, rumah sakit, atau dokter praktik. Sedangkan perilaku yang tidak baik apabila perilaku responden hanya berobat sendiri, beli obat di warung, menggunakan obat tradisional, dan atau tidak bertindak. <br />Skala variabelnya adalah ordinal.<br />Baik, apabila skor yang diperoleh 13<br />Tidak baik, apabilah skor yang diperoleh 13<br />2. Pola/kebiasaan makan daging adalah kebiasaan menkonsumsi makanan yang tinggi protein purin. Dinyatakan sering apabila responden menkonsumsi daging lebih dari empat kali dalam sebulan, dan dinyatakan jarang apabilah responden menkonsumsi daging sekali dalam sebulan.<br />Skala variabelnya adalah ordinal.<br />Jarang mengkonsumsi, apabilah skor yang diperoleh 50%<br />Sering mengkonsumsi, apabila skor yang diperoleh 50%<br />3. Kekambuhan penyakit reumatik adalah serangan ulang pada daerah persendian yang dapat terjadi pada individu yang telah pernah mengalami nyeri pada persendian. Dinyatakan jarang kambuh apabila responden menderita reumatik kurang dari enam bulan dengan frekuensi kekambuhan satu sampai lima kali setahun, dan dinyatakan yang sering kambuh apabila responden yang menderita reumatik lebih dari satu tahun dengan frekuensi kekambuhan lebih dari lima kali setahun.<br />Skala variabelnya adalah ordinal.<br />Sering kambuh, apabila skor yang diperoleh 13<br />Jarang kambuh, apabilah skor yang diperoleh 13<br />E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian<br />1. Jenis data<br />a. Data Primer diperoleh dari wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan.<br />b. Data Sekunder diperoleh dari data Dinas Kesehatan dan Puskesmas Anggrek Kabupaten Gorontalo utara tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.<br />2. Instrumen Penelitian<br /> Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik, dengan jumlah soal perilaku pencarian pengobatan 16 item pertanyaan dengan 3 alternatif jawaban berdasarkan skala Likert, jumlah soal pola/kebiasaan makan daging 4 item dengan 3 alternatif jawaban, sedangkan jumlah soal kekambuhan penyakit reumatik 16 item dengan 3 alternatif jawaban, dan satu soal deskriptif perilaku masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan dengan 7 alternatif jawaban.<br /><br />F. Cara Pengolahan, Penyajian dan Teknik Analisis Data<br />1. Teknik pengolahan data<br />a. Editing : Memeriksa kelengkapan kesinambungan<br /> dan keseragaman pengisian dan kuesioner<br /> serta mengklasifikasikan data<br />b. Coding : Memberi kode pada masing-masing<br /> jawaban agar data-data tersebut mudah <br /> ditabulasi.<br />c. Menghitung frekuensi : Yaitu setalah diberi kode, di hitung besarnya<br /> frekuensi masing-masing data.<br />d. Tabulasi data : Mengelompokan data dalam bentuk tabel<br /> dan kesimpulan.<br />2. Analisis data<br />Analisa bivariate dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi, melalui uji chi square dengan rumus:<br /> ∑(fo-fe)2<br /> χ2 =<br /> fe<br /><br />Keterangan:<br />χ2 : Chi square (hubungan variabel dependen dan variabel independen)<br />fo : Frekuensi observasi (nilai observasi)<br />fe : Frekuensi yang di harapkan (nilai sampel)<br />(Sugiyono, 2003)<br />Kaidah penerimaan Hipotesis:<br />1. Ada hubungan bila χ2 hitung lebih besar dari χ2 tabel<br />2. Tidak ada hubungan bila χ2 hitung kurang dari χ2 tabel<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAR IV<br />HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />A. HASIL PENELITIAN <br /> Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Anggrek pada tanggal 8 April sampai dengan tanggal 14 Mei 2009. Pengambilan sampel dengan cara Purposive sampling dengan jumlah sampel 80 orang. Data primer diambil melalui wawancara langsung yang dilakukan pada responden. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SPSS versi 14 dengan uji Chi Square dan hasilnya sebagai berikut:<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sumber : Data Primer <br />Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur <br />di Kecamatan Anggrek Tahun 2009. <br /> Berdasarkan grafik di atas, distribusi umur responden yang paling banyak berada pada rentang umur antara 41-64 tahun dengan jumlah 52 responden (65%) sedangkan yang paling sedikit berada pada rentang umur antara 15-25 tahun dengan jumlah 1 responden (1,25%). <br />Tabel 4.1 <br />Gambaran Kekambuhan Penyakit Reumatik Berdasarkan Umur <br />di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.<br />Umur (tahun) Kekambuhan Jumlah<br /> Sering Jarang <br /> n % n % n %<br />15-25 1 100 0 0 1 100<br />26-40 12 75 4 25 16 100<br />41-64 40 76,92 12 23,08 52 100<br />≥ 65 9 81,82 2 18,18 11 100<br />Total 62 77,5 18 22,5 80 100<br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa distribusi umur yang paling banyak berada pada rentang umur 41-64 tahun dengan jumlah 52 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik sebanyak 40 responden (76,92%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 12 responden (23,08%) dari total 52 responden, distribusi pada rentang umur 26-40 sebanyak 16 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 12 responden (75%), sedangkan yang jarang kambuh sebanyak 4 responden (25%) dari total 16 responden, distribusi pada rentang umur ≥ 65 tahun sebanyak 11 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 9 responden (81,82%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 2 responden (18,18%) dari total 11 responden, dan distribusi umur yang paling sedikit berada pada rentang umur 15-25 tahun dengan jumlah 1 responden. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Sumber : Data Primer <br />Grafik 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin<br />di Kecamatan Anggrek<br /> Berdasarkan grafik di atas responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 47 responden (58,75%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 33 responden (41,25%).<br />Tabel 4.2 <br />Gambaran Kekambuhan Penyakit Reumatik Berdasarkan Jenis Kelamin <br />di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.<br />Jenis Kelamin Kekambuhan Jumlah<br /> Sering Jarang <br /> n % n % n %<br />Laki-laki 36 76,60 11 23,40 47 100<br />Perempuan 24 72,73 9 27,27 33 100<br />Total 60 75 20 25 80 100<br /><br /> Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa distribusi jenis kelamin yang paling bayak yaitu laki-laki dengan jumlah 47 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 36 responden (76,60%), sedangkan yang jarang mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 11 responden (23,40%) dari total 47 responden, dan distribusi jenis kelamin perempuan sebanyak 33 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 24 responden (72,73%), sedangkan yang jarang mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 9 responden (27,27%) dari total 33 responden.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sumber : Data Primer <br />Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan<br />di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.<br /> Berdasarkan grafik di atas terdapat sebagian besar responden mempunyai pekerjaan petani dengan jumlah responden 38 responden (47,5%), sedangkan pekerjaan sebagai tukang berjumlah 1 responden (1,25%). <br /><br />Tabel 4.3 <br />Gambaran Kekambuhan Penyakit Reumatik Berdasarkan Pekerjaan <br />di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.<br />Pekerjaan Kekambuhan Jumlah<br /> Sering Jarang <br /> n % n % n %<br />Petani 29 76,32 9 23,68 38 100<br />IRT 21 77,78 6 22,22 27 100<br />PNS 5 71,43 2 28,57 7 100<br />Nelayan 4 100 0 0 4 100<br />Swasta 2 66,67 1 33,33 3 100<br />Tukang 1 100 0 0 1 100<br />Total 62 77,5 18 22,5 80 100<br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa distribusi pekerjaan yang paling dominan adalah petani dengan jumlah 38 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik sebanyak 29 responden (76,32%), sedangkan yang jarang mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 9 responden (23,68%) dari total 38 responden, distribusi pekerjaan sebagai IRT sebanyak 27 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 21 responden (77,78%), sedangkan yang jarang kambuh sebanyak 6 responden (22,22%) dari total 27 responden, distribusi pekerjaan sebagai PNS sebanyak 7 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 5 responden (71,43%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 2 responden (28,57%) dari total 7 responden, dan distribusi pekerjaan sebagai nelayan sebanyak 4 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 4 responden (100%), sedangkan yang jarang kambuh tidak ada dari total 4 responden, distribusi pekerjaan sebagai swasta sebanyak 3 responden, dan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berjumlah 2 responden (66,67%), sedangkan yang jarang kambuh berjumlah 1 responden (33,33%) dari total 3 responden, dan distribusi pekerjaan yang paling sedidit adalah sebagai tukang sebanyak 1 responden, dan sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Grafik 4.4. Distribusi Perilaku Pencarian Pengobatan di Kecamatan Anggrek.<br /><br /> Bardasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa, perilaku masyarakat dalam mencari pengobatan yang digolongkan perilaku baik sebanyak 20 responden (25%), dan perilaku tidak baik sebanyak 60 responden (75%). Perilaku yang tidak baik tersebut salah satunya yang paling dominan adalah mencari pengobatan diwarung, yaitu sebanyak 43 responden (53,75%), kemudian perilaku tidak baik lainnya adalah mengobati sendiri, yaitu sebanyak 6 responden (7,50%), mencari pengobatan tradisional sebanyak 9 responden (11,25%) dan yang tidak bertindak saat keluhan dirasakan sebanyak 2 responden (2.50%). Perilaku baik dalam hal mencari pengobatan yang paling dominan adalah berobat di Puskesmas sebanyak 14 responden (17,50%), yang berobat ke dokter praktek sebanyak 3 responden (3,75%), dan yang berobat di Rumah sakit sebanyak 3 responden (3,75%).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Grafik 4.5. Distribusi Pola/Kebiasaan makan daging di Kecamatan Anggrek.<br /> Bardasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa, pola/kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi daging yang digolongkan jarang mengkonsumsi sebanyak 67 responden (83,75%), dan sering mengkonsumsi sebanyak 13 responden (16,25%).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Grafik 4.6. Distribusi Kekambuhan Penyakit Reumatik di Kecamatan Anggrek Tahun 2009.<br /><br /> Dari grafik di atas di dapatkan data bahwa jumlah responden yang penyakit reumatiknya sering kambuh berjumlah 18 responden (22,5%), sedangkan jumlah responden yang penyakit reumatiknya jarang kambuh berjumlah 62 responden (77,5%).<br />Tabel 4.4<br />Hubungan Antara Perilaku Pencarian Pengobatan Dengan<br />Kekambuhan Penyakit Reumatik.<br />Perilaku Kekambuhan Jumlah χ2 p<br /> Sering Jarang <br /> n % n % n % 11,565 0,001<br />Negatif 52 86,67 8 13,33 60 100 <br />Positif 10 50 10 50 20 100 <br />Total 62 77,5 18 22,5 80 100 <br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa perilaku negatif yang sering kambuh berjumlah 52 responden (86,67%), sedangkan perilaku yang positif yang sering kambuh berjumlah 10 responden (50%), sedangkan responden yang perilakunya negatif yang jarang kambuh berjumlah 8 responden (13,33%), dan responden yang perilakunya positif yang jarang kambuh berjumlah 10 responden (50%). Total responden yang beperilaku positif sebanyak 20 responden (25%), dan responden yang berperilaku positif sebanyak 60 responden (75%). Sedangkan total responden yang sering kambuh 62 responden (77,5%) dan yang jarang kambuh 18 responden (22,5%). Hasil analisis uji Chi Square dimana χ2 hitung = 11,565 sedangkan χ2 tabel pada derajat kebebasan 1=3,84 dengan taraf kesalahan α = 0,05, nilai p = 0,001.<br />Tabel 4.5<br />Hubungan Antara Pola/Kebiasaan Makan Daging Dengan<br />Kekambuhan Penyakit Reumatik.<br />Perilaku Kekambuhan Jumlah χ2 p<br /> Sering Jarang <br /> n % n % n % 0,451 0,502<br />Sering Mengkonsumsi 11 84,62 2 15,38 13 100 <br />Jarang Mengkonsumsi 51 76,12 16 23,88 67 100 <br />Total 62 77,5 18 22,5 80 100 <br /><br /> Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa sering mengkonsumsi yang sering kambuh berjumlah 11 responden (84,62%), sedangkan sering mengkonsumsi yang jarang kambuh berjumlah 2 responden (15,38%), sedangkan responden yang jarang mengkonsumsi yang sering kambuh berjumlah 51 responden (76,12%), dan responden yang jarang mengkonsumsi yang jarang kambuh berjumlah 16 responden (23,88%). Total responden yang jarang kambuh 62 responden (77,5%) dan yang sering kambuh 18 responden (22,5%). Hasil analisis uji Chi Square dimana χ2 hitung = 0,451 sedangkan χ2 tabel pada derajat kebebasan 1=3,84 dengan taraf kesalahan α = 0,05, nilai p = 0,502. <br />B. PEMBAHASAN <br /> Berdasarkan distribusi frekuensi responden menurut umur (tabel 1), ternyata frekuensi umur yang paling banyak berada pada rentang umur antara 41-64 tahun dengan jumlah 52 responden (65%). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penyakit reumatik dengan gejala arthritis rematoid sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun (Junaidi, 2006 ).<br /> Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin di dapatkan data responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dengan jumlah 47 responden (58,75%) daripada perempuan dengan jumlah 33 responden (41,25%), hal ini sesuai dengan teori Mansjoer (2000), bahwa penyakit reumatik dengan gejala Arttritis Gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita, dan berdasarkan distribisi frekuensi responden menurut pekerjaan di dapatkan data pekerjaan yang paling banyak adalah petani dengan jumlah 38 responden (47,5%). Hal ini sependapat dengan Junaidi (2006) yang mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya penyakit reumatik adalah pekerjaan. Pekerjaan yang erat kaitanya dengan angka kejadian penyakit reumatik adalah pekerjaan yang memerlukan kekuatan ekstremitas bagian bawah termasuk didalamnya pekerjaan sebagai petani.<br /> Berdasarkan distribusi perilaku pencarian pengobatan, sebagian besar perilaku responden dalam mencari pengobatan adalah membeli obat diwarung, yaitu sebanyak 43 responden (53,75%), dan sebagian kecil tidak bertindak, yaitu sebanyak 2 responden (2,5%). Hal ini sependapat dengan Brunner and Suddart (2002), kekambuhan pada penyakit reumatik salah satu penyebabnya adalah perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah perilaku yang tidak mampu melaksanakan terapi dengan tepat.<br /> Berdasarkan hasil analisa uji Chi Square hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik menunjukkan χ2 hitung = 11,565 sedangkan χ2 tabel = 3,84. Sesuai dengan kaidah hipotesis statistik, yaitu Ho diterima bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel dan ditolak bila harga χ2 hitung lebih besar atau sama besar dengan harga χ2 tabel. Jadi χ2 hitung = 11,565 > χ2 tabel = 3,84, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek, sedangkan hasil analisa uji Chi Square hubungan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik menunjukkan χ2 hitung = 0,451 sedangkan χ2 tabel = 3,84. Sesuai dengan kaidah hipotesis statistik, yaitu Ho diterima bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel dan ditolak bila harga χ2 hitung lebih besar atau sama besar dengan harga χ2 tabel. Jadi χ2 hitung = 0,451 < χ2 tabel = 3,84, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar masyarakat di wilayah Kecamatan Anggrek tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging, dan mengkonsumsi daging bagi masyarakat pesisir pantai bukanlah salah satu pilihan dalam penyajian makanan sehari-hari.<br /> Menurut Brunner and Suddart (2002), kekambuhan pada penyakit reumatik salah satu penyebabnya adalah perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah perilaku yang tidak mampu melaksanakan terapi dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas yang berlebihan dan tidak dapat mengenal gejala kekambuhan. Sehingga hasil statistik di atas beralasan, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit rematik di Kecamatan Anggrek. <br /> Jadi, berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat di Kecamatan Anggrek, tenyata perilaku pencarian pengobatan semakin berperilaku tidak baik akan berpengaruh pada tingkat kekambuhan penyakit reumatik yang terjadi lebih sering, dengan demikian masyarakat yang berperilaku baik ternyata tingkat kekambuhannya jarang. Melihat hasil penelitian ini, ternyata pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk mengurangi tingkat kekambuhan penyakit reumatik.<br /><br /><br /><br />BAB V<br />PENUTUP<br />A. Simpulan<br /> 1. Distribusi berdasarkan umur yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik berada pada rentang umur 41-64 tahun dengan jumlah 40 responden.<br />2. Distribusi berdasarkan jenis kelamin yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik yaitu paling bayak pada jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 47 responden.<br />3. Distribusi berdasarkan pekerjaan yang sering mengalami kekambuhan penyakit reumatik paling dominan adalah petani dengan jumlah 38 responden.<br />4. Ada hubungan antara perilaku pencarian pengobatan dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek. <br />5. Tidak ada hubungan antara pola/kebiasaan makan daging dengan kekambuhan penyakit reumatik di Kecamatan Anggrek<br /> Jadi, berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat di Kecamatan Anggrek, perilaku pencarian pengobatan masyarakat semakin berperilaku tidak baik akan berpengaruh pada tingkat kekambuhan penyakit reumatik yang terjadi lebih sering. <br /><br /><br /><br />B. Saran<br />1. Diharapkan kepada masyarakat untuk memanfaatkan tempat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit dan atau dokter praktek apabila menderita sakit terutama penyakit reumatik.<br />2. Diharapkan kepada Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, untuk dapat meningkatkan upaya promotif dengan pemberian penyuluhan kesehatan tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk mengurangi angka kejadian penyakit terutama kekambuhan penyakit reumatik.<br />3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar mengkaji lebih dalam lagi tentang faktor-faktor lain yang diduga berhubungan dengan kekambuhan penyakit reumatik, mengingat penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan dari beberapa segi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Brunner., Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1999. Indonesia Sehat 2010. Jakarta. <br />Gordon, N. 1997. Radang Sendi (arthritis). Rajagrafindo. Jakarta.<br />Isbagio, H. 2007. Reumatoid Arthritis. www.rheumatoidarthritis.blogspot.com. Junaidi, N. 2006. Reumatik dan Asama Urat. BIP. Jakarta.<br />Mansjoer, A.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapios. Jakarta.<br /><br />Notoatmojo, S. 2000. Metodologi Penelitiaan Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta<br /> , S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. <br />Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.<br /><br />Rochman, F. 2007. Musculoskeletal Complications in Degeneratif Desease. Jakarta: Educational and Training Section Of Indonesian PMR Association. Hal. 56-66<br /><br />Sjaifoellah, N. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi III. Balai Penerbit FKUI Jakrta.<br /><br />Sunaryo, 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Jakarta. <br />Sugiyono, 2003. Statistik Non Parametris Untuk Penelitian. Alfabet. Bandung. <br />Yova, 0., dkk. 2000. Nursing Outcome Classification. Boston: Mosbly.<br />Rosenstock, 1974. Health Belief Model. http://bbawor.blogspot.com.diakses 28 Mei 2009 <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><blockquote><blockquote><blockquote></blockquote></blockquote></blockquote>meikelpogaladhttp://www.blogger.com/profile/05759534853112996520noreply@blogger.com0